•Sinopsis
Bagaimana jika dua insan yang tak saling kenal di satukan dalam sebuah ikatan pernikahan?
Keduanya hanya beberapa kali bertemu di acara-acara tertentu. Dan pada akhirnya mereka harus terbiasa bersama tanpa adanya sebuah rasa.
Tak terbersit di benak mereka, bahwa keduanya akan terikat oleh sebuah janji suci yang di ucapkan sang pria di depan para saksi.
Akankah keduanya bertahan hingga akhir? Atau malah berhenti di tengah jalan karena rasa cinta yang tak kunjung hadir?
Penasaran sama endingnya? Yuk ikutin ceritanya!..
Happy reading :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yp_22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Viona mendongak menatap Michael yang juga menatap nya dengan penuh harap menunggu jawaban yang ia inginkan.
Perlahan, walaupun terkesan ragu-ragu, Viona mengangguk membuat Michael yang menatapnya memunculkan senyuman lebar.
Melihat senyum lebar Michael, Viona mengangkat jari telunjuknya dan menodongkannya ke arah wajah Michael. "Tapi jangan macem-macem ya."
Michael meraih jari telunjuk Viona yang masih mengacung ke arahnya dan menggigit gemas ujung jari tersebut membuat sang empu mengerjapkan matanya terkejut.
"Tenang saja Viona.." ujarnya.
Viona memalingkan wajahnya enggan menatap Michael yang terus menyoroti nya dengan tatapan gemas.
Michael semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Viona yang terasa pas berada dalam dekapannya.
Untuk sesaat, hening mengambil alih suasana di dalam kamar.
"Aku mau ke kamar mandi" ucap Viona sambil mencoba melepaskan pelukan Michael yang mulai melonggar saat ia mengatakan hal tersebut.
"Jangan kabur Viona, kamu sudah menyetujui nya. Awas saja jika kamu tidak kembali ke sini" ucap Michael mengancam.
Viona mengangguk dan segera berlalu menuju kamarnya untuk melakukan ritual sebelum tidur yang rutin di lakukan olehnya.
Selesai dengan urusan per-skincaran nya, Viona kembali ke kamar Michael.
Sesampainya di sana, ternyata Michael sudah menunggunya di balik pintu. Wajahnya masih terlihat basah, mungkin ia juga baru saja dari kamar mandi untuk cuci muka.
"Kamu tidur duluan aja, saya masih harus memeriksa dokumen untuk perjalanan bisnis nanti supaya tidak ada kesalahan sedikitpun."
Viona mengangguk dan berjalan menuju arah ranjang. Matanya menatap Michael yang kini duduk di sofa sudut ruangan dengan laptop di atas pangkuannya.
'Tadi ngajak tidur bareng, giliran gue udah di sini dianya malah sibuk sama laptop. Dahlah, tidur duluan aja gue.. dah ngantuk juga' gumam Viona dalam hati.
Dengan segera, Viona naik ke atas ranjang dan berbaring dengan selimut yang ia tarik hingga batas leher.
Harum maskulin khas suaminya seketika menyeruak ke indra penciumannya saat ia menghirup dalam selimut yang membungkusnya.
Perlahan matanya mulai terpejam.
Setengah jam setelah Viona terlelap dalam gulungan selimut milik Michael, Michael menutup laptopnya dan memandangi Viona dengan senyum tipis yang dimilikinya.
Ia segera membenahi beberapa dokumen yang berserakan di hadapannya dan menyimpannya bersamaan dengan laptop yang sudah di matikan.
Michael berjalan ke arah ranjang dan ikut masuk ke dalam selimut tepat di samping Viona yang tidur membelakangi nya.
Kebiasaannya yang tidur tanpa menggunakan atasan membuat Michael kembali bangkit untuk membuka kaos pendek yang masih melekat pada tubuhnya.
Dengan sembarang, Michael melempar bajunya setelah lepas dari tubuh kokohnya.
Michael kembali berbaring menghadap punggung Viona yang tampak kecil.
Perlahan tangannya terulur memindahkan kepala Viona agar tidur di atas lengannya.
Viona menggeliat merasa tidurnya terganggu dengan pergerakan Michael. Perlahan ia berbalik menghadap ke arah Michael tanpa membuka matanya.
Michael tersenyum dan segera merengkuh tubuh Viona lebih dalam ke pelukannya.
Hidungnya yang mancung segera mengendus rambut Viona yang beraroma Vanila yang berada tepat di bawah dagunya.
Ia terpejam, membiarkan kantuk mengambil alih kesadarannya.
Kini keduanya sudah terhanyut ke dalam mimpinya masing-masing dengan posisi tidur saling memeluk memberi sebuah kehangatan.
.
.
.
