NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 Mode Pelindung Aktif

Lift berhenti di lantai tiga puluh satu dengan bunyi lembut yang hampir tidak terdengar. Begitu pintunya terbuka, aroma kayu manis, lavender, dan sedikit aroma coffee beans memenuhi indra Bulan. Penthouse Bhumi selalu memiliki atmosfer yang berbeda dari ruang-ruang lain—tenang, luas, hangat, dan dipenuhi cahaya lampu warm-white yang memantul lembut di lantai marmer.

Bhumi menggandeng tangan Bulan masuk melewati pintu otomatis yang terbuka, membawa mereka langsung ke ruang tamu luas dengan pemandangan kota Surabaya malam hari. Dari ketinggian itu, lampu-lampu gedung, jalanan, dan kendaraan terlihat seperti lautan kunang-kunang yang tidak pernah padam.

Bulan berdiri di tengah ruangan, tangan masih berada di dalam genggaman Bhumi, tubuhnya ragu-ragu, pikirannya penuh gelombang yang sulit dirapikan. Bhumi melepaskan genggamannya perlahan, lalu mengalihkan pandangannya sejenak untuk menyalakan lampu-lampu kecil di sudut ruangan. Cahaya hangatnya langsung membuat atmosfer menjadi lebih intim dan personal.

Bulan menelan ludah perlahan, menatap punggung Bhumi yang begitu tenang, begitu kokoh, namun jelas menyimpan sesuatu. Suara Bhumi terdengar beberapa detik kemudian, rendah dan datar.

Lalu Bhumi mulai melepaskan jas nya dna menaruhnya asal di pinggiran sofa, kemudian ia melonggarkan dasinya hingga terlepas dari lehernya dan meletakann asal diatas jasnya, dua kancing kemeja bagian atas sudah ia buka juga, tidak lupa juga ia gulung kedua lengan kemejanya sampai siku.

“Jadi, sampai kapan kamu mau sembunyi dari aku?”

Bulan langsung kaku. Ia memalingkan wajah, memilih duduk di sofa putih besar dekat jendela, matanya menatap lampu-lampu kota untuk menghindari tatapan Bhumi.

“Ini bukan apa-apa, Mas. Ini cuma masalah internal aku dan Liora saja,” jawabnya, berusaha terdengar stabil meski suaranya sedikit bergetar.

“Aku memang berencana akan memberitahu Mas entar malam, via telpon” Lanjut Bulan lagi.

Bhumi perlahan berbalik. Langkahnya pelan, berat, dan setiap langkahnya membawa tekanan emosional yang terasa sampai ke kulit.

“Bulan,” ucapnya, setengah berbisik, tapi dingin. “Kamu benar-benar pikir aku bisa percaya itu?”

Bulan memejam sebentar. “Aku tidak mau Mas Bhumi ikut campur. Ini bukan urusan Mas.”

Bhumi mendekat dua langkah lagi, ekspresinya sulit terbaca.

“Bukan urusanku?” Nada suaranya mengandung luka dan kemarahan yang tertahan.

“Rembulan, kamu baru saja hilang kendali saat menjawab pertanyaan aku di ruang meeting tadi, kamu tidak bisa menatap aku lebih dari dua detik, dan kamu keluar dari pekerjaan yang kamu bangun selama delapan tahun tanpa alasan jelas. Kamu pikir aku tidak melihat itu?”

Bulan menoleh cepat, suaranya sedikit meninggi. “Mas Bhumi, jangan begini. Aku tidak mau—”

“Tahu,” potong Bhumi, kini berdiri tepat di depannya, cukup dekat untuk membuat dada Bulan ikut naik-turun. “Aku tahu kamu tidak mau cerita. Tapi itu bukan karena tidak ada apa-apa. Itu karena kamu takut sesuatu akan berubah.”

Bulan terdiam. Jantungnya berdegup sangat keras. Bhumi menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh intensitas, tatapan yang seakan menembus tembok pertahanan yang bertahun-tahun ia bangun.

