Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Invasi Malam dan Malaikat Pencabut Nyawa
Hujan deras yang mengguyur Jakarta malam itu menjadi penyamaran sempurna, sekaligus penghalang yang menyebalkan. Di dalam mobil SUV hitam bekas yang baru dibeli Bagas atas nama perusahaan cangkang, Rendra duduk di kursi penumpang depan, matanya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan gelombang audio dari rumah Clara.
Jalanan Menteng yang biasanya tenang kini terasa seperti jalur menuju neraka.
"Tanda tangan surat pengunduran diri itu, Seno! Atau kami akan membuat putrimu cacat!" suara pria asing itu terdengar kasar melalui headset Rendra, diiringi suara tangisan tertahan Clara.
Rendra mengepalkan tangannya hingga kuku jarinya memutih. "Lebih cepat, Bagas."
"Jalanan licin, Bos. Tapi kita sampai dalam 2 menit," jawab Bagas tenang. Dia mengemudi dengan presisi seorang profesional, membelah genangan air tanpa mengurangi kecepatan secara drastis.
Rendra memejamkan mata, memicu Visi Nya untuk memindai situasi di rumah Paramita. Ia tidak melihat masa depan yang jauh, melainkan masa depan lima menit dari sekarang saat mereka tiba.
Deg.
Visi itu memperlihatkan: Gerbang depan dijaga oleh satu orang yang memegang pistol listrik (taser). Di dalam rumah, ada tiga orang. Satu pemimpin, dua eksekutor. Penjaga keamanan resmi rumah Paramita sudah dilumpuhkan dan diikat di pos jaga. Jika Rendra dan Bagas masuk lewat depan, penjaga gerbang akan memberi sinyal ke dalam, dan para penyusup di dalam bisa menyandera Clara atau Pak Seno sebagai perisai manusia.
"Kita tidak bisa lewat depan," kata Rendra membuka mata. "Gerbang dijaga. Penjaga bersenjata taser. Mereka punya komunikasi radio."
"Lewat belakang?" tanya Bagas.
"Samping. Tembok pagar sisi timur tertutup pohon beringin besar. Tidak ada CCTV di sudut itu aku melihatnya saat pesta kemarin. Kita panjat dari sana. Kau lumpuhkan penjaga gerbang dari belakang, aku masuk ke rumah."
"Bos, kau tidak bawa senjata," Bagas mengingatkan.
Rendra mengeluarkan tongkat baton lipat (tactical baton) dari balik jaketnya hadiah dari Bagas saat Rendra merekrutnya. "Aku punya ini. Dan aku punya mata yang tahu ke mana mereka akan bergerak. Fokusmu adalah membersihkan jalan keluar."
Mobil berhenti dua rumah dari target. Rendra dan Bagas turun, membiarkan hujan menyamarkan suara langkah kaki mereka. Mereka bergerak cepat dalam bayangan, menempel pada dinding pagar yang basah.
Bagas, dengan kelincahan yang mengejutkan untuk pria seukurannya, memanjat tembok setinggi dua meter itu dalam sekali lompatan, lalu mengulurkan tangan menarik Rendra. Mereka mendarat tanpa suara di tanah berlumpur taman samping.
Rendra menunjuk ke arah pos satpam. Bagas mengangguk. Dia menghilang ke dalam kegelapan.
Rendra bergerak menuju pintu samping yang terhubung ke dapur. Pintu itu terkunci, tapi itu bukan masalah bagi Rendra yang tahu di mana kunci cadangan disembunyikan (ia melihat pelayan menyimpannya di bawah pot bunga saat pesta kemarin).
Tiga puluh detik kemudian, terdengar suara buk pelan dari arah gerbang. Bagas memberi sinyal lampu senter kecil dua kali. Penjaga depan sudah "tidur".
Rendra memutar kunci dapur. Klik... Pintu terbuka.
Ia masuk ke dalam rumah yang dingin itu. Suara teriakan dari ruang tamu kini terdengar jelas tanpa alat penyadap.
"Kau pikir Partai Keadilan akan membiarkanmu menang?!" teriak penyusup itu. PRANG! Sebuah vas bunga pecah.
