Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA29
Matahari perlahan naik dari ufuk timur, sinarnya mengintip malu-malu dari balik tirai jendela kamar. Alan menggeliat pelan di atas ranjang, kelopak matanya terbuka setengah, masih terasa berat akibat malam panjang penuh gairah yang baru saja ia lewati. Perut Alan mulai berbunyi keroncongan minta segera diisi, sementara tubuhnya terasa lelah namun puas sampai Ia tersenyum-senyum, sendiri mengingat “adu stamina” dengan semangat Enduro serta tingkah gemes Maya.
Sebuah malam yang tidak hanya membakar kalori, tetapi juga mengukuhkan ikatan emosional di antara mereka.
Alan meraba sisi ranjang, namun hanya menemukan kekosongan. Maya tak lagi di sampingnya. Tapi Ia tidak panik, hatinya justru hangat membayangkan Maya yang pasti sudah lebih dulu bangun, sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuknya. Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya terasa berat, tapi hatinya ringan, penuh kehangatan yang tak pernah ia bayangkan bisa datang dari seorang ‘istri bayangan’.
Sambil berjalan ke kamar mandi, Alan tersenyum kecil. Hidupnya dulu penuh dengan kebosanan. Tapi kini, setiap pagi menanti sarapan dari Maya menjadi momen yang ia tunggu. Ia sosok wanita yang bukan sekedar pasangan, tapi juga sahabat yang menenangkan, rumah yang selalu membuatnya ingin pulang.
Usai membersihkan diri, Alan mengenakan pakaian santai. Ia mencium aroma lezat yang menguar dari dapur, aroma daging yang dipanggang dengan bumbu sempurna. Perutnya makin tak sabar. Ia melangkah pelan, lalu tersenyum saat menemukan sosok Maya yang tengah sibuk membalik daging steak di atas wajan grill, wajahnya serius, rambutnya diikat seadanya, tapi tetap memancarkan pesona yang membuat Alan sulit berkedip.
Tanpa banyak kata, Alan menghampiri dan langsung memeluk Maya dari belakang, meletakkan dagunya di pundak sang istri. Suaranya terdengar manja dan penuh cinta.
"Good morning, beib..."
"Selamat pagi juga, Tuan Enduro," balas Maya dingin, namun membuat Alan terkekeh-kekeh, teringat kelakuannya semalam.
Tawa Alan memaksa Maya tersenyum kecil, meski tak menoleh ke belakang. Kehangatan pelukan Alan dari belakang membuat detak jantung Maya seketika tak beraturan. Ada sesuatu dari sentuhan pria itu yang tak bisa ia sembunyikan, entah caranya memeluk, aroma tubuhnya, atau bisikan hangat di dekat telinga yang selalu berhasil membuat Maya merasa istimewa. Namun, ia cepat-cepat meredam perasaan itu. Ia tahu, tak boleh larut terlalu dalam. Kata-kata Key masih terngiang jelas di benaknya: "Bagi Alan, wanita hanyalah tisu sekali pakai." Kalimat itu seperti pagar berduri yang terus mengingatkannya untuk tak terlena.
Alan mengecup puncak kepala Maya penuh sayang, lalu mempererat pelukannya seperti tak ingin melepaskan. Pria itu nemplok seperti cicak di dinding, membungkus tubuh Maya erat dari belakang, membuat wanita itu sedikit kerepotan bergerak. Sementara ia sedang memanggang daging, dan kehadiran Alan malah jadi gangguan manis yang merepotkan.
"Alan, lepas dulu, please!" pinta Maya setengah merengek, mencoba menjaga konsentrasi agar daging yang ia masak tidak gosong dan finish dengan matang sempurna.
Namun Alan hanya tertawa kecil, ia tak peduli. Tangannya justru bergerak nakal, menggelitik bagian lengan Maya yang sedang fokus memasak. Sentuhan ringan itu membuat Maya mengerutkan kening sambil menahan tawa dan geli.
Tanpa pikir panjang, tangan kiri Maya langsung mencubit paha Alan dengan cepat dan cukup keras.
"Aduh!" Alan meringis geli, lalu tertawa lepas. Ia mundur sedikit, tapi masih enggan benar-benar melepaskan Maya.