“Plis…” suara Bhumi melemah, sangat berbeda dari suaranya yang berwibawa. “Kasih tahu aku ada apa.” Ia berlutut perlahan di depan Bulan, menurunkan tinggi tubuhnya sampai sejajar dengan wajah Bulan.

“Kamu bisa cerita ke aku.” Suara Bhumi mulai melunak.

Bulan memalingkan wajah, menahan napas agar tidak pecah. “Mas… jangan paksa aku.”

“Aku nggak maksa.” Bhumi menggeleng pelan. “Aku cuma… mau kamu percaya kalau kamu bisa andalkan aku.”

Ia mengangkat tangan, menyentuh punggung tangan Bulan dengan jemari hangatnya. “Bulan… aku cinta sama kamu.”

Bulan membeku. matanya menatap mata Bhumi lama, mencari kebohongan disana. Tapi Bulan tidak menemukan itu, yang ia lihat hanya ketulusan dari seorang pria yang saat ini sedang berlutut didepannya.

Dan akhirnya Bhumi mengeluarkan kalimat itu juga, kalimat yang sudah ia pendam selama beberapa hari ini di dalam dadanya. Kalimat yang seharusnya ia keluarkan dalam keadaan siasan yang romantis bukan suasana yang hampir tegang seperti ini.

Tapi Bhumi sudah tidak perduli, yang ia perdulikan adalah Wanita yang sedang ia tatap didepannya ini, Wanita yang sedang ia genggam tangannya ini. Yang ada dipikiran Bhumi saat ini adalah ia ingin segera memiliki Wanita ini dan berbagi suka duka bersamanya.

Bhumi menatapnya dengan sorot paling jujur yang pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

“Aku cinta sama kamu, Rembulan,” ulangnya, nada suaranya lebih dalam. “Jadi tolong… ijinin aku masuk ke dunia kamu. Ke masalah kamu. Ke hidup kamu.”

Bulan meremas ujung blazer yang ia pakai, menurunkan wajahnya agar Bhumi tidak melihat matanya yang mulai berair. Tapi Bhumi mendekat, mengangkat wajah Bulan dengan satu sentuhan lembut di dagunya.

“Lihat aku,” pintanya. “Jangan pergi dari aku sendirian. Jangan hadapi ini sendirian.”

Suara itu… terlalu tulus. Terlalu memohon, terlalu menembus dinding yang Bulan pasang begitu tinggi. Dan saat sentuhan hangat Bhumi mencapai pipinya, dinding itu runtuh.

Air mata yang Bulan tahan sekuat mungkin jatuh pelan, membentuk jejak hangat di kulitnya. Ia mengangkat tangan untuk menutup wajah, tapi Bhumi lebih cepat—menggenggam kedua pipinya dengan lembut dan menarik tubuh Bulan ke pelukannya.

Dan untuk pertama kalinya, Bulan benar-benar pecah.

Ini pertama kalinya Bulan menangis sampai seperti ini, terakhir kali ia menangis pada saat pemakaman orang tuanya sepuluh tahun yang lalu.

Badannya bergetar di dalam pelukan itu. Nafasnya patah, suara kecilnya keluar berulang kali, penuh rasa sakit yang ia pendam sendirian.

“Aku benci bilang ini ke orang lain…” suaranya serak, terhenti-henti karena tangis.

“Aku benci terlihat lemah di depan siapa pun…” Ia meremas kemeja Bhumi, menggenggamnya seolah itu satu-satunya pegangan yang ia punya.

“Tapi Mas Bhumi…” suaranya pecah lagi. “Kenapa aku jadi begini kalau sama Mas?”

Bhumi menutup matanya, memeluk Bulan lebih erat, satu tangannya mengusap rambut Bulan dengan gerakan lembut yang menenangkan.

“Kamu aman sama aku,” bisiknya. “Aku janji.”