Rendra mengintip dari celah pintu dapur. Di ruang tamu yang mewah, Pak Seno duduk di sofa dengan bibir pecah berdarah. Clara berdiri di pojok, gemetar, dijaga oleh satu preman berbadan tegap. Pemimpin mereka, pria botak dengan tato di leher, berdiri di depan Pak Seno sambil memegang dokumen.
Ada tiga musuh di dalam. Satu di dekat Clara. Satu di dekat Pak Seno. Satu menjaga lorong menuju tangga.
Rendra menekan earpiece-nya. "Bagas, masuk lewat pintu utama sekarang. Buat pengalihan."
BRAK!
Pintu utama didobrak dengan tendangan keras Bagas. Ketiga penyusup itu menoleh kaget. "Siapa itu?!" teriak si pemimpin.
Penyusup yang menjaga lorong mencabut pisau lipat dan berlari ke arah pintu depan. Itu kesalahan fatal. Dia berhadapan dengan Bagas, mantan pengawal elit. Bagas menangkap tangan pemegang pisau itu, memutarnya dengan bunyi krak yang mengerikan, dan mengirimkan satu pukulan uppercut yang membuat pria itu pingsan seketika.
Melihat temannya tumbang dalam dua detik, pemimpin botak itu panik. "Tahan gadis itu!" teriaknya pada anak buah yang menjaga Clara.
Saat si penjaga Clara lengah karena melihat ke arah pintu depan, Rendra melompat keluar dari bayangan dapur. Dia tidak berteriak. Dia bergerak seperti hantu.
Rendra mengayunkan baton bajanya ke arah lutut si penjaga.
TAK!
Tulang tempurung lutut bertemu baja solid. Pria itu menjerit, kakinya menekuk, tubuhnya jatuh. Sebelum ia menyentuh lantai, Rendra mengirimkan tendangan berputar ke pelipisnya. Pria itu ambruk, tidak sadarkan diri.
Clara menjerit tertahan, menutup mulutnya. Dia menatap Rendra dengan mata terbelalak, seolah melihat hantu.
Kini tinggal si pemimpin botak. Dia berdiri sendirian di tengah ruangan, dikepung. Di pintu depan ada Bagas yang berwajah dingin. Di dekat Clara ada Rendra yang memegang baton. Pemimpin itu merogoh saku belakangnya, mencoba mengeluarkan pistol rakitan.
"Jangan," kata Rendra dingin. "Temanku di sana bisa mematahkan lehermu sebelum kau menarik pelatuk. Dan aku... aku tahu di mana sekolah anak perempuanmu di Bekasi."
Ancaman itu spesifik. Rendra tidak benar-benar tahu, dia hanya menggertak menggunakan profil umum preman bayaran yang ia pelajari dari W Network. Tapi tatapan mata Rendra yang menyala efek samping penggunaan Visi yang intens membuat gertakan itu terasa seperti vonis mati. Nyali pemimpin itu ciut. Dia menjatuhkan pistolnya, mengangkat tangan.
Bagas maju, memborgol pria itu dengan cable ties yang ia bawa. Ruang tamu hening, hanya terdengar suara napas memburu dan rintik hujan di luar.
Rendra segera menyembunyikan batonnya, lalu berlutut di depan Clara. Ia mengubah ekspresinya dari pembunuh dingin menjadi teman yang khawatir.
"Clara, kau tidak apa-apa?" tanya Rendra lembut, memegang bahunya.
Clara langsung memeluk Rendra erat, menangis di dadanya. "Rendra... Rendra... aku takut sekali..."
Rendra membiarkan Clara menangis, matanya menatap Pak Seno yang masih shock di sofa. Politisi tua itu menatap Rendra, lalu beralih ke Bagas yang sedang menyeret tubuh-tubuh pingsan itu ke sudut. Tatapan Pak Seno penuh pertanyaan.
"Rendra..." suara Pak Seno parau. "Bagaimana... bagaimana kau bisa ada di sini? Tepat waktu?"
Ini adalah momen kritis. Rendra harus berbohong dengan sempurna. Rendra melepaskan pelukan Clara perlahan, lalu menatap Pak Seno.
"Saya tadi lewat, Pak. Saya berniat mengembalikan buku catatan Clara yang tertinggal di sekolah. Tapi saat saya sampai di depan, saya melihat pos satpam gelap dan gerbang sedikit terbuka. Saya curiga," Rendra menunjuk ke arah Bagas. "Kebetulan paman saya, Bagas, sedang mengantar saya. Dia mantan satpam. Jadi kami memutuskan untuk memeriksa."
