“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 29
“Lalu apa jawaban saudari penggugat?”
Petter menatap sekilas wajah wanita yang menunduk sayu, giginya terus-terusan menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya menari gelisah, laki-laki itu tersenyum samar, lalu kembali mendongakkan dagu.
“Dia mengatakan tidak memiliki keluarga.”
“Apakah Anda serta-merta percaya dengan jawaban saudari penggugat?”
“Tidak.”
“lalu apa yang Anda lakukan?”
“Saya mencari tau siapa saudari penggugat sebenarnya, dari mana dia berasal dan siapa kelurganya.”
“Apakah Anda mendapat jawaban?”
“Ya.”
“Lantas kenapa Anda tidak mengembalikannya?”
Petter menunduk sejenak, menyembunyikan segaris senyum muak. “Kenapa saya harus mengembalikan? Bukankah harusnya keluarganya yang mengambil dan berterimakasih, karena nyawa saudari penggugat dan putrinya saya selamatkan!”
Slamet menelan ludah kasar, mata khas warga tiongkoknya mengerjap cepat, hakim senior itu memang memiliki darah tiongkok meski lahir dari kelurga pribumi totok.
“Setelah kejadian malam itu, apa keluarganya tidak ada yang mencari?”
“Ada.”
“Siapa? Apakah suaminya atau orang tuanya?”
“Bapaknya datang, marah-marah, bahkan menampar saudari penggugat, suaminya …,” Petter menghentikan ucapannya, sorot matanya menajam jemarinya mengepal kuat. “Dia datang, tanpa sopan-santun, menyelonong dan menarik paksa saudari penggugat.”
“Andai pada waktu itu, suaminya meminta dengan cara baik, apakah Anda mengizinkan dia membawa saudari penggugat pergi dari rumah Anda?”
“Jelas. Dia suaminya, dia punya hak membawa pulang istrinya. Tapi, dengan adat kesopanan yang nenek moyang kita wariskan.” Petter menekankan ucapannya, sorot tajamnya berubah seringai tipis.
“Lalu bagaimana bisa Anda membantu saudari penggugat melakukan aksi nekad ini, menggugat cerai suaminya?”
“Saudari penggugat yang meminta tolong.”
“Apa Anda tidak mencegah atau menasehati?”
“Tidak.”
Slamet kembali membuka berkas setebal dua inci, menyibak lembar demi lembar, mata tiongkoknya memicing dalam.
“Saudara saksi, setelah saudari penggugat pulih dari masa pendarahannya, apa kegiatan saudari penggugat saat di rumah Anda?”
“Hanya mengurus bayinya.”
“Bukankah itu sangat merugikan Anda?”
“Kenapa saya harus rugi? Semua ada perhitunganya.”
Kartijo yang sedari tadi sudah menahan amarahnya, beranjak dari duduknya. jari telunjuknya mengacung tajam, sebelah tangannya berkacak pinggang.
“Londo Bajingan! Berapa kedok sawah yang kamu butuhkan?! Sepuluh, seratus?!”
Petter tertawa sumbang, jari-jari panjangnya mengusap hidung mancungnya. “Berapa yang kau punya?!”
Kartijo naik pitam, dia hendak beranjak dari tempatnya. Namun, dengan cepat di tahan ketokan palu Slamet. Suasana pun kembali riuh, semua yang ada di ruangan itu kembali berkasak-kusuk.
Tok
Tok
Tok
“Tenang semuanya … tenang. Atau sidang tidak kami lanjutkan?!” Slamet bersuara sedikit keras.
“Saudara saksi, itu artinya apa yang Anda lakukan untuk saudari penggugat, Anda hitung hutang?”
Petter kembali tertawa kali ini sedikit lebih kencang. “Ya.” Suaranya yang dalam menyahut dengan tegas.
“Baik, cukup dari saya. Saudara pengacara, ada yang ingin ditambahkan?”
Hassan yang sedari tadi sudah tidak sabar menunggu gilirannya, berdiri dengan congkak. Ia mengendorkan sedikit dasi salur yang bertaut di kemeja berwarna kunyit tua, dengan langkah penuh kepercayaan diri, pengacara nyentrik itu berdiri tepat di tengah ruang sidang, memegang beberapa lembar berkas dan ballpoint bertinta hitam legam.
“Terimakasih, Hakim ketua. Saudara saksi, Petter Van Beek, benar?”
Petter mengangguk mantap. “Benar.”
“Anda ‘kan seorang tengkulak, juragan tanah yang cukup dikenal di desa, sama dengan klien saya. Apakah Anda pernah mengenal atau mengetahui tentang klien saya?”
“Tidak.”
“Kalian ‘kan sama-sama Juragan, bagaimana mungkin tidak kenal atau sekedar mengetahui. Bukankah ada asosiasi kusus untuk para tengkulak di negeri ini?!”
“Saya tidak tergabung di dalamnya.”
“Seorang tengkulak dan juragan paling kaya, tidak bergabung dalam sebuah asosiasi?” Hassan mempertegas pertanyaannya, seolah ingin meyakinkan jawaban yang di berikan pihak lawan.
“Ya.”
“Kenapa? Apakah berkumpul dengan para juragan pribumi terlalu rendah untuk Anda?”
“Bukankah pribumi sendiri yang ingin memisahkan diri?” Petter menyahut dengan tegas dan lugas.