"Kamu tega banget sama suami sendiri!" protes Alan dengan ekspresi manja, matanya bersinar jenaka.
Maya hanya mendecak pelan, mencoba menyembunyikan senyum yang perlahan muncul di wajahnya. Dalam hati, ia tahu... meski semua masih penuh teka-teki dan ketidakpastian, kehadiran Alan, setidaknya membuat hidupnya sedikit lebih hangat.
Aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Maya sibuk membalikkan potongan daging dengan tenang, sementara Alan akhirnya mengalah dan duduk menunggu di kursi meja makan. Meski tak lagi menempel, sorot matanya tetap melekat pada sosok Maya seperti magnet yang tak bisa lepas. Aroma pengantin baru yang cukup menyengat. Penuh ke bucinan.
"Kamu masak buat aku atau buat kamu sendiri, si Sayang?" goda Alan sambil menopang dagu di telapak tangan. Suaranya berat tapi penuh candaan.
Maya menoleh sekilas, melirik Alan dengan tatapan datar tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. "Buat perut yang semalam boros tenaga," balasnya santai.
Alan terkekeh lagi. “Berarti buat aku, dong.”
"Kalau kamu ngaku, ya udah... aku tambahin satu telur," ucap Maya sambil memecahkan telur ke wajan.
"Oke, aku akan kembali kuat!" seru Alan memamerkan ototnya. Wajahnya bahagia seperti anak lelaki kecil yang mendapatkan bonus es krim.
Alan menarik dua cangkir dari rak, lalu menuangkan jus apel untuk mereka berdua. Aroma jus segar bercampur dengan wangi daging dan telur menciptakan suasana rumah yang hangat, akrab.
Akhirnya keduanya duduk bersama di meja makan, Alan menatap Maya cukup lama, sampai Maya tidak percaya diri ia membuang wajah Alan dengan telapak tangannya.
"Jangan lihat aku kayak gitu," ucap Maya cepat, setengah malu, ia tak ingin larut.
Alan terkekeh pelan, senyumnya makin lebar. Enggak boleh? Padahal aku suka lihat kamu pagi-pagi begini. Lucu."
Maya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil terus memandangi nasi di piringnya. Ia tak ingin larut dengan Alan.
Maya menunduk pelan, menyuapkan potongan kecil daging ke mulut Alan. “Hidup gak selamanya kayak drama Korea, Alan,” gumamnya lirih, mencoba meredam riak harapan yang sesekali muncul dalam dadanya.
Alan menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ya, tapi kamu lebih cantik dari pemeran drama manapun yang pernah aku lihat,” balasnya ringan, namun nadanya terdengar begitu tulus.
Maya mendongak sekilas, mengangkat alisnya dengan tatapan setengah geli. “Gombal pagi-pagi?”
Alih-alih membalas dengan tawa atau candaan, Alan meraih garpu dan mencicipi mie goreng buatan Maya. “Ya sudah, kalau enggak percaya,” ucapnya dingin, namun justru menambah kesan serius pada ucapannya.
Maya terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tahu Alan pandai merangkai kata, tapi entah kenapa kali ini ucapannya terdengar berbeda. Ada kejujuran yang menusuk pelan, seperti tetes air di tengah gurun, sungguh menyegarkan, tapi sekaligus menakutkan. Ia takut berharap, takut larut, takut kecewa.
“Minum jusnya,” bisik Maya pelan, lebih memilih menunduk dan menyembunyikan matanya. Ia tak sanggup menatap balik sorot mata Alan yang terlalu jujur pagi ini.
Alan mengangguk, lalu meraih gelas dan menyeruput jus apel dengan pelan. Tak ada kata lagi yang meluncur di antara mereka. Hanya keheningan hangat yang menyelimuti, di tengah aroma sarapan dan sinar matahari pagi yang mengintip lewat jendela.
Dalam diam, keduanya menikmati pagi yang berbeda dari biasanya. Sebuah pagi yang tak hanya menyuguhkan makanan, tapi juga desiran halus di dada. Pelan-pelan, dua hati yang pernah retak seakan mulai menemukan ritmenya kembali, saling meraba dalam ragu, tapi tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang tumbuh perlahan di antara jeda dan keheningan itu.