Bagas, yang mengerti perannya, mengangguk sopan. "Maaf kami lancang masuk, Pak Seno. Tapi situasi terlihat darurat."
Pak Seno adalah politisi. Dia tahu kapan seseorang berbohong. Cerita Rendra terlalu kebetulan. Buku catatan tertinggal? Di tengah hujan badai jam 9 malam?
Namun, Pak Seno juga seorang pragmatis. Dia melihat tiga orang yang dikirim lawan politiknya terkapar tak berdaya. Dia melihat putrinya selamat. Dan dia melihat Rendra, anak SMA yang membawa "paman" yang jelas-jelas mesin pembunuh terlatih.
Pak Seno menyadari satu hal: Rendra bukan anak SMA biasa.
"Terima kasih," kata Pak Seno akhirnya, memilih untuk tidak membongkar kebohongan itu sekarang. "Kalian menyelamatkan nyawa kami. Saya berutang padamu. Lagi."
"Bagas, panggil polisi. Gunakan ponsel anonim," perintah Rendra.
"Tunggu," potong Pak Seno. "Jangan polisi."
Rendra menaikkan alis. "Kenapa, Pak? Mereka mencoba membunuh Bapak."
"Jika polisi datang, ini akan jadi skandal media. Lawan politikku akan memutarbalikan fakta, mengatakan aku terlibat utang piutang dengan preman. Elektabilitasku akan hancur, dan proyek itu akan batal," jelas Pak Seno, menyeka darah di bibirnya. "Kita harus selesaikan ini secara tertutup."
"Maksud Bapak?"
"Bawa mereka pergi. Buang mereka di depan kantor polisi atau rumah sakit jauh dari sini. Tanpa identitas. Biar mereka jadi pesan bagi yang mengirimnya," kata Pak Seno dingin. Sisi gelap politik mulai terlihat.
Rendra menatap Bagas. Bagas mengangguk. Itu pekerjaan mudah baginya.
"Baik, Pak. Paman saya akan mengurusnya," kata Rendra. "Tapi Bapak harus menjamin keamanan Clara mulai malam ini. Jika Bapak tidak bisa, biarkan saya yang mengatur sistem keamanan rumah ini."
Pak Seno menatap Rendra dalam-dalam. "Kau... kau bisa mengatur keamanan?"
"Saya punya kenalan di perusahaan keamanan swasta," Rendra berbohong lagi. Padahal ia akan memasang sistemnya sendiri. "Nusantara Security."
"Lakukan," kata Pak Seno. "Apapun biayanya. Lindungi putriku."
Malam itu berakhir dengan Rendra bukan hanya sebagai penyelamat, tetapi sebagai kontraktor keamanan de facto keluarga Paramita. Saat Rendra pamit pulang (setelah Bagas 'membersihkan' tamu tak diundang), Clara mengantarnya sampai ke pintu.
"Rendra," panggil Clara.
"Ya?"
"Kau bohong soal buku catatan, kan?" bisik Clara. "Buku catatanku ada di tas, di kamarku."
Rendra terdiam.
Clara melangkah maju, mencium pipi Rendra sekilas. "Aku tidak peduli bagaimana kau tahu. Terima kasih sudah datang. Kau... kau pahlawanku."
Rendra berjalan menembus hujan menuju mobil. Pipinya terasa hangat, tapi hatinya dingin. Clara mulai curiga, tapi rasa terima kasihnya menutupi kecurigaan itu. Itu adalah keseimbangan yang berbahaya. Namun, Rendra menang. Iron Wall kini bukan lagi penyadapan ilegal. Ia baru saja mendapat izin resmi dari Pak Seno untuk membentengi rumah itu. Rendra akan mengubah rumah Paramita menjadi benteng yang tak tertembus, dengan dirinya sebagai pemegang kuncinya.
Di dalam mobil, Rendra mengirim pesan ke Wirawan.
"Serangan Partai Keadilan di rumah Paramita gagal. Aset aman. Aku yang menanganinya."
Rendra tidak meminta izin. Dia memberi tahu. Dia mulai memposisikan dirinya setara dengan Wirawan.
Semangat Thor