Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan pak Setyo
Bisik-bisik terdengar setelah kedatangan Bara hanya di temani beberapa orang teman bekerjanya. Tak terkecuali Ratna yang segera keluar sambil membenahi jilbabnya. Ia ingin segera melihat calon menantu Ratih itu.
"Calon pengantinnya ada di depan." kata tetangga yang berjalan masuk, kesemsem setelah menatap ketampanan Bara.
Itu membuat Ratna semakin penasaran akan calon suami Wulan itu.
Tak lama kemudian, Wulan pun sudah siap, keluar dari pintu kamarnya dengan kebaya warna pink muda. Jika dulu memakai baju pengantin warna putih, terlihat masih imut dan ayu, kini telah dewasa tapi kecantikannya kian bertambah.
"Cantiknya kamu Nduk." ucap Ratna, meraih tangan Wulan, memperhatikan dari ujung kepala hingga kaki, sempurna sekali. Dalam hati dia berandai-andai, jika saja Arif masih hidup, alangkah bangganya ia melihat Wulan sebagai menantu, dan mungkin sudah memiliki cucu. Sayangnya, berandai-andai itu hanya membuat Ratna meneteskan air mata.
"Sudah Dek, bukankah mau mengapit mempelai laki-lakinya?" ajak Pak Setyo, sudah lengkap dengan kain dan blangkon berwarna cokelat tua, sama dengan Rudy.
"Ayo, ayo! Dek Ratih." ajaknya, dia berjalan lebih dulu. Dari kejauhan tampak Bara berdiri menatap kosong pelaminan yang tertata, entah apa yang sedang ia pikirkan, mungkin teringat kedua orang tua.
"Nak Bara, biar ibu dan bapak yang menemani." Ratna menatap Bara sambil tersenyum manis. Pun dengan Setyo, pria itu berdiri di belakang istrinya.
Dan tatapan Ratna terpaku ketika Bara menoleh memperlihatkan wajahnya. Bu Ratna tercengang memandangi calon suami Wulan itu. Rasa-rasanya, wajah bara itu tidak asing.
Begitu pula dengan pak Setyo, dia menatap bara dengan tatapan sulit diartikan. Dia terkejut.
"Nak..." panggil Ratna, suaranya halus nan pelan.
Suara pemandu pernikahan meminta Bara segera menempati tempat yang sudah di siapkan. Ratna jadi tersadar dan segera menggandeng lengan bara menuju meja pernikahan. Tapi tidak dengan Setyo, dia melirik bara dengan tatapan tidak suka, wajahnya tegang.
Akadnya lancar, pernikahan pukul delapan itu berlangsung hikmat, sejuk dan tenang, matahari mulai meninggi tapi tidak terik. Dikata mendung pun tidak. Angin sepoi bertiup memberi kesejukan ketika sepasang pengantin baru itu melanjutkan acara sungkeman.
"Ayo kita pulang!" ajak Setyo kepada Ratna, wajahnya datar, tidak suka melihat pengantin yang ayu dan tampan sedang berbahagia.
"Kenapa pulang? Kita sudah berhari-hari hari mempersiapkan semua ini Pak. Lihatlah anak dan menantu kita, dia_"
"Kalau begitu aku pulang duluan, aku tidak enak badan." ucap Setyo, beranjak dari duduknya.
"Ibu."
Ratna tersadar bahwa Bara dan Wulan sedang sungkem kepada mereka. Dan Bara sudah berada tepat di bawah kakinya. Dia cukup terkejut sekaligus senang Bara memanggilnya Ibu.
"Nggeh Nak." Ratna kembali duduk menyambut sembah sujud Bara padanya. Dia mengelus pundak Bara sambil meneteskan air mata. "Doa Ibu menyertaimu." bisik Ratna, memeluk Bara, dan kemudian Wulan.
Tapi tanpa di duga Setyo telah berdiri dengan wajah tidak suka. Bara pun berdiri langsung memeluk Setyo sambil membisikan sebuah kata. "Bapak."
