"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Chicken Wings
...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...
Setelah mengembalikan ATV ke garasi, aku sama Lavinia mampir untuk beli Chicken Wings sama bir di Liquor Lounge. Karena kita sepakat enggak mau nongkrong lama-lama di sana, akhirnya aku langsung buru-buru buat ambil pesanan take away-nya.
“Aku pingin banget nanyain tentang dulu, aku dulu tuh sukanya apa sih ... Hemm, tapi ya udahlah, aku tahan aja,” kata Lavinia sambil menggigit Chicken Wings, terus dia kepedasan, kipas-kipas tangan sendiri.
“Mau susu enggak?” tawarku.
Dia geleng-geleng sambil teguk bir. “Aku enggak apa-apa, kok. Tapi kalau aku dulu suka Chicken Wings, kayaknya aku enggak yakin, deh.”
Aku tertawa, terus menawarkan satu potong milikku rasa Honey Barbeque ke dia. “Mau cobain punyaku?”
Dia mendekatkan badan, pahanya menempel di pahaku.
Sampai rumah, kita sudah masuk mode malas, ganti piyama, nongkrong di depan TV. Tapi ini malah bikin pemanasan yang kedua kita. Sudah lama banget aku menahan mataku untuk enggak melihat dia pakai kaus oblong itu.
Karena batas pertahanan cowok itu, ada di daging empuknya. Mana ada cowok yang enggak bereaksi kalau melihat pemandangan yang membuncah itu, sekecil apa pun bentuknya.
Dia memajukan badan, menggigit Chicken Wings milikku, terus pura-pura berpikir serius, seperti juri Master Chef. “Enak nih. Manis, tapi aroma ladanya, dominan.”
Aku mengangguk, kasih dia kotak wings-ku, sambil mengambil bir di meja.
“Udah, itu buat kamu aja,” katanya.
“Enggak apa-apa, aku juga suka yang medium kok. Lagian aku pesan kebab juga tadi.”
“Hmm, okay,” balasnya lirih. Matanya mengincar Kebab, waktu aku tarik satu slice. Kejunya pun meleleh.
“Cobain deh, ini tuh menu spesialnya mereka, tahu.”
Dia geleng-geleng. “Aku enggak mau habisin makanan kamu mulu.”
Dia balikkan kotak wings-nya, terus mengamati varian rasa Chicken Wings lain yang kita beli.
Marlin, pegawai Liquor Lounge, sempat bertanya kenapa aku pesan banyak rasa begini, ya aku bohong saja. Aku bilang Talia sama Krisna lagi di rumah, ingin mencoba rasa-rasa buat Bincha. Dia kelihatan bingung, tapi memangnya Marlin mengerti soal anak-anak?
“Eh, ini tuh makanan kita berdua ya, bukan makanan aku doang,” ucapku sambil menggeser tanganku ke atas meja.
“Tapi tetap aja kamu yang pesan.”
Aku bersandar santai di sofa, satu tangan aku letakkan di sandaran belakang dia. “Aku cuma minta satu hal sebelum kita lanjut, nih.”
Dia menaikkan alis. “Oke, apaan?”
“Aku enggak bisa nih ya kalau ada rahasia-rahasiaan. Aku janji bakal terbuka, tapi kamu juga harus janji kayak gitu juga, deal?”
“Deal.” Dia mengangguk.
“Jadi ... kenapa kamu kayak ribet banget , sih sama Wings dan Kebab aku ini? Tinggal makan aja, lho padahal.”
Dia teguk bir lagi, menatap Chicken Wings seperti lagi membaca isi hatinya. Aku memajukan badan, sentuh dagunya, mengangkat wajahnya agar menghadap kepadaku. “Kenapa sih, Lavinia?”
Dia gigit bibir, bahunya naik turun seperti orang bingung. “Aku tuh ngerasa kalau dulu aku egois banget. Kayak apa-apa tuh, semua harus sesuai maunya aku. Kayak aku maksa kamu terus.”
Aku tertawa, memajukan badan sambil geleng-geleng. “Ya elah, Lavinia. Itu wajar. Kamu kira aku cowok cupu yang nurut gitu aja? Kamu pikir aku segitu bucinnya?”
“Ya ... mungkin,” balasnya dengan tatapan melamun.
“Aku kasih tahu ya, kalau pun Inggrid, adik tiri aku, sekarang duduk sebelahku dan dia mau Chicken Wings punyaku, ya mungkin aku bakal kasih juga. Itu bukan soal kamu doang. Tapi kalau sama kamu? Aku juga bakal kasih lebih dari itu, dan yang jelas aku tuh enggak pernah ngerasa ngorbanin apa-apa waktu sama kamu.”
“Kamu yakin?” Dia menatapku dengan mata beningnya yang dulu selalu membuat hormon aku rusuh saat baru mengerti soal cewek.
“Yakin banget. Kalau kamu tuh sejahat itu, aku bakal santai aja waktu kamu ngilang kemarin. Tapi kenyataannya enggak.”
Dia bersandar kepadaku, kepalanya di bahu, jarinya menggambar-gambar tulisan yang ada di kausku. “Aku takut kamu tuh cinta sama versi aku yang jelas-jelas udah enggak ada.”
“Udah lah ... otak kamu kebanyakan mikir, tuh.” Aku mendorongnya pelan biar dia naik ke pangkuanku. Satu tanganku memegang pipinya. “Kita udah sepakat kan, masa lalu buang aja jauh-jauh. Aku suka Lavinia yang sekarang, tapi bukan berarti aku bisa ngelupain Lavinia yang lama. Karena dia tuh masih ada di kamu.” Aku taruh tanganku di dadanya, sedikit jahil dengan meremasnya di bagian kanan. “Jangan coba-coba hapus dia. Aku enggak mau kamu lakuin itu.”
Dia memajukan badan, dadanya menempel erat ke tubuhku.
“Oke,” katanya pelan.
“Ulangin! Yang semangat dikit.”
“OKE,” katanya lagi, lebih keras. Terus aku kasih dia waktu sebentar untuk kita menikmati malam ini.
“Gitu dong.” Aku cium bibirnya. Aku enggak akan pernah bosan cium dia. “Eh, kamu masih punya dua rasa lagi tuh. Yang pedes-pedes.”
Dia menggeleng cepat. “Ogah, lidahku entar mati rasa.”
“Mau tahu enggak dulu kamu sukanya yang mana?”
“Pasti Honey Barbeque, ya?”
Aku geleng-geleng. “Salah.”
“Serius?” Dia pun kaget.
Aku tertawa sambil geleng-geleng lagi.
“Terus yang mana, dong?”
“Dulu kamu tuh enggak makan Chicken Wings sama sekali.”
Dia menutup wajahnya ke bahuku. “Berarti aku makin jauh dari aku yang dulu ya?”
Aku peluk dia, cium keningnya. “Sekarang kamu tuh lebih terbuka sama hal-hal baru. Enggak salah kok.”
Dia bersandar ke leherku. “Ernest?”
Tanganku mengusap rambutnya pelan. “Hmm?”
“Kamu mau tidur bareng aku malam ini?”
Aku diam sebentar. Sepertinya aku belum siap untuk masuk ke kamar lama kita lagi. Isinya masih penuh sama kotak-kotak kenangan masa lalu.
“Gimana kalau kamu yang tidur di kamarku malam ini?”
Dia menatapku beberapa detik sebelum mengangguk pelan, “Oke.”
Suatu saat aku akan bereskan urusan sama kamar itu, tapi sekarang, aku cuma mau menikmati momen ini dulu.