Setelah Lelah menangis, Bulan akhirnya bisa menyandarkan punggung dan kepalanya di dada bidang Bhumi sedangkan Bhumi menyandar pada sofa besar sembari memeluk Bulan dari belakang. Tatapan mereka menghadap kaca jendela besar yang menampilkan suasana kota Surabaya malam hari.

Dalam keheningan malam dan suasana penthouse yang sedikit sepi serta sedikit temaram, akhirnya Bulan menceritakan semuanya kepada Bhumi.

Tentang Farhan, tentang obsesinya, tentang bagaimana ia mengikutinya, tentang kejadian masa kuliah yang hampir mengubah hidupnya. Tentang bagaimana ia melawan, menghajar Farhan sampai lebam karena tidak sudi disentuh orang yang berniat buruk. Tentang adanya ketakutan kalau bertemu dengan Farhan dan dia mendekat lagi , adanya rasa jijik, rasa marah, dan enggan untuk berurusan dengan Farhan selamanya.

Bulan juga menceritakan tentang Liora yang dikejar kejar Aldo, seorang playboy yang sering keluar masuk klub malam. Bulan juga bercerita kalo Aldo pasti akan mencari cara agar Liora tidak ikut resign karena Bulan tahu seberapa obsesinya Aldo itu terhadap Liora tapi Liora masih bisa menghandlenya sendiri.

Ia juga mengatakan sesuatu yang paling menyakitkan baginya, “Aku nggak mau masa lalu yang sedikit kotor itu… ngambil ruang di hidup Mas. Aku nggak mau Mas jijik atau merasa aku bawa masalah ke hidup Mas.”

Bhumi menggeser tubuh Bulan sedikit kekanan hanya untuk menatap matanya langsung.

“Dengar aku, Rembulan. Tidak ada yang kotor tentang kamu.” Ia menghapus air mata Bulan dengan ibu jarinya, perlahan. “Kamu tidak salah. Kamu tidak perlu malu. Dan kamu tidak pernah mengotori hidup aku. Justru kamu… yang bikin hidup aku lebih terang.”

Bulan kembali menangis, lebih pelan, lebih dalam—tangis seseorang yang akhirnya diizinkan merasa aman.

Bhumi memeluknya lagi dari belakang, kali ini lebih hangat, lebih kokoh, seakan ingin memindahkan semua rasa takut dan sakit itu ke dirinya sendiri. Pelukannya bukan sekadar rangkulan—tapi perisai. Sebuah janji sunyi yang tidak perlu diucapkan dengan kata-kata panjang.

“Mulai sekarang…” bisiknya pelan di samping telinga Bulan, suara rendahnya bergetar ringan.

“Biar aku yang jagain kamu.”

Bulan menelan napas, jemari kecilnya meremas lengan Bhumi yang melingkari perutnya. Ada bagian dirinya yang masih ragu… bukan pada Bhumi, tapi pada dirinya sendiri—apakah ia pantas merasa aman lagi.

“Terus Lintang?” suaranya hampir pecah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan semuanya sendirian. “Aku gak mungkin… gak jagain adik aku.”

Bhumi menggeleng kecil, dagunya menyentuh lembut atas kepala Bulan.

“Lintang aman,” ucapnya pasti, nada suara yang tidak pernah Bulan dengar sebelumnya—perlindungan murni yang datang dari hati. “Akan ada yang jagain adik kamu dari jauh. Orang yang aku percaya. Kamu fokus sama diri kamu dulu.”

Tangan Bhumi mengelus punggung tangan Bulan dengan gerakan pelan yang menenangkan, sementara ia menyenderkan dagunya di atas kepala perempuan itu. Ia menunduk sedikit, mengecup pelipis Bulan. Lembut, tidak terburu-buru, seolah ingin memastikan Bulan tahu bahwa ia berada di tempat yang aman.

Sedangkan Bulan… Ia memejamkan mata.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membiarkan dirinya bersandar penuh pada seseorang.

Bukan sebagai COO, bukan sebagai kakak yang harus kuat setiap waktu, bukan sebagai perempuan yang pernah dipaksa bertahan sendirian.

