Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Ruang tunggu di lantai dua Adlerion Academy berbau furnitur lama dan pendingin ruangan yang terlalu dingin. Dindingnya penuh pigura prestasi lulusan-lulusan terdahulu, kebanyakan berakhir di perusahaan besar, beberapa bahkan terpampang dengan label: AdlerTech Industries.
Ethan duduk tegap di atas kursi kulit hitam. Tangannya terlipat, jam perak di pergelangan tangan memantulkan cahaya tipis. Di sebelahnya, Rowan berdiri seperti biasa—tenang, penuh perhitungan, matanya sesekali melirik layar ponsel. Di seberang mereka, Ezra duduk gelisah, jemarinya tidak bisa diam, bibirnya berulang kali menggumam tidak jelas.
“A-anu, Pak…” Ezra melirik pintu, lalu kembali pada tangannya sendiri. “Teman saya tuh… orangnya antisosial dikit. Dingin kayak es batu. Tapi… tolong, jangan dibunuh ya, Pak.”
Ethan sedikit mengangkat alis.
“Aku tidak membunuh anak sekolah, Ezra.”
“Hahaha… iya, Pak. Bercanda.” Ezra menelan ludah. “Tapi serius, dia itu—”
Klik.
Handle pintu berputar. Suara begitu pelan, hampir tidak terdengar, tetapi cukup membuat udara di dalam ruangan berubah.
Aiden berdiri di ambang pintu.
Seragamnya sedikit kusut dari hukuman pagi, rambut hitamnya berantakan tapi justru memberi kesan liar yang terkontrol. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie hitam yang ia kenakan di luar seragam. Tatapannya menyapu ruangan perlahan, dingin, tanpa ragu.
Tatapannya berhenti… di satu titik.
Di Ethan.
Dan untuk sesaat, sesuatu yang tidak kasat mata seperti bergetar di udara di antara mereka.
Sunyi.
Bukan karena tidak ada suara, tapi karena waktu seperti berhenti.
Rowan langsung sadar. Ini bukan pertemuan biasa.
Ezra berdiri gugup. “Bos… ini…”
“Aiden,” potong Ethan pelan. “Silakan duduk.”
Aiden melangkah masuk, langkahnya lambat, seperti singa yang sadar dirinya sedang masuk ke kandang orang lain tapi tidak takut. Ia duduk tepat berseberangan dengan Ethan.
Jarak mereka… tidak lebih dari dua meter.
Dan kemiripan itu terlalu jelas untuk diabaikan.
Rahang. Bentuk hidung. Sorot mata yang dingin namun menyala di dalam. Bahkan cara duduk itu—tenang, dominan, seolah ruangan ini miliknya.
Ethan menatapnya tanpa berkedip.
Aiden juga.
Tidak ada rasa tunduk di sana. Tidak ada rasa kagum berlebihan. Yang ada justru… sesuatu yang asing namun terasa familiar.
“Apa desain ini milikmu?” tanya Ethan sambil meletakkan selembar kertas di meja kecil di antara mereka.
Sketsa mobil sport dengan rancangan futuristik. Garis-garisnya tegas, agresif, tapi tetap elegan. Ini adalah desain yang membuat Ethan terpaku sejak pertama melihatnya.
Aiden melirik kertas itu satu detik saja.
“Ya.”
“Kelihatannya bukan desain anak sekolah.”
“Karena saya bukan anak sekolah yang biasa, Pak.”
Ezra menelan air liur. “Gila… keren banget, kan…”
“Apa yang menginspirasimu?” tanya Ethan.
Aiden diam sejenak, lalu berkata, “Kemarahan.”
Alis Ethan terangkat tipis.
“Kemarahan pada apa?” lanjutnya.
“Pada dunia yang suka menentukan nasib orang dari nama belakang,” jawab Aiden dingin. “Juga pada pria yang nggak tahu apa yang sudah dia tinggalkan di masa lalu.”
SEPI.
Rowan mengangkat wajah pelan, menatap Aiden dengan sorot yang berubah.
Pandangan Ethan mengeras, tapi bibirnya justru sedikit terangkat—bukan senyum puas. Lebih seperti… tersentuh.
“Aku ingin kau bergabung dengan AdlerTech Industries,” ucap Ethan pelan tapi penuh kuasa. “Bukan sebagai siswa magang… tapi sebagai calon desainer tetap setelah kau lulus nanti. Aku akan menyiapkan jalurnya.”
Ezra membelalak. “GUE BILANG APA?! GUE BILANG APA?!”
Aiden tidak bereaksi.
“Nggak,” jawabnya singkat.
Satu kata.
Tegas.
Bersih.
“Pikirkan dulu sebelum menjawab.” ucap Ethan.
“Saya sudah berpikir sejak Bapak mulai bicara,” jawab Aiden. “Dan jawabannya tetap nggak.”
“Kenapa?”
“Karena saya nggak mau dibeli.”
“Aku tidak membelimu. Aku memberimu jalan.”
“Apa ada bedanya?”
