NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:939
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Curhat

Taeri melangkah cepat memasuki gerbang kampus. Pagi itu, sinar mentari memang menyapa wajahnya, tetapi hatinya masih diselimuti gumpalan amarah. Dari kejauhan, ia menangkap sosok Marcelo berdiri di bawah pohon rindang. Dosen itu tersenyum, lalu melambaikan tangan dengan penuh harap.

“Taeri!” seru Marcelo, berusaha menghentikan langkahnya.

Namun Taeri sama sekali tak menoleh. Ia justru mempercepat langkah, melewati Marcelo begitu saja. Senyum dosen itu pun membeku; tubuhnya terpaku, hanya mampu menatap punggung Taeri yang kian menjauh.

Begitu tiba di kelas, pandangan Taeri langsung tertuju pada Yuna yang duduk di mejanya. Dengan langkah mantap, ia menghampiri sahabatnya. Yuna yang menyadari kehadiran Taeri, refleks menelan ludah. Ia tahu betul, amarah sahabatnya kali ini bukan main.

“Ke mana saja kamu kemarin?” suara Taeri terdengar dingin, tatapannya menusuk. “Tante Yura menelpon mu berkali-kali!”

Yuna berusaha menahan diri, meski senyumnya tampak kaku.

“A… anu, Taeri, kemarin aku beranda di rumah teman,” ucapnya dengan nada gugup. Ia mencoba memasang wajah meyakinkan. “Sebenarnya aku berniat datang ke kampus, tapi badan rasanya benar-benar nggak enak, jadi aku putuskan untuk istirahat di rumah teman saja.”

Dalam hati, Yuna berdoa semoga Taeri menerima alasan yang ia karang terburu-buru. Ia tahu, dirinya sama sekali belum siap mengungkapkan kejadian yang sesungguhnya.

Taeri mengangkat sebelah alis, menatap Yuna dengan sorot mata menyelidik. “Nggak usah bohong, Yun. Wajah kamu itu udah kayak ketahuan nyolong mangga tetangga,” ujarnya sambil terkekeh kecil. Jemarinya mencubit pipi Yuna dengan gemas, seolah ingin mencairkan suasana.

“Lagian, sejak kapan kamu punya teman selain aku?” lanjutnya, nada suaranya setengah menggoda, setengah menekan. Taeri meraih tasnya, lalu duduk di samping Yuna, mencondongkan tubuh seakan tak mau melewatkan satu kata pun. “Ayo, cerita yang jujur. Aku dengerin, kok.”

Yuna mengerucutkan bibir, lalu bergumam pelan, “Iya, iya, susah banget bohongin kamu.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya mulai bercerita.

“Jadi begini… kemarin pagi aku ketemu Pak Marcelo,” ucapnya lirih. Ia kemudian mengisahkan penolakan Marcelo Parahyangan yang membuat pikirannya kalut. “Nah, karena kepalaku sudah penuh, aku nggak sengaja menabrak seseorang. Terus… dia malah membawaku ke penthouse-nya untuk diobati.”

Taeri seketika memasang wajah serius. “Siapa orangnya?” tanyanya, sorot matanya penuh rasa ingin tahu.

Yuna menggigit bibir bawah, ragu-ragu. “Dia itu… emm…” Ia menarik napas panjang, lalu menunduk. “Kamu pasti nggak akan nyangka kalau aku kasih tahu.”

Taeri mendengus kesal. “Ih, Yun! Jangan bikin penasaran! Langsung aja cerita!” serunya sambil mencubit gemas lengan sahabatnya.

“Aduh! Sakit, Taeri!” Yuna mengusap lengannya yang memerah. “Iya, iya, sabar dulu! Aku kan lagi mau cerita.”

“Ya udah, makanya buruan! Jangan muter-muter kayak anak ayam kehilangan induk!” balas Taeri, nada suaranya semakin tak sabar.

Yuna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Jadi… orang yang aku tabrak kemarin itu… Tuan Leonardo,” ucapnya akhirnya. Suaranya bergetar, seolah setiap kata adalah beban. Ia lalu menceritakan semua yang terjadi antara dirinya dan Leonardo, termasuk malam penuh rahasia yang ia lewati bersama pria itu.

“Apaaaa?!” seru Taeri, terperanjat hingga suaranya menggema, membuat beberapa mahasiswa menoleh penasaran ke arah mereka.

Dengan sigap, Yuna menutup mulut sahabatnya. “Ih, diem! Jangan teriak-teriak gitu!” bisiknya panik, matanya melirik kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar lebih jauh.

“Hmmmppp! Lepasin, ih! Apaan sih kamu ini?!” Taeri berusaha menyingkirkan tangan Yuna. Begitu berhasil, ia menatap sahabatnya dengan ekspresi tak percaya. “Aku bener-bener nggak nyangka, Yun, kamu bisa ketemu sama Leonardo. Tapi… apa kamu ngelakuin itu karena terpaksa?”