Tapi sebagai Bulan— seorang perempuan yang akhirnya menemukan ruang di mana ia boleh…

menguap sedikit, lemah sedikit, dan diizinkan merasa aman.

Bahunya jatuh perlahan. Ketegangan yang selama ini ia kunci di tubuhnya mulai luruh satu per satu. Jari-jari yang tadi tegang kini mencengkeram lengan Bhumi hanya untuk memastikan bahwa pelukan itu nyata. bahwa laki-laki ini benar-benar ada, bahwa ia tidak lagi sendirian menghadapi apa pun yang akan datang.

“Mas Bhumi…” suara Bulan pecah pelan.“…aku capek.”

Bhumi menariknya lebih dekat, menutup mata juga.

“Aku tahu,” bisiknya. “Sekarang… kamu gak perlu capek sendirian lagi.”

Di ruangan yang hening itu, dua hati yang sama-sama meraskan nyaman akhirnya menemukan tempat untuk beristirahat.

Dan malam itu, di penthouse lantai tiga puluh satu yang diterangi cahaya lampu, dua hati yang selama ini saling memandang dari jauh akhirnya bertemu di tempat yang sama—bukan karena kebetulan, tapi karena keberanian Bulan untuk pecah, dan keberanian Bhumi untuk mencintainya apa adanya.

**

Pelukan hangat disofa itu akhirnya mereda pelan. Bulan masih bersandar di dada Bhumi, pundaknya naik-turun lembut, napasnya mulai stabil. Bhumi mengusap punggung tangannya perlahan dengan cara yang menenangkan, bukan terburu-buru, bukan menuntut—hanya sebuah sentuhan yang membuat Bulan merasa aman dengan cara yang tidak ia sadari selama ini.

Beberapa menit berlalu, tetapi Bulan tidak bergerak. Nafasnya pelan, teratur, dan hangat di lengan Bhumi.

Bhumi menunduk sedikit, ingin melihat wajahnya. Dan saat wajah itu terlihat—dengan bulu mata basah yang menempel halus di pipi, dan garis lembut yang muncul ketika seseorang sudah benar-benar menyerah pada rasa lelah— Bulan ternyata tertidur. kemudian Bhumi mengecup kening Bulan pelan, ingin menyalurkan rasa aman untuk wanita yang dicintainya ini.

Di pelukannya, dengan napas kecil dan damai, dengan jemari yang masih menggenggam ujung jarinya seakan tubuhnya belum sepenuhnya siap melepaskannya.

Bhumi menghela napas kecil, sangat lembut, nyaris seperti bisikan syukur. Ada sesuatu yang bergeser dalam dadanya—bukan sekadar kasihan, bukan sekadar marah, tetapi rasa ingin melindungi yang begitu kuat, sampai-sampai membuat dadanya terasa penuh.

Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Bulan, Bhumi menggeser posisi tubuhnya. Ia menyelipkan satu lengan di bawah lutut Bulan dan satu lagi di belakang punggungnya. Lalu perlahan, ia mengangkat tubuh Bulan, membawanya ke arah kamar utama penthousenya.

Lampu-lampu koridor kamar menyala lembut ketika sensor mendeteksi gerakan. Cahaya kuning keemasan menyapu kulit Bulan, membuat ia terlihat seperti sesuatu yang rapuh… tapi berharga.

Bhumi membaringkannya perlahan di tempat tidur king-size yang rapi. Ia merapikan rambut Bulan yang jatuh ke pipi, lalu menarik selimut tipis untuk menutupi tubuhnya.

Beberapa helai rambut menghiasi dahi Bulan. Bhumi menyentuhnya, menggesernya dengan tiga jari perlahan, seakan menyentuh sesuatu yang sangat berharga.

Ia duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan wajah tidur Bulan—wajah yang begitu damai, begitu tenang, begitu kontras dengan segala cerita kelam yang baru ia dengar sore ini.