Seketika dada Setyo terasa sesak, dia berjalan sambil memegangi dadanya menjauh dari acar resepsi pernikahan Wulan itu.
"Buk, bapak kenapa?" tanya Wulan.
"Bapak masuk angin. Ibu menyusul bapakmu dulu ya, kalian lanjutkan acaranya. Biar ibu yang ngurus bapakmu." kata Ratna.
Wulan menatap punggung Ratih berjalan terburu-buru mengejar suaminya. Dia merasa heran akan sikap Setyo hari ini. Wajah Pak Setyo itu seperti menyimpan sesuatu yang menakutkan.
"Dek." panggil Bara.
"Iya Mas." Bara dan Wulan diminta duduk di pelaminan. Karena banyak tamu yang datang ingin mengucapkan selamat. Sebagian tamu adalah undangan keluarga Setyo, tapi Setyo dan Ratna malah tidak ikut duduk di pelaminan mendampingi mereka seperti rencana.
"Aku merasa ada yang aneh sama pak Setyo Mas." ucap Wulan, sampai acara berakhir pun Setyo dan Ratna tidak kembali.
"Tidak ada yang aneh Dek, mungkin pak Setyo kecapekan." jawab Bara, mereka duduk di kamar berdua melepaskan pakaian adat yang lumayan berat. "Oh, iya. Pak Setyo dan Bu Ratna itu keluarga dari pihak mana?" tanya Bara.
"Ibu sama bapak itu adalah orang tua dari Mas Arif, orang yang ada di foto itu." Wulan menunjuk foto Arif yang masih terpajang di ruang tamu, bahkan di kamarnya pun ada.
"Apa?"
Wulan mengangguk, dia menelisik ekspresi Bara yang cukup terkejut.
"Mas pikir, dia saudara ibu atau bapak." ucap Bara, kemudian terlihat biasa saja. Entah karena selesai dengan keterkejutannya, atau malah lega.
"Aku takutnya, Pak Setyo malah bersedih melihat kita duduk bersanding tadi. Atau dia teringat Mas Arif." lanjut Wulan lagi.
"Sudahlah, yang terpenting sekarang kita sudah menjadi suami istri. Kita akan selalu bersama selamanya." Bara meraih tangan Wulan lalu mengecupnya. "Nanti, biar aku yang datang kerumahnya. Kamu istirahat saja. Siap-siap nanti malam." bisik bara, mulai menggodanya.
Wulan mengangguk. Dia memang lelah, jadinya hanya Ratih, Rudy dan bara saja yang akan melihat keadaan Setyo sore itu.
Jika kemarin dia merasa masalahnya hanya sekedar rumit, kini malah terasa berat dan sulit.
Wulan mondar-mandir seperti sedang khawatir akan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu. Terlebih lagi menjelang Maghrib Ratih dan Rudy beserta Bara belum pulang juga.
"Mbok! Wulan gelisah." ucap Wulan, ia duduk di dapur, menemani Mbok Sum yang sedang memanaskan sisa makanan, cukup banyak.
Si Mbok pun berbalik menatap Wulan. "Mungkin kamu hanya capek Nduk." jawab Mbok Sum.
Suara adzan berkumandang, tiba-tiba pula, cicak berbunyi serentak di setiap sudut rumah. Wulan mengamati sudut ruang dapur yang terdengar paling keras, tapi tidak mendapati cicaknya. "Kenapa di rumah ini jadi banyak cicaknya." gumam Wulan.
Sementara itu, di rumah Setyo terjadi kehebohan yang membuat semua orang panik, pria bertubuh tinggi, tegap itu langsung di bawa ke rumah sakit lantaran dadanya bertambah sakit. Jadinya semua orang ikut menemani beliau di sana.