Taeri mencondongkan tubuh, sorot matanya berubah serius, penuh kekhawatiran. “Apa dia nyakitin kamu semalam? Atau ngancem kamu?” Nada suaranya merendah, seakan takut jawaban Yuna akan mengonfirmasi sesuatu yang lebih gelap. Ia tahu betul reputasi seorang mafia seperti Leonardo, dan bayangan tentang kekasihnya membuat kecemasan itu semakin nyata.

"Ya, tentu tidak," sahut Yuna sambil menyingkirkan wajah Taeri dari hadapannya. Pipinya merona merah. "Itu memang keinginan aku sendiri. Lagi pula, dia sangat perhatian," tambahnya, kali ini dengan nada lebih lembut.

"Daripada aku terus-menerus menunggu perasaan seseorang yang tak pernah jelas, lebih baik aku menerima perhatian seorang mafia," ucapnya jujur, sembari membayangkan sosok Leonardo.

Taeri tersenyum cemas melihat raut wajah Yuna. Sahabatnya itu berusaha tersenyum, namun senyumnya tampak dipaksakan. Ia sangat paham betapa rumitnya menjalin hubungan dengan mafia. Pengalaman kelam yang pernah ia lalui, mulai dari ancaman, pelecehan, hingga nyaris saling membunuh, masih membekas kuat. Jujur saja, ia khawatir hal serupa menimpa sahabatnya.

"Yun..." panggilnya lirih. "Aku tidak bermaksud menggurui, tapi kamu tahu sendiri, kan? Leonardo itu... dia mafia. Sama seperti Azey," ucapnya lembut sambil mengusap lengan Yuna, berusaha memberi pengertian.

"Aku sudah merasakan semuanya sebelum sampai di titik ini, Yun. A... aku..." Suaranya bergetar saat kenangan pahit bersama Azey kembali menyeruak.

Melihat Taeri mulai larut dalam emosi, Yuna segera memotongnya. "Aku mengerti, Tae. Aku sudah tahu semuanya sejak awal," jawabnya pelan. "Aku memang berusaha menarikmu dari Tuan Azey, tapi di sisi lain, aku tidak bisa terlalu ikut campur karena aku tahu kamu sedang melindungi orang-orang yang kamu cintai." Ia merengkuh Taeri erat, mengusap punggung sahabatnya dengan penuh kasih.

Namun, ia merasa risih menjadi pusat perhatian, Yuna melepaskan pelukan itu lalu menatap sinis orang-orang yang menyaksikan mereka seolah sedang menonton drama. "Apa yang kalian lihat?! Tidak punya uang buat beli tiket bioskop?!" bentaknya kesal.

Taeri cepat menyahut, “Udah, Yun, jangan marah-marah terus.” Ia buru-buru meraih lengan sahabatnya, berusaha menenangkan. Yuna hanya terdiam dengan wajah cemberut, masih kesal karena perhatian berlebihan yang mereka terima. Taeri pun menoleh ke arah teman-teman sekelas dengan ekspresi penuh rasa bersalah.

“Eh, maaf ya semuanya,” ucapnya dengan nada tak enak. Beberapa teman hanya membalas dengan senyum canggung, tak benar-benar mengerti apa yang membuat kedua gadis itu hampir menangis.

“Tenanglah, Yun. Ngamuk melulu capek, tau,” ujar Taeri sambil mencubit gemas pipi Yuna yang masih mengerucutkan bibir.

“Kesel aja! Orang lagi ngomong malah ditontonin. Dikira kita lagi main drama Lali, ya?” Yuna melontarkan keluhan dengan nada kesal, membuat Taeri tersenyum tipis.

“Ya kan hidup kita memang dramatis banget,” sahut Taeri asal. Keduanya akhirnya tertawa, mencairkan ketegangan yang sempat menyelimuti.

Setelah berbagi cerita, hati mereka perlahan lebih tenang. Namun, seolah takdir sengaja mempermainkan, keduanya justru terikat dengan sosok mafia yang dulu begitu mereka benci. Di lubuk hati, Taeri masih menyimpan kekhawatiran: Yuna mulai bergantung pada Leonardo, tanpa menyadari ia sendiri tak mampu melepaskan diri dari Azey. Raut wajah Taeri berubah sendu, dihantui bayangan kemungkinan terburuk yang bisa menimpa sahabatnya.

Sinar matahari mulai meredup, menandakan sore telah tiba. Mahasiswa berbondong-bondong keluar dari gedung kampus setelah menyelesaikan kelas mereka. Di antara kerumunan itu, terlihat Taeri dan Yuna berjalan berdampingan.

Di depan gerbang, sebuah mobil sport putih mencolok terparkir. Azey berdiri di sampingnya, menunggu dengan sabar. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi tatapannya tajam mengamati setiap orang yang keluar dari gerbang.