Bhumi menghembuskan napas perlahan.

Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Bulan dengan intensitas lembut yang muncul dari kedalaman hatinya sendiri.

“Aku nggak janji hal besar secara asal,” bisiknya.

Tangan hangatnya menyentuh punggung tangan Bulan. “Tapi untuk ini… untuk kamu…”

Ia mengecilkan suaranya lebih dalam. “Aku tidak akan diam kalau seseorang menyakitimu lagi.”

Kalimat itu meluncur perlahan dari bibirnya—bukan ancaman, tetapi tekad. Tekad yang membuat dada Bhumi terasa penuh, seperti ia baru saja mengikat janji hidup kepada dirinya sendiri.

Bhumi berdiri, mematikan lampu kamar kecuali lampu meja di sisi Bulan. Ia menatap Bulan sekali lagi, memastikan ia nyaman. Lalu ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan sangat hati-hati.

*

Bhumi kembali ke ruang kerja kecil di dekat kamar tamu. Ia menghela napas pendek, lalu mengambil ponsel. Hanya butuh dua detik sebelum ia menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya.

Arsen mengangkat di dering pertama. “Pak?”

“Ada sesuatu yang perlu kamu lakukan malam ini juga.” Suara Bhumi rendah dan penuh tekanan yang tak terbantahkan. “Lintang. Adiknya Bulan.”

Arsen langsung paham dari nada suara itu. “Saya ingat. Kami pernah bertemu waktu di acara break-through prototype.”

“Letakkan bodyguard bayangan di sekitarnya,” perintah Bhumi. “Mulai malam ini. Jangan sampai dia sadar. Jangan sampai siapa pun tahu. Dan pastikan tidak ada satu pun orang asing yang bisa mendekatinya.”

Arsen menjawab cepat tanpa tanya-tanya lebih jauh. “Baik, Pak. Saya urus sekarang.”

“Kirim laporan setiap enam jam,” tambah Bhumi.

“Siap, Pak.” Panggilan ditutup.

Bhumi bersandar sebentar ke kursi, menatap layar ponselnya. Ada rasa lega kecil—setidaknya Lintang kini aman. Setidaknya satu bagian dari hidup Bulan tidak perlu ia khawatirkan.

Tetapi masih ada yang lain yang harus ia urus. Bhumi lalu menekan nomor Marvin. Ringtone hanya berbunyi sekali sebelum Marvin mengangkat.

“Vin” ucap Bhumi datar, jarinya mengetuk meja kerjanya dengan irama yang constant.

“Ada apa? Suara lo beda,” tanya Marvin langsung.

Bhumi tidak membuang waktu. “Gue perlu bicara tentang Global Teknologi. Ada sesuatu yang gak beres.”

“Gue tau,” jawab Marvin. “Sampai Liora pun resign. Itu gila.”

“Masalahnya lebih besar dari itu,” ujar Bhumi dengan nada dingin. “Direksi baru mereka, Farhan Pahlevi, bukan orang yang layak dekat dengan Bulan atau Liora.”

Diseberang sana Marvin langsung menegakkan punggungnya. “Ada yang dia lakukan?”

Bhumi menahan napas sejenak. Ada satu bagian yang ia jaga ketat, bagian tentang nyaris dilecehkannya Bulan—bagian itu hanya untuk dia dan Bulan.

“Gue gak akan ceritakan semua detailnya. Yang perlu lo tahu, kehadiran dia bukan hal baik.”

Marvin memahami. “Katakan apa yang harus gue lakukan.”

Bhumi menambahkan, suaranya lebih gelap. “Dan satu lagi, ada direksi bernama Aldo. Dia terobsesi pada Liora.”

Marvin yang biasanya datar kini berubah. Suaranya turun setengah oktaf. “Apa?”

“Menurut Bulan, dia akan mencari cara untuk menahan Liora tetap dalam jangkauannya. Gak tau kenapa gue gak suka dengernya”

Mereka diam diam sejenak. Sampai Bhumi menambahkan, “Besok pagi, datang ke kantor gue. Ada yang perlu kita bahas lebih dalam.”