Kebiasaan Viona yang terbangun di saat jarum jam menunjukkan pukul setengah enam, membuat Viona kini mengerjapkan matanya seperti biasa.
Namun ia merasa pagi ini sedikit aneh, ia merasakan ada sesuatu yang melingkari pinggangnya dengan erat. Bahkan ia juga merasakan sebuah benda keras tepat berada di hadapannya bahkan menempel pada pipinya.
Viona segera membuka matanya dan seketika ia tertegun melihat sebuah dada bidang yang tampak terpahat dnegan sempurna berada tepat di hadapannya.
Tidak seperti di novel-novel yang sering ia baca, jika si perempuan akan menjerit dan mendorong pria yang berada di hadapannya.
Viona justru mengeratkan tangannya yang memeluk pinggang Michael.
Viona mendongak memandangi pahatan indah yang tuhan ciptakan. Matanya terus bergulir memperhatikan setiap detail wajah rupawan yang tepat berada di atasnya.
Alis tebal yang terbentuk simetris, mata yang biasanya menatap dengan tajam kini tertutup dan memperlihat kan bulu mata yang terlihat terlalu lebat untuk seorang pria. Hidungnya yang bak perosotan anak-anak TK di lengkapi dengan sebuah tahi lalat di sisi sebelah kanan hidungnya menambah kesan manis pada wajahnya.
Matanya turun ke bawah dan memperhatikan bibir yang sedikit tebal. Tatapannya semakin turun ke bawah dan menemukan sebuah tonjolan pada lehernya.
Tanpa sadar Viona meneguk ludahnya sendiri saat matanya terpaku pada tonjolan yang terlihat jelas di matanya.
Tangannya terulur hendak menyentuh tonjolan tersebut, seolah ingin memastikan apakah tonjolan tersebut keras atau tidak.
"Udah puas liatin nya?"
Deg.
Suara yang tiba-tiba mengagetkan nya membuat ia menurunkan tangannya dengan spontan, lalu menunduk menghindari tatapan Michael yang entah sejak kapan memperhatikan nya dengan begitu intens membuat ia seperti tertangkap basah sedang melakukan kesalahan besar.
Wajahnya memerah karena malu telah terpergok memperhatikan wajah sempurna milik Michael. "Siapa juga yang ngeliatin?."
Michael hanya tersenyum sambil memperhatikan ekspresi Viona yang tersu menghindarinya.
Tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang ramping Viona terangkat dan mengacak-acak rambut hitam milik gadisnya.
"Oom.."
Viona memberengut kesal saat rambutnya di acak-acak oleh tangan besar Michael.
"Saya mau ke kamar mandi, mau ikut?"
Viona mendelik dan segera bangkit melepaskan tubuhnya dari dekapan Michael.
"Ogah.." jawabnya.
Viona turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar.
Michael yang sedari tadi terus memperhatikan pergerakan Viona mengernyit saat melihat gadis tersebut berjalan menuju pintu. "Mau kemana?"
Viona yang sudah mencapai pintu dan memegang gagang pintu kamra segera menoleh ke arah Michael. "Dapur, mau masak. Mau request menu gak?"
Michael menggeleng. "Apa aja yang kamu masak pasti saya makan."
"Iyalah, kalo gak di makan jangan harap aku mau masak lagi nanti."
Tawa rendah Michael menguar di ruangan kamar. Tatapannya tak lepas dari Viona yang kini menghilang di balik pintu.
Ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
.
.
.
Di sinilah kini mereka berada, bandara Soekarno-Hatta.
Setelah sarapan bersama, keduanya langsung berangkat menuju bandara. Awalnya Michael mengusulkan untuk langsung menuju rumah keluarga Alexander untuk menitipkan Viona, dan ia akan pergi ke bandara menggunakan taxi. Namun Viona menolak dengan tegas usulan Michael dan mengatakan ingin mengantar Michael hingga bandara.
"Bentar lagi saya terbang, jaga diri baik-baik, kalo ada sesuatu segera hubungi saya" ucap Michael yang berdiri di hadapan Viona yang kini tengah menatapnya.
Viona hanya membalas dengan anggukan singkat.
Michael tersenyum. "Saya pergi dulu."
Michael mengacak singkat pucuk kepala Viona dengan senyuman yang tak luntur.
Michael berbalik dan berjalan meninggalkan Viona yang masih memandanginya.
Namun saat Michael baru beberapa langkah meninggalkannya, Viona teringat sesuatu.
"Om!" Panggilnya sambil berlari menghampiri Michael yang berhenti dan kini menoleh ke arah nya.
Sesampainya Viona di hadapan suaminya, ia segera menyodorkan tangannya ke arah Michael.