Ethan menatapnya lama, lalu bersandar sedikit ke belakang. Ia tidak marah. Tidak tersinggung.
Justru… senyum kecil muncul di bibirnya.
Senyum yang tidak pernah ia berikan pada siapa pun di ruangan ini.
“Kau benar-benar seperti aku dulu,” gumamnya, hampir tidak terdengar.
Aiden menajamkan tatapan. “Bapak kenal saya?”
“Aku merasa seperti mengenalmu seumur hidup.”
Hening lagi.
Ada sesuatu dalam kata itu yang membuat dada Aiden terasa aneh—berat, tapi bukan karena benci.
“Kalau gitu Bapak pasti tahu… saya nggak suka orang yang sok kenal sama saya.” ucapnya.
Lalu ia berdiri.
“Ezra, ayo pergi.”
Ezra gelagapan. “Ha? Sekarang? Tapi—”
“Gue nggak suka tempat ini,” lanjut Aiden pelan tapi pasti. “Aroma uang dan ambisi di sini bikin gue mual.”
Ethan tidak menghentikannya.
Ia hanya memperhatikan setiap gerak Aiden—setiap langkah menjauh seolah membawa sebagian dirinya bersamanya.
Ezra menunduk kecil ke arah Ethan. “Maaf ya, Pak… Dia kalau ngomong emang kayak mau nabrak truk…”
Aiden menarik lengan Ezra keluar ruangan, pintu tertutup pelan di belakang mereka.
Klik.
Sepi kembali.
Rowan baru berani bicara.
“Bapak melihatnya juga, kan?”
Ethan tidak langsung menjawab.
Matanya masih terpaku pada pintu yang baru saja dilewati Aiden.
“Aku tidak hanya melihat,” ucapnya pelan. “Aku seperti… melihat masa mudaku berdiri di depanku.”
“Jadi…” Rowan mengatur napas, “Bapak makin yakin?”
Ethan akhirnya tersenyum penuh.
Bukan senyum CEO.
Tapi senyum seorang ayah yang baru saja menemukan sesuatu yang selama ini hilang.
“Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku.”
...----------------...
Siang itu, langit di atas gedung AdlerTech Industries tampak pucat. Matahari tidak terlalu terik, tapi panasnya cukup membuat kaca-kaca gedung memantulkan silau lembut ke seluruh area parkiran. Sebuah mobil hitam elegan berhenti tepat di depan lobi utama. Pintu terbuka perlahan.
Ethan Royce Adler turun dengan langkah tenang namun penuh tekanan, seperti badai yang memilih berjalan pelan sebelum menghancurkan apa pun di depannya.
Beberapa karyawan refleks menunduk, sebagian lagi pura-pura sibuk—ritual yang selalu terjadi setiap kali sang CEO melintas. Tidak ada senyum. Tidak ada sapa. Hanya aura dingin, tegas, dan tak terbantahkan.
Ia masuk ke dalam gedung tanpa menunggu siapa pun menyambutnya.
Di lantai atas, Keira baru saja kembali ke mejanya setelah mengantar berkas ke bagian keuangan. Nafasnya masih sedikit terengah saat tangannya menyentuh gagang pintu ruang sekretaris. Begitu ia menutupnya, sebuah suara rendah menyusup ke telinganya.
“Masuk ke ruanganku.”
Seketika tubuhnya menegang.
Itu suara Ethan.
Keira menoleh. Ethan berdiri beberapa langkah darinya. Jas coklat gelap membingkai bahunya dengan sempurna, kemeja putihnya rapi, dasinya lurus sempurna. Matanya menatap Keira dalam diam, tapi dalam diam itu ada sesuatu yang mengunci.
“Sekarang.” tambahnya pelan.
Keira berusaha santai. “Ada apa, Pak?”
Ethan tidak menjawab. Ia sudah lebih dulu berbalik dan berjalan menuju ruangannya. Tidak berlari. Tidak tergesa. Tapi setiap langkahnya seolah menarik Keira untuk mengikutinya.
Dan Keira… tidak punya pilihan lain.
Di dalam ruang kerja Ethan, suasana seperti biasa: rapi, luas, dan terlalu tenang. Bau kopi tipis masih menggantung di udara. Ethan menutup pintu di belakang mereka—tanpa suara keras, tapi cukup membuat jantung Keira berdetak lebih cepat.
“Duduk,” ucapnya.
Keira duduk di kursi di depan meja Ethan, berusaha memasang wajah profesional walaupun telapak tangannya mulai berkeringat.
“Acara di Adlerion Academy berjalan lancar,” katanya ringan. “Banyak anak berbakat. Termasuk teman anakmu.”
Nafas Keira tertahan setengah detik.
“T-teman anak saya?” Keira tertawa kecil, dibuat-buat. “Maksud Bapak Ezra? Ya, anak itu emang agak gila, sih. Kayak pemiliknya.”
Sudut bibir Ethan naik sedikit.
“Bukan Ezra yang membuatku tertarik.”
Udara terasa lebih berat.
“Tapi... anakmu.”
Nama itu jatuh di ruangan seperti batu ke dalam air tenang.