Marvin menjawab tanpa ragu. “Gue datang.”

Bhumi mendengar suara Marvin mengembuskan napas berat.

“Dan Bhumi…” Nada Marvin berubah serius, gelap, dan dingin.

“…terima kasih lo udah infoin gue. Untuk urusan Liora, itu biar jadi urusan gue.” Kemudian panggilan ditutup.

Bhumi menghembuskan napas pelan, panjang, sebelum akhirnya meletakkan ponselnya di atas meja kerja. Suara dentingan kecil dari permukaan kayu hitam itu terasa seperti titik koma dari rangkaian keputusan besar hari ini.

Setidaknya – satu urusan sudah selesai. Namun masih ada satu hal lain yang menunggu, lebih rumit, lebih sensitif, dan jauh lebih penting baginya daripada rapat mana pun: urusan dengan Global Teknologi.

Bhumi memijat pangkal hidungnya sejenak, pikirannya berputar cepat. Ia tahu betul apa arti perusahaan itu bagi Bulan, delapan tahun bukan waktu yang sebentar, delapan tahun membangun pondasi, menumbuhkan kredibilitas, dan menopang puluhan karyawan yang ia anggap sebagai keluarga.

Global Teknologi bukan sekadar tempat kerja bagi Bulan. Itu hidupnya. Jiwanya.

Bagian dari dirinya yang berkembang keras sejak masa terluka, sejak ia harus bertahan sendirian.

Dan sekarang, hanya karena seseorang dari masa lalu— seseorang yang tidak pantas kembali memasuki hidup Bulan— perempuan itu terpaksa mengalah dan mundur.

Bahu Bhumi menegang. Rahangnya mengeras pelan.

Tidak. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Bulan sudah berjuang terlalu lama seorang diri. Jika ada satu hal yang kini menjadi tanggung jawabnya, maka itu adalah memastikan hidup perempuan itu tidak lagi digoyahkan oleh siapa pun. Terutama oleh seseorang yang pernah menyakitinya.

Bhumi meluruskan duduknya, menggeser dokumen di meja, matanya kembali fokus—

tenang, tapi penuh tekad.

“Aku yang akan urus ini,” gumamnya rendah.

Dan ketika Bhumi Jayendra sudah berkata begitu, dunia biasanya menyingkir memberi jalan.

**

tbc

1
Al_yaa
di bab ini si marvin pemenangnya
Al_yaa
/Angry//Hey//Hey/
Al_yaa
marvin jan langsung diulti gitu apahhh
Al_yaa
omigat omigat lioraaaa/Facepalm/
KaosKaki
ya Allah, si Marvin mahhhh 😍
KaosKaki
/Angry//Awkward/
Al_yaa
bab ini bikin melting ihh, mauu satu yang kaya bhumi 😍
Al_yaa
padahal, liora juga mau ngomel tuhh ehh dikasi vitamin baby sama marvin malah meleleh diaa, jadi lupa deh mau ngomelnya
Anonymous
disuguhin yang manis manis dulu ya thorrr
Al_yaa
bab ini banyak ke uwuan /Smile//Hey//Grin/
Anonymous
marvin sama Liora.. kiw kiw /Scream/
Al_yaa
baca bab ini bawannya senyum mulu /Chuckle/
Al_yaa
manis bener mas bhum /Smile/
KaosKaki
bab ini kaya ada manis manisnya 😄/Joyful/
Bia_
asem banget si Marvin bilang Cinta aja ribet banget/Scream//Angry/
Bia_
bisa aja si marvin🤭/Facepalm/
Bia_
Bhumi modus /Facepalm/
KaosKaki
asik, bhumi mulai melancarkan aksinya /Scream/
Bia_
Akhirnya dibab ini bhumi pecah telor juga 🤭
Al_yaa
OMG mas bhumiiiii 😍/Kiss/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!