NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:864
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Makan Siang

🦋

AS Grup

Ruangan kerja Auliandra sore itu dipenuhi aroma cokelat panas yang mengepul dari cangkir porselen di mejanya. Nira duduk bersebelahan dengan Kiran, sementara Auliandra sibuk menatap coretan desain di tangannya.

"Bagaimana kalau lusa kita pergi ke pulau?" suara Auliandra akhirnya memecah keheningan. "Aku ingin lihat langsung progres pembangunan Villa."

Kiran menutup buku tebal yang sedari tadi ia baca. Matanya berbinar. "Itu ide bagus!"

Nira mengangkat alis. "Tapi, apa tidak terlalu cepat?" tanyanya hati-hati.

Auliandra hanya mengangkat bahu lalu meneguk cokelat panasnya. "Lebih cepat lebih baik. Ada hal yang perlu kita pastikan."

"Kalau begitu sebaiknya bicarakan dulu dengan Jevano dan Edwin. Jangan sampai ada salah paham," saran Nira.

Kiran terkekeh ringan sambil menyeruput kopinya. "Percayalah, mereka berdua pasti setuju."

Nira menatapnya serius. "Kalau begitu, siapa yang akan menjaga mereka?"

Auliandra berdiri, berjalan mendekati keduanya. Senyumnya penuh keyakinan. "Tenang, mereka sudah kutitipkan pada Mami."

Kiran spontan mengernyit. "Sejak kapan kau bisa akrab dengan Mami?"

"Sejak…" Auliandra belum sempat melanjutkan ketika Nira menyela.

"Sejak Nyonya datang menandatangani kerja sama, kan?"

Kiran hanya mengangguk, seakan baru memahami.

Di sisi lain kota, Gavriel mengendarai mobil dengan Zayn duduk di kursi penumpang. Bocah itu enggan berpisah darinya sejak pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun.

"Ayah, kapan aku bisa bertemu Bunda?" pertanyaan polos itu membuat dada Gavriel terasa sesak.

"Sedang ayah usahakan, Zayn," jawabnya pelan.

Zayn mendengus. "Usaha saja tidak cukup kalau ayah tidak bergerak."

"Ayah sudah bergerak, Nak. Hanya saja… takdir belum mengizinkan."

Bibir kecil itu mengerucut, matanya menatap ayahnya dengan kecewa. "Mana mungkin bertemu kalau ayah sendiri sudah mau menikah lagi?"

Gavriel tersentak. "Darimana kau tahu?"

"Ayah, aku bukan anak kecil yang bodoh. Semua orang sudah tahu pertunangan ayah dengan Asteria Calderon," jawab Zayn, nadanya tajam.

Gavriel hanya terkekeh kaku, mencoba meredakan suasana. "Lalu, maumu bagaimana?"

Zayn terdiam sejenak, kemudian berucap dingin, "Menikahlah saja. Bunda juga pasti akan menikah dengan pria lain."

Seketika, Gavriel menginjak rem mendadak. Mobil berhenti dengan suara decit ban yang panjang.

"Jangan pernah ucapkan itu lagi, boy. Ayah tidak suka mendengarnya," desisnya dengan tatapan menusuk.

Namun bukannya gentar, Zayn menatap balik lebih tajam. "Tidak ada wanita yang rela berbagi suami, Ayah."

Sebuah kalimat sederhana, namun mampu membuat Gavriel merinding. Ada sesuatu dalam sorot mata anaknya yang membuat dadanya terasa tertekan.

Sesampainya di AS Grup, Gavriel menggandeng Zayn menuju ruangan Auliandra.

Di dalam, sudah ada Jevano dan Edwin. Mereka spontan terkejut melihat keduanya masuk.

"Gav, apa kau tidak bisa sedikit profesional?" Edwin menegur dingin.

Gavriel langsung duduk di sofa, memangku Zayn. "Apa salahnya? Aku penerus Wardana Grup. Membawa anak ke kantor bukan kejahatan."

Jevano menghempaskan berkas ke meja. "Kalau di kantor sendiri, tidak masalah. Tapi ini..."

"Cukup!" Auliandra menengahi. “Zayn baru saja ditemukan. Wajar kalau ia tak ingin jauh dari Gavriel."