Michael mengernyit, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah black card lalu meletakan nya di atas tangan Viona.
Kini giliran Viona yang mengernyitkan dahinya sembari memandangi kartu di tangannya dengan heran.
Wajahnya terangkat menatap Michael, "aku mau salim, bukan minta kartu."
Michael tertawa ringan. Kemudian menerima uluran tangan Viona.
Viona segera membawa tangan Michael ke arah wajahnya dan segera mencium punggung tangan Michael dengan tulus.
Michael segera menarik tangan nya dan mengangkat dagu Viona agar mendongak menatapnya.
Tanpa aba-aba, tanpa peringatan, Michael langsung menyambar bibir Viona untuk ia kecup.
Michael tak bergerak, ia hanya menempelkan bibirnya pada bibir Viona yang berwarna pink alami.
Waktu seakan berhenti, orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya tak ia hiraukan. Ini adalah ciuman pertama mereka setelah akad di laksanakan.
Setelah di rasa cukup, Michael menjauhkan wajahnya dan memandangi wajah Viona yang tampak bengong dengan pipi yang mulai memerah.
Ia tersenyum kemudian mencium kening Viona dengan lembut.
"Saya berangkat dulu.."
Viona hanya mengangguk membalas ucapan Michael. Otaknya masih mencerna apa yang barusan terjadi.
Setalah punggung tegap Michael menghilang dari pandangannya, Viona mengerjap dan menunduk.
"Lah.. kartunya?" Gumamnya saat mendapati kartu yang di berikan oleh Michael tadi belum ia kembalikan.
"Bodo amatlah."
Viona memilih abai, kemudian meninggalkan bandara dengan mobil yang ia kendarai.
.
.
.
"Assalamualaikum... Mah, pah."
Viona memasuki rumahnya dengan menyeret koper kecil berisi barang-barang miliknya.
"Waalaikumsalam sayang.."
Dengn tergesa-gesa, Amora menghampiri Viona yang masih berdiri di ambang pintu lalu memeluknya dengan erat.
Viona tersenyum dan membalas pelukan Amora tak kalah erat.
Setelah puas memeluk anak semata wayangnya yang sangat ia rindukan, Amora melepaskan pelukannya dan menangkup pipi Viona agar menatapnya.
"Mamah kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik aja kan? Michael gak kasar kan sama kami?" Ucapnya dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
Viona tertegun mendengar pertanyaan Amora. Mungkin memang benar jika ikatan batin antara anak dan ibu itu sangatlah kuat.
Seketika Viona teringat dengan kejadian setelah ia pulang dari pesta. Ia beranggapan bahwa Amora juga merasakan bahwa Viona sedang tidak baik-baik saja saat itu. Makanya saat sekarang mereka bertemu, Amora menanyakan kabarnya dengan air mata yang siap terjatuh kapan saja.
Viona menggigit bibirnya sebelum menjawab. "Vio baik-baik aja kok mah, Om Michael selalu jagain Vio."
Amora tersenyum. "Syukurlah kalo gitu."
"Naik gih, beresin barang-barang kamu. Michael bilang kamu mau nginep di sini seminggu, beneran?"
"Iya mah.. Vio kangen sama masakan mamah, kangen kumpul-kumpul lagi sama mamah sama papah. Kebetulan Om Mic juga ada perjalanan bisnis selama seminggu, jadi aku nginep di sini."
"Papah juga pas tau kamu mau nginep di sini, langsung sumringah dia. Eh, tapi kok kamu manggil suami kamu Om sih? Gak sopan tau."
"Terus manggil apa dong? Kan emang dianya udah Om-om."
"Om-om dari mananya? Masih ganteng gitu kok. Mulai sekarang ganti panggilannya ya.. panggil Mas aja. Atau kalo gak, panggil sayang atau honey juga bisa."
"Apaan sih mah. Udah ah, Vio mau ke atas dulu."
"Ya udah sana, tapi inget loh.. ganti panggilannya."
"Iya mah.."
Viona menyeret koper kecilnya menuju lantai dua—kamarnya.
Sesampainya Viona di dalam kamarnya, ia memandangi seisi ruangan yang sudah lama ia tinggalkan.
Tak ada yang berubah, barang-barang nya masih berada di tempatnya saat terakhir kali ia ada di sini.
Kamarnya termasuk dalam kategori bersih untuk ukuran ruangan yang telah di tinggalkan lama oleh penghuninya. Mungkin Amora membersihkan kamarnya saat tau ia akan menginap di rumah ini.
Viona berjalan menuju ranjang dan mendudukkan dirinya di atas kasur empuk miliknya. Tangannya merogoh ponsel yang berada di saku celana yang di kenakannya.
Bertepatan dengan itu, satu pesan muncul.