Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Sakit dan Kesadaran, Aku Menemukan Dia (Bagian 1)
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Tapi tubuhku terasa seperti melayang. Berat. Tapi… hangat.
Sesekali ada suara.
Bukan mimpi.
Bukan suara ramai.
Tapi… suara dia.
“…iya, dia pingsan. Tapi sekarang udah mulai tenang. Gue yang bawa dia…”
“…. Jangan ganggu dulu. Dia butuh istirahat. Nanti gue kabari kalau udah bangun.”
Aku ingin membuka mata. Tapi kelopak mataku terasa berat. Pandangan masih kabur. Tapi aku tahu…
Aku sedang tidak di halte lagi.
Kasur empuk. Selimut tipis. Bau linen bersih. Dan…AC yang di setel di suhu tepat 24 derajat. Diantara buram dan remang-remang, aku menangkap bayangan seseorang duduk di sofa kecil, tidak jauh dari kasur.
Mengetik pelan di laptop, satu tangan memegang cup. Wajahnya lelah. Tapi fokus.
“…. gue gak bisa ninggalin dia sendiri. Bukan. Dia gak rekan kerja. Tapi karena kalau bukan gue, gak ada yang bakal tahu cara nolong dia.”
Suaranya lagi. Lebih pelan. Seolah sedang menelepon. Tapi bukan di-speaker.
Aku hanya menangkap potongan kata. Tapi cukup membuat hatiku…bergejolak dengan tenang.
“…gue gak tau harus ngapain waktu dia jatuh. Tapi yang jelas, gue gak bisa biarin dia sendirian.”
Detik itu, aku ingin bangun.
Tapi tubuhku belum bisa. Dan akhirnya aku hanya bisa memejamkan mata kembali. Dengan hati yang…takut, tapi juga hangat.
Aku membuka mata. Ruangan ini asing.
Langit-langit putih susu. Bau lemon dan detergen samar. Tirai kelabu yang bergoyang pelan tertiup AC.
Kepalaku berat. Mata masih perih. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak berada di kamarku.
Tubuhku terasa ringan…sekaligus berat. Seperti habis dilewati mimpi buruk yang panjang. Pelan-pelan aku bangkit. Tangan meraba sisi tempat tidur yang rapi dan dingin. Kakiku turun perlahan, mencoba berdiri. Tapi…
“DUG!”
Tubuhku langsung ambruk. Lututku lemas. Lantai terasa dingin. Pandanganku kembali berputar.
“A-akh...”
Dan belum sempat aku memanggil siapa pun—
Pintu kamar terbuka cepat.
Felix muncul. Wajahnya memutih. Shock.
Sangat shock. Emosi kuat pertama yang pernah aku lihat langsung di wajahnya.
“Meisya?!”
Dia langsung menghampiri, berlutut di sampingku. Tangannya menahan pundakku, lalu dengan lembut tapi tegas, membantu membaringkanku kembali ke atas tempat tidur.
Jantungku berdebar.
Bukan hanya karena jatuh, tapi karena…aku baru saja melihat sisi Felix yang lain. Wajahnya bukan lagi datar. Bukan lagi dingin. Tapi…penuh rasa takut.
“Lo gak boleh berdiri dulu. Lo belum kuat.”
“Tunggu dulu. Jangan maksa, ya?”
Suara itu…gemetar. Tapi dia berusaha tetap tenang. Aku menatapnya, lalu bertanya pelan.
“Berapa lama…gue disini?”
Felix menarik nafas. Menunduk sebentar.
“Tiga hari. Lo demam tinggi. Badan lo panas banget waktu gue bawa pulang dari halte itu.”
“Tiga…hari?” bisikku nyaris tidak percaya.
“Gue pikir awalnya lo cuma kelelahan. Tapi suhu tubuh lo terus naik. Gue sempat panik. Tapi dokter bilang lo cuma stress dan tubuh lo mengingatkan lo buat banyak istirahat. Jadi... gue jaga lo. Sampai demam lo turun. Sekarang udah lebih stabil.”
Tangannya menyentuh dahiku. Lalu ke dahinya.
Aku tak tahu harus bicara apa. Pikiranku buram. Tapi satu kalimat itu terus terngiang.
“Gue jaga lo”.
Felix duduk di tepi tempat tidur. Tidak menjauh. Tangan kanannya memegang gelas air. Ditaruh di nakas dekat ranjang.
“Lo nggak usah khawatir, bibi housekeeper yang bantu mengganti pakaian lo dan bantu bersihin lo selama tiga hari.”
“Hah? Ba—bagaimana gue merepotkan beliau?”
“Gak mungkin gue yang lakuin kan? Walaupun gue mau-mau aja kalau lo nggak keberatan.” Ucapnya dengan senyum usil yang tipis.
“Lo…Mesum.”
Dia menahan tawa.