Kiran mengambil sebatang cokelat dari tasnya, lalu mengacungkannya. "Zayn mau?"

Bocah itu seketika melompat turun dari pangkuan ayahnya dan berlari kecil menghampiri Kiran. Gavriel hendak menahan, tapi terlambat. Senyum tipis muncul di wajah beberapa orang yang melihatnya.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Nira masuk sambil membawa miniatur Villa yang akan dibangun.

Semua pandangan beralih. Gavriel menatap lama pada miniatur itu, seolah sesuatu menghantam pikirannya.

"Ini kan..." lirih Gavriel

"Ini rancangan Villa di pulau," jelas Auliandra, berdiri di samping meja.

"Megah sekali! aku suka," gumam Kiran, tatapannya samar.

"Megah, tapi butuh sepuluh tahun untuk rampung," komentar Gavriel. "Apalagi lokasinya terpencil. Logistik akan sulit.*

"Aku sudah survei jalur lautnya. Aman," jawab Jevano tegas.

Edwin menimbang. "Kalau pakai teknologi terbaru, setahun cukup."

"Gila kau!" Gavriel melotot. "Ini manusia yang mengerjakannya bukan mesin."

Perdebatan kian memanas sampai sebuah ketukan pintu menghentikan semuanya.

Nira membukanya. Seorang wanita cantik masuk dengan paperbag di tangannya.

"Selamat siang semuanya," sapa Mahiera ramah, meletakkan paperbag tepat di depan Zayn yang masih sibuk dengan cokelatnya.

Suasana seketika berubah dingin. Jevano menatap tajam, sementara Auliandra menegakkan tubuhnya.

"Untuk apa kau ke sini?" suara Jevano penuh ketidaksukaan.

Mahiera tersenyum manis. "Aku tadi ke rumahmu. Tante Freya bilang kau di AS Grup, jadi aku ke sini sekalian mengantarkan makan siang."

Kiran mendengus. "Apa sekarang kau miskin sampai harus minta si ulat gatal itu antar makanan?"

Mahiera mengabaikan ejekan itu. Ia mendekat pada Jevano, tetapi Auliandra lebih dulu angkat bicara, nada suaranya tenang namun menusuk.

"Terima kasih, Nona Thandor. Kehormatan bagi kami menerima kunjungan Anda. Tapi kebetulan, kami sudah ada rencana makan siang di luar."

Senyum Mahiera sedikit kaku. "Tidak apa-apa, ini hanya makanan ringan. Jevano masih bisa mencobanya nanti."

Namun Kiran langsung meraih paperbag itu dan mengeluarkan isinya. "Makanan ringan apa ini?" tanyanya, penuh selidik.

"Eh, itu…" Mahiera hendak mencegah, tapi Zayn sudah menatapnya dengan mata berbinar. "Tante, boleh aku coba?"

"Tidak, ini untuk orang dewasa!" Mahiera buru-buru merebut, tapi Zayn lebih cepat. Bocah itu menggigit tangannya hingga Mahiera berteriak kesakitan.

Semua orang terdiam sejenak, lalu beberapa menahan senyum, terutama Auliandra.

"Gavriel! Lihat anakmu!" bentak Mahiera, wajahnya merah padam.

Gavriel bangkit, mendekat hingga berdiri di hadapannya. Suaranya rendah, namun dinginnya menusuk. "Dengar baik-baik. Aku paling benci kalau ada yang berani memarahi anakku."

"Tap-tapi dia salah!" Mahiera bergetar.

"Tidak. Dia sudah minta izin dulu. Mana salahnya?" Gavriel balas menatap penuh intimidasi.

Mahiera kehilangan kata-kata.

Sebelum ketegangan meledak, Auliandra melihat jam tangannya. "Kebetulan sudah jam makan siang. Aku traktir kalian semua. Anggap saja ini sambutan untuk Nona Thandor."

Dengan elegan, ia melangkah keluar diikuti Nira, Gavriel, Edwin, dan Jevano.

Kiran sempat berhenti sejenak, menatap Mahiera dingin. "Anggap ini peringatan. Dan jangan coba-coba lagi."

Mahiera menggenggam tangannya yang masih perih, bibirnya berbisik lirih.