"Kenapa lama sekali?" gumamnya pelan, mulai merasa tidak sabar. "Apa dia belum selesai juga?" Ia tidak suka menunggu, dan jika bukan karena Taeri, ia tidak akan repot-repot menjemput di tempat seramai ini.

Tiba-tiba, sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti tepat di samping mobilnya. Azey melirik dengan tatapan datar. Dari dalam mobil, seorang pria yang sangat ia kenal keluar dengan gerakan anggun, lalu menunduk hormat padanya.

"Tuan," sapanya sopan. "Menunggu Nona Taeri?"

"Hmmm," jawab Azey singkat, tanpa basa-basi. "Kau sendiri? Ada urusan apa di sini?" Ia bertanya, sedikit heran karena pengacara pribadinya itu tidak pernah terlihat di area kampus.

Leonardo tersenyum tipis, namun penuh arti. "Sama seperti Anda, Tuan. Saya juga sedang menjemput wanita saya," jawabnya dengan nada pelan namun tegas. Azey tidak perlu bertanya lebih lanjut, ia sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Leonardo.

Taeri dan Yuna yang hampir mencapai gerbang kampus, terhenti seketika. Pemandangan di depan mereka cukup mengejutkan: Azey dan Leonardo sudah menunggu di sana. Yuna melirik ke samping Taeri, mendapati tatapan intens Leonardo yang tertuju padanya.

Senyum cerah langsung merekah di wajah Taeri, meskipun ia tahu Azey tidak suka menunggu. Yuna, di sisi lain, mencolek Taeri sambil berbisik, "Ya ampun, Tae! Malu banget! Baru juga semalam kenalan, udah jemput aja. Deg-degan banget nih!"

Taeri terkekeh pelan. "Cieee, yang semalam udah saling berbagi cerita sampai jam dua pagi," godanya sambil menyikut Yuna.

"Ih, apaan sih!" Yuna merengut, menyembunyikan rona merah di pipinya.

Taeri tertawa geli melihat tingkah sahabatnya. Mereka berdua kemudian berjalan menghampiri pria yang sudah menunggu.

Azey membukakan pintu mobil untuk Taeri dengan gerakan elegan. Tatapannya lembut saat berkata, "Masuklah, sayang. Ada tempat yang ingin kutunjukkan padamu." Taeri membalas tatapannya dengan senyum bahagia dan segera masuk ke dalam mobil.

Sementara itu, Leonardo mendekati Yuna dengan langkah tenang. Ia mengusap pipi Yuna dengan lembut, lalu bertanya dengan nada khawatir, "Kau lelah? Wajahmu terlihat seperti baru saja berlari maraton."

Yuna mengangguk kecil, masih berusaha menenangkan diri. "Sedikit. Tapi itu semua salahmu," jawabnya bercanda, berusaha menutupi kegugupannya. "Kau membuatku merasa seperti buronan yang dikejar-kejar."

Pria itu terkekeh pelan, menikmati rona gugup yang jelas tergambar di wajah Yuna. “Bukan aku yang membuatmu takut, Sayang,” bisiknya lembut di telinga gadis itu. “Pikiranmu sendiri yang terlalu liar.” Tanpa peringatan, ia mengecup singkat bibir Yuna, membuat pipi gadis itu seketika merona merah.

“Ehem!” Suara tegas mendadak memecah momen. Seorang dosen yang kebetulan lewat menatap mereka dengan sorot mata kurang senang. “Maaf mengganggu, tapi kalau ingin bermesraan, sebaiknya cari tempat yang lebih privat. Ini kampus, bukan taman bermain cinta.” Ia menggelengkan kepala sebelum berlalu, meninggalkan Yuna yang salah tingkah, wajahnya semakin panas oleh rasa malu.

Di dalam mobil, Azey menatap dingin ke arah Leonardo yang masih tampak dari kaca spion. Ia bergumam lirih, penuh nada sinis, “Benar-benar tidak tahu malu.”

Taeri yang mendengar gumaman itu segera meninju pelan lengan Azey, wajahnya kesal. “Kenapa kamu marah pada Leonardo? Padahal kamu sendiri sering menciumku sembarangan di depan orang banyak!” Baginya, Azey sama sekali tidak sadar diri, kelakuannya justru jauh lebih memalukan.

Azey melirik sekilas ke arah kekasihnya, lalu tersenyum tipis penuh ejekan. “Itu karena bibirmu selalu minta dicium, little girl,” ucapnya menggoda dengan nada ringan.

Taeri mendengus, lalu membuang muka ke arah jendela, enggan melanjutkan perdebatan dengan pria itu. Mobil pun melaju meninggalkan area kampus, membawa serta suasana yang sedikit tegang. Meski begitu, jauh di dalam hati, Taeri tahu Azey hanya bercanda, meski candaan itu tetap membuatnya jengkel

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!