“Gue udah ngabarin Rahma, sahabat lo itu. Gue benar-benar gak bisa menghandel dia. Dia lebih ribut dari badai.”
Aku mengangguk. Setuju.
“Oh. Soal kantor lo, gue juga udah atur surat izin lo. Jadi kembalilah istirahat.”
Dia bangkit. Keluar dari kamar dengan wajah tidak seperti saat dia masuk.
Aku memejamkan mata sebentar. Tapi kemudian teringat.
‘Surat izin sakit? Apa dia datang ke kantor gue? Tapi rasanya dia selalu ada saat gue bangun. Aneh.’
**
Aku sedang mencoba duduk di sofa dengan selimut menggulung setengah badan ketika bunyi bel pintu terdengar tiga kali lebih cepat.
Beruntun. Seperti alarm darurat.
“Pasti Rahma!” Seruku.
Felix yang baru saja selesai naruh jaket di gantungan sempat melirik ke arahku.
“Lo udah cukup kuat buat nerima kunjungan?”
Aku mengangguk lemah. Tapi mataku menyala-nyala.
“Itu RAHMA, Lix. Kalau dia gak dikasih masuk, dia bisa ngerakit dalang teori konspirasi yang bikin lo dicurigai sebagai alien.”
Felix menatapku. Ragu. Tapi…akhirnya, dia menghela nafas dan jalan ke pintu.
Beberapa menit kemudian.
Aku mendengar suara ribut di depan pintu.
“Gue juga temannya dia. Lo jangan posesif gitu dong!”
Itu bukan suara Rahma. Melainkan suara Pedro. Aku tidak mendengar jawaban dari Felix.
Suara kaki datang dengan cepat menuju ke arahku. Lalu pintu terbuka. Seorang pria dengan kemeja rapi nonggol di pintu. Di tangannya ada keranjang yang berisi buah-buahan.
“Gue gak nyangka manusia absurd kayak lo bisa sakit,” godanya sambil tertawa.
Lalu duduk di sebelahku yang masih terlihat lemah. Dia melirik ke arah pintu. Lalu mendekat untuk berbisik.
“Apa gue bilang, cuma lo yang bisa mengacak-acak dunia si balok es itu. Lo tau? Suaranya hampir setengah menangis saat dia nelpon gue.”
Kemudian dia tertawa. Seperti orang yang baru saja menemukan sesuatu yang menghibur dirinya.
“Gue pengen menggoda dia, tapi gue kasian sama lo. Jadi gue minta temen gue yang dokter buat datang ke sini.”
Aku tidak menjawab. Tapi melihat ke arahnya dengan tatapan tidak percaya.
“Gue serius dan—.”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Felix datang dan menarik Pedro menjauh dariku.
“Lo udah liat dia kan? Sekarang pulang!” tegasnya dengan dingin.
“Gue baru duduk.”
“Terus kenapa lo harus duduk sedekat itu?”
Felix menarik tangannya dan mendorongnya keluar dengan kasar.
“Hei hei Felix… lo—.”
“BAMM!!”
Felix membanting pintu kamar di depan Pedro yang terkesiap. Dia beberapa kali membentak dari luar tapi Felix mengabaikannya.
‘Why? Padahal gue masih pengen denger cerita Pedro lebih banyak, haruskah gue bilang gue pengen ngobrol bentar dengan Pedro? Nah, Felix pasti bakal ngamuk, diam adalah jawaban yang terbaik.’
‘Kita lagi di rumah orang Meisya, lo harus lebih tau diri.’
Felix menoleh ke arahku. Menarik nafas. Kemudian diam beberapa detik.
“Lo nggak harus mendengarkan ocehan gilanya. Jadi dosen cuma gimmick doang.”
Aku tertawa. Dalam waktu satu hari aku sudah bisa melihat sisi lain Felix yang berbeda-beda. Cara dia berkomunikasi dengan Pedro sangat berbeda saat denganku. Bahkan sama bibi house keeper juga berbeda.
‘Apakah ini artinya gue special? Berhenti berpikir yang aneh-aneh, Meisya. Lo harus sehat dulu.’
“Lo istirahat lagi aja, gue mau keluar bentar. Kalau ada apa-apa panggil aja Bibi Murni. Oke?”
Aku mengangguk.
Dia diam beberapa detik. Kemudian menyentuh jidatku dengan lembut. Lalu pergi meninggalkan ku begitu saja.
‘Cara dia bertindak memang sangat mudah buat bikin salah paham.’
Aku baru hendak merebahkan diri di kasur ketika pintu di buka dengan kasar. Rahma muncul dengan cepat seperti kereta whoosh.
Dia bawa tas plastik isi cemilan dan air ion, satu totebag berisi jaket, dan…dua amplop bertuliskan ‘Plan A’ dan ‘Plan B’.
Mataku membelalak.
“Plan aapan tuh?!”