"Aku pasti akan berhasil…"

***

Restoran Mewah di Pusat Kota

Meja bundar dengan taplak putih elegan sudah dipenuhi. Aroma wine dan daging panggang menyelimuti ruangan, sementara musik piano pelan mengalun di latar.

Auliandra duduk di kursi utama, dengan Nira di sampingnya. Gavriel memangku Zayn di sisi lain meja, sementara Jevano dan Edwin duduk berhadapan. Kiran sibuk membuka menu, ekspresinya sinis setiap kali pandangannya jatuh ke arah Mahiera yang dengan percaya diri ikut duduk.

Pelayan mencatat pesanan mereka. Begitu pelayan pergi, keheningan canggung menggantung.

"Rasanya sudah lama kita tidak duduk makan bersama begini," Auliandra membuka percakapan dengan senyum tipis.

"Ya, kecuali… tamu tak diundang ikut bergabung," sindir Kiran tanpa menatap Mahiera.

Mahiera tersenyum manis, berusaha menahan diri. "Aku hanya ingin berbuat baik. Mengantarkan makan siang bukan dosa, kan?"

"Bukan dosa, tapi mengganggu," Kiran balas cepat, membuat Zayn terkekeh kecil.

"Zayn," tegur Gavriel lembut, tapi matanya ikut melirik Mahiera dengan dingin.

Jevano yang sejak tadi diam, akhirnya menaruh garpu dengan sedikit keras. "Mahiera, aku tidak menyuruhmu datang. Lain kali jangan seenaknya."

Kata-kata itu membuat wajah Mahiera menegang, tapi ia tetap menahan senyum. "Aku hanya peduli, Jevano."

"Peduli atau terobsesi?" Auliandra menyelipkan kalimat itu ringan, seolah-olah tak sengaja, namun matanya menusuk tajam.

Suasana meja langsung berubah tegang. Nira melirik ke arah Auliandra, khawatir situasi makin memanas.

"Peduli tentu saja," Mahiera mencoba tertawa kecil. "Aku tidak mungkin se..."

"Cukup." Gavriel memotong, nadanya dingin. "Kalau kau ingin peduli, lakukan pada dirimu sendiri. Jangan tarik orang lain ke dalamnya."

Zayn, yang sedari tadi duduk tenang, tiba-tiba bersuara lantang, membuat semua mata menoleh. "Ayah, aku tidak suka tante itu."

Ucapan polos itu membuat Auliandra spontan tersenyum puas, sementara wajah Mahiera langsung pucat.

"Zayn, tidak sopan bicara begitu," ujar Nira mencoba menengahi.

"Tapi itu benar, Tante. Aku tidak suka dia menatap om Jevan seolah-olah dia pemilik om Jevan," balas Zayn tanpa ragu.

Keheningan menyesakkan jatuh di meja. Gavriel menatap putranya dengan campuran bangga dan khawatir. Auliandra hanya meneguk wine-nya perlahan, senyum samar masih tersungging di bibirnya.

Mahiera akhirnya tidak tahan lagi. "Kalian semua melawanku, ya? Hanya karena aku datang dengan tulus..."

"Mahiera," Jevano menatapnya dingin, suaranya datar namun menghantam. "Jika kau tidak bisa menjaga sikap, lebih baik kau pergi sekarang."

Napas Mahiera memburu. Matanya beralih pada Auliandra, lalu ke Gavriel, seakan mencari dukungan. Tapi tak satu pun membelanya. Bahkan Zayn menatapnya seakan-akan ia musuh.

Dengan tangan bergetar, Mahiera meraih tasnya dan berdiri. "Baik. Tapi ingat kata-kataku… aku pasti kembali."

Langkah hak tingginya bergema menjauh, meninggalkan meja yang kini kembali hening.

Auliandra menaruh gelasnya, menatap semua orang dengan tenang. "Nah, bukankah makan siang kita jadi lebih tenang sekarang?"

Zayn terkekeh pelan. Kiran tertawa pendek. Tapi Jevano hanya menunduk, wajahnya sulit terbaca.

Di balik ketenangan Auliandra, jelas ada sesuatu yang ia rencanakan.

🦋To be continued...

1
Iin Wahyuni
sebenarnya auliedra dan kiran d pihak mana💪
Iin Wahyuni
Thor dr awal SMp skrg aku bc,serius aku bingung kisahnya Thor,JD sdkt nggk paham💪
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!