“Saudara saksi, saya bertanya. Jadi, Anda cukup menjawab pertanyaan saya, jangan malah ngajak berdebat dengan balik bertanya!” Hassan sedikit meninggikan suaranya, tatapannya menjurus.
“Itu jawaban saya.”
Hassan berdehem kecil, sepatu pantopel buluknya menghentak lantai pelan.
“Saudara saksi, Anda tadi berbicara tentang hutang, dan perhitungan yang harus saudari penggugat bayarkan kepada Anda. Apakah, jika klien saya memberi nominal yang Anda inginkan, Anda akan melepaskan saudari Sulastri dari cengkraman Anda?”
Petter tersenyum samar, tatapannya menjurus pada Sulastri yang sibuk memelintir ujung kebayanya. “Apa saya mengatakan penggugat harus membayarnya?”
“Itu artinya, Anda berniat menjadikan penggugat budak, seperti yang sering bangsa Anda lakukan terhadap pribumi?!”
Para pengunjung pun kembali riuh meneriakkan protes dan cacian.
“Huuuuu … dasar Londo. Bilangnya saja menolong ujungnya meras keringat juga!” Teriak entah siapa dari kerumunan.
“Benar itu …,”
“Sekali penjajah … tetap penjajah!”
“Sidang ini tidak fair …,”
“Benar ….
“Huuuuuu ….
“Tenang semua tenang!” Slamet kembali menenangkan. “Saudara pengacara, apakah sudah cukup?”
“Belum, Yang Mulia. Masih ada sedikit yang ingin saya ketahui dari saudara saksi.”
“Silahkan lanjutkan! Hadirin harap tenang, agar sidang bisa kita lanjutkan!” lanjut Slamet, kembali menyimak dengan saksama.
“Saudara saksi, Anda tadi mengatakan, klien saya menyalahi adat kesopanan yang di ajarkan nenek moyang, benar?”
Petter mengangguk yakin.
“Lalu, apakah menurut saudara, yang saudara lakukan terhadap saudari penggugat, tidak menyalahi aturan kesopanan? Bukankah yang Anda lakukan jauh lebih menyalahi moral bangsa ini?!”
“Apakah dengan menahan dan meminta seorang wanita yang sudah bersuami, tinggal bersama Anda tidak menyalahi adat ketimuran yang bangsa ini junjung tinggi?!”
“Keberatan, Yang Mulia.” Pramono menyela pertanyaan Hassan yang mencerca.
“Keberatan di terima. Saudara Pengacara penggugat silahkan sampaikan keberatan Anda.” Slamet berujar dengan tegas.
“Saudara pengacara, saya perhatikan sedari tadi pertanyaan Anda sedikit melenceng dari kasus ini, apakah niat Anda menggali bukti hanya untuk menyerang personal saksi?”
Hassan melirik ke arah Pramono, bibi tebalnya melengkung pelan. “Dari kacamata mana saudara bisa mengatakan, saya menyerang personal saudara saksi. Yang saya pertanyakan hanya tentang moral, aturan bangsa dan agama kita?”
“Saya rasa kita tidak perlu membahas tentang moral, apalagi membawa ras dan agama, kehadiran Tuan Van Beek di persidangan ini hanya untuk memberi informasi, apa yang sebenarnya terjadi malam itu, agar pokok permasalah persidangan ini bisa kita luruskan bersama. Karena, jika kita bicara moral, klien Anda pun melakukan hal yang sama!” Tekan Pramono.
“Apa Anda yakin klien saya juga melakukan hal yang sama? Klien saya bahkan belum Anda tanya? Kita ini pemuda Indonesia Bung, bukankah seharusnya kita membela bangsa kita sendiri, bukan malah membela penjajah seperti yang Anda lakukan! Apakah Anda lupa isi sumpah pemuda yang kita gaungkan dengan semangat perjuangan!”
“Lalu, apakah dengan begitu, kita juga melupakan azaz negara kita tentang kemanusian yang adil dan beradab. Apakah kita hanya menilik dari segi moral dan melupakan rasa kemanusian yang sudah Tuan Van Beek lakukan terhadap penggugat dan putrinya?!” Pramono menyahut dengan lantang dan tegas.
Para pengunjung kembali riuh, ada yang bersikukuh dengan pendapatnya, banyak pula yang mulai goyah.
Hassan mendengus kesal, niatnya menyerang Petter untuk merubah pandangan masyarakat dan melihat kasus ini sebagai kesalahan moral Sulastri. Namun, sepertinya dia lupa bahwa masyarakat pun punya rasa kemanusiaan yang tinggi.
Slamet kembali menengahi, ketokan palunya jauh lebih nyaring dari sebelumnya.
“Tenang semua tenang! Saudara Hassan, apakah masih ada yang ingin di tambahkan?”
“Cukup, Yang mulia.” Hassan menyerah dengan wajah masam.
“Baik, Tuan Van Beek, silahkan kembali ke tempat Anda.”
Petter berjalan dengan tenang, sudut matanya melirik wanita beralis lancip yang sedari tadi memperhatikannya tanpa berkedip.
Slamet—sang hakim ketua kembali mengambil alih jalannya persidangan. Tangan gempalnya mengganti tumpukan berkas yang berserak di mejanya.
“Baik. Sidang akan dilanjutkan setelah makan siang untuk mendengarkan pembelaan dari tergugat. Saya harap semua bisa kembali tepat waktu. Saya akhiri sidang pagi ini
“Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Tok!
Bersambung.
Maaf telat update ....
Amatiran ini encok dari tadi malam🤧