"Pak! Kenapa bapak jadi seperti ini?" Ratna menangisi suaminya itu, kini terlihat lemas setelah di beri obat oleh dokter, katanya serangan jantung ringan. Padahal dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Bu! Dia itu.... Dia itu..." ucap Pak Setyo berbicara kepada istrinya.
"Dia siapa?" tanya Ratna, mengelus tangan suaminya.
"Wajahnya, aku tidak suka." kata Pak Setyo. kemudian tertidur karena rasa mengantuk tidak tertahankan, pengaruh obat.
Sedangkan Ratna, dia meletakkan tangan suaminya itu perlahan, lalu menyelimutinya sebatas dada. Memastikan suaminya sudah terlelap, dia pun keluar mencari keberadaan Ratih, Rudy dan Bara.
Tiba di luar, dia tidak melihat Ratih dan Rudy. Tapi hanya Bara saja yang duduk di kursi tunggu sambil melamun.
"Nak Bara." panggil Ratih, dia mendekat.
"Ya, Bu." Bara berdiri, tersenyum sedikit kepada Ratna.
"Boleh ibu bertanya sesuatu?" tanya Ratna, matanya sayu meskipun berusaha terlihat tegar.
"Boleh Bu, silahkan saja."
Ratna menghela nafas cukup dalam, mengumpulkan semua keberanian lalu berkata. "Wajahmu, mirip seseorang yang ibu kenal. Apakah kamu punya keluarga?" tanya Ratih.
Sedangkan Bara, ia diam menatap Ratna. Kemudian menggeleng.
"Mungkin ibu salah orang, di dunia ini banyak orang yang mirip." kata Ratna lagi, dia berbalik sambil mengusap air matanya.
"Bu, makanlah dulu, itu Bapak dan ibu Ratih sudah membawa makanan. Biar aku yang menjaga Bapak di dalam." Bara pun berlalu masuk ke ruang rawat pak Setyo.
Belum lagi melangkah masuk, Setyo langsung terbangun dan menoleh sangat waspada akan derit pintu. Wajahnya yang lemas karena mengantuk itu kini berubah tegang.
"Kamu!" ucapnya, dia beringsut, duduk.
"Tidak di sangka, bapak adalah bagian yang penting dalam keluarga istriku. Kita bertemu lagi."
mau bersama Bara atau Dion
sebelum sesal datang
lakukan yg terbaik menurut mu Wulan
jgn terlalu keras kepala
ini alurnya nyeritain mundur ya kk
kan awal mula itu pria datang ke dukun minta cwek itu hnya meliriknya sdgkan cwek itu udh pnya suami jd mgkin ini dion kah org itu kk
🤔🤔
bukan begitu 🙈🙈
kan sdh Hamill
🤣
apakah Koko yg telat mengungkap perasaan ke wulan
tapi saling tersakiti oleh keadaan
korban dari keegoisan pak Setyo
Bara dan Arif sifat nya condong ke Bu Ratna...
lebih berakhlak ...
mungkin bu Ratna yg mengubah watak buruk pak Setyo mnjdi manusia yg baik
cinta itu memang buta bara, tak peduli saudara ,orangtua dan yang lainnya
asal bisa memiliki merasa menang,padahal bukan ajang pertempuran.
kini penyesalan menggelayut dalam dada, hati terasa teriris sembilu, kala kata demi kata seolah menggambarkan kepedihan...
berdamai lah dengan keadaan ,hati dan pikiran ....
berjuang menggapai masa depan yang lebih baik lagi, penuh kebahagiaan dan berjuang bersama ....bangkit dari keterpurukan rasa
saiki wis marem kw yum wis reti spo dalange sing mareni arif ..
tus nek misal kw dadi bara kw kudu oiye jal 😔
kamu juga terlalu keras kepala...
jaga hati yg sdh dimiliki ,
terlalu rumit tapi
jgn korban kan rumah tangga mu demi masalalu ,apalagi sdh ada calon bayii
semoga kebahagiaan mengiringi kehidupan mu dan bara
kiro2 oiye buu @⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