Keira tetap tersenyum, tapi senyum itu mulai retak. “Oh… Aiden? Anak saya yang bandel itu? Dia ikutan juga, Pak?”
“Tidak” Ethan melipat kedua tangannya di atas meja, menatap Keira lurus tanpa berkedip. “Dia bahkan tidak masuk ke arena. Tapi desainnya dibawa Ezra. Kau tahu? Aku tadi bertemu Aiden. Cara dia berdiri… cara dia menatap… itu bukan kebetulan, Keira.”
Jantung Keira serasa berhenti berdetak sesaat.
“Dia menatapku seperti kau dulu,” lanjut Ethan pelan. “Dan seperti aku sendiri ketika muda.”
Keira menelan ludah. “Banyak orang mirip, Pak Ethan. Apalagi kalau sama-sama keras kepala dan kurang tidur.”
Ethan tidak tersenyum.
“Dia seusia dengan terakhir kali kita bertemu,” katanya datar. “Tujuh belas tahun lalu.”
Hening.
Ketebalan udara di ruangan itu terasa mencekik.
“Jawab satu hal,” kata Ethan, suaranya lebih rendah, lebih dalam, lebih berbahaya, tapi… juga lebih jujur dari sebelumnya.
“Apa Aiden anakku?”
Wajah Keira menegang, tapi entah bagaimana ia memaksa dirinya untuk terkekeh, meski suaranya tak lagi senormal tadi.
“Bapak bercanda? Aiden itu anak saya. Saya yang mengandung, saya yang melahirkan, saya yang begadang, saya yang ngatasin dia waktu dia demam dan muntah-muntah. Saya tekankan sekali lagi, Aiden itu anak saya, ANAK SAYA.”
“Keira.”
Nada itu berubah.
Tidak marah. Tidak keras. Tapi membuat seluruh tubuh Keira gentar.
“Tatap aku dan jawab lagi,” kata Ethan. “Tanpa bercanda.”
Keira mendongak. Matanya bertemu dengan mata Ethan. Tidak ada senyum sekarang. Hanya benteng tinggi dari luka lama, ketakutan, dan rahasia.
“Aiden,” katanya perlahan, tegas meski hatinya remuk, “bukan anak Bapak. Dia hanya anakku.”
Ethan menatapnya dalam waktu yang lama.
Lalu perlahan, ia berdiri dari kursinya, mengelilingi meja, mendekat hingga jarak mereka tinggal beberapa sentimeter. Aura dinginnya berganti tekanan yang nyaris terasa hangat… menyakitkan.
“Kalau dia bukan anakku,” ucapnya rendah,
“kenapa seluruh jiwaku mengenalnya?”
Keira membeku.
Tangan Ethan terangkat, hampir menyentuh pipinya… tapi berhenti di udara, seolah ragu antara menghancurkan atau melindungi.
“Aku tidak akan menyakitimu, Keira,” katanya lirih. “Tapi aku tidak akan berhenti. Bukan soal perusahaan. Bukan soal darah. Ini soal milikku… yang kau sembunyikan dariku.”
Keira berdiri mendadak, mencoba menjaga jarak.
“Bapak salah,” katanya tegas, lagi-lagi dengan gaya bar-bar khasnya meski suara bergetar. “Bapak nggak memiliki apa pun dari hidup saya. Dan Aiden bukan urusan Bapak.”
Matanya memerah, tapi ia tidak menangis.
“Kalau cuma karena dia jenius otomotif, banyak anak di luar sana yang jenius. Bukan berarti mereka semua anak Pak Ethan!”
Ada keheningan panjang.
Kemudian… Ethan tersenyum tipis.
Bukan senyum ramah.
Melainkan senyum seorang pria yang telah menemukan tujuan hidupnya kembali.
“Semakin kau menyangkal,” katanya pelan, “semakin aku yakin.”
Keira memalingkan wajah, tak ingin ia melihat ketakutan yang mulai muncul di sana.
Ethan melangkah mundur sedikit, memberi ruang, tapi tatapannya tak pernah lepas.
“Kau boleh pergi,” katanya tenang, “tapi ketahuilah satu hal…”
Ia berhenti sejenak, memilih kata-kata yang paling jujur dari pikirannya.
“Aku mencintaimu dulu. Dan aku mencintaimu sekarang. Dan jika Aiden adalah darahku… maka aku akan mengambil kembali milikku. Kalian berdua.”
Keira menegang, Tapi kali ini dadanya tidak hanya dipenuhi takut.
Ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang berbahaya.
Sesuatu yang… membuat jantungnya kembali berdetak untuk pria yang sama.
Ia membuka pintu, melangkah keluar tanpa menoleh satu kali pun.
Namun di baliknya, Ethan masih berdiri di tempat yang sama.
Menatap pintu itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama…
Ia merasa hidupnya baru saja dimulai kembali.
...****************...
up nya kurang kk
3 S😍
tutur bahasanya rapi halus tegas jarang tipo atau mungkin belum ada
semangat tor 💪💪💪