Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Kabar Tak Terduga
Pagi hari menyambut Enzi dengan sinar matahari yang cerah, tetapi suasana di rumah Radeva terasa sunyi, sepi dan sangat berbeda. Setelah bersiap Enzi segera turun ke ruang makan dengan langkah percaya diri. Dia mengharapkan Ana sudah duduk di meja, seperti biasa patuh dan diam. Meski Amel tidak ada, dia berharap Ana akan menyambutnya layaknya seperti istri pada umumnya.
Dia menyadari kalau sebenarnya dirinya masih sangat mencintai Ana. Tapi hatinya merasa gengsi, karena pikiran dan tuduhan kotor sudah meracuni hati dan pikirannya. Yang ada dia inginkan hanyalah menyiksa Ana agar dia patuh, agar dia tidak berani pergi dan meninggalkannya. Karena Enzi tau, Ana tidak memiliki tujuan dan orang yang Ana cintai adalah dirinya. Dengan begitu dia bisa melihatnya setiap hari. Ya, dia ingin terus melihat wajah Ana walau dia tidak memberinya cinta. Sebuah pemikiran yang benar-benar egois.
Saat dia sampai di ruang makan, suasana benar-benar terasa sunyi. Entah kenapa rumah itu tiba-tiba seperti kehilangan nyawanya. Tidak ada tawa dan ocehan Ana. Bahkan wajah kesal dan cemburu itu kini tidak terlihat. Dan ternyata kursi Ana kosong, tidak ada siapapun di meja makan itu.
"Bi Darmi!" panggil Enzi.
Bi Darmi bergegas menghampirinya. "Ya, mas, ada apa?"
"Di mana Ana? Kenapa dia belum turun? Amel juga, apa dia belum kembali? " tanya Enzi, nadanya sudah mulai menunjukkan kekesalan.
"Maaf, Mas. Bibi belum melihat mbak Ana sejak tadi pagi. Mungkin mbak Ana masih istirahat di kamar. Sedangkan Mbak Amel, saya belum melihatnya sejak kemarin. " kata Bi Darmi.
Enzi mendengus. "Pasti dia masih mencoba bertingkah lagi. Awas saja kalau dia bangun, aku akan memberikan pelajaran untuknya.. ."
Dia bergegas naik ke kamar yang biasa digunakan Ana. Tapi ternyata Kamar itu kosong. Tempat tidurnya pun masih terlihat rapi, semua pakaiannya di lemari masih tergantung rapi. Tidak ada tanda-tanda Ana pergi dari rumah..
Kemarahan Enzi memuncak. Dia turun kembali, melewati Bi Darmi yang menatapnya dengan heran. Kemarin saat dia ada, Enzi sudah bersikap seenaknya kepada Ana, sekarang saat Ana sudah tidak Ada, dia kelimpungan mencarinya.
"Ada apa, mas? Apa yang terjadi sama mbak Ana? " tanya Bi Darmi penasaran, karena dia sudah menganggap Ana seperti anaknya sendiri.
Enzi mengababkan pertanyaan Bi Darmi dan langsung menuju teras. Dia memanggil Toni, penjaga yang baru saja memulai giliran kerja pagi.
"Panggilkan penjaga shift malam! Sekarang!" perintah Enzi, suaranya menggelegar.
Penjaga malam, Pak Joni yang akan berganti shift dengan Pak Toni, datang bersamaan dengan wajah ketakutan.
"Pak Enzi," sapa Toni.
"Di mana Ana, Istri ku! Kenapa dia tidak ada di rumah?! Apa dia keluar lagi? Atau s tahu gertak Enzi.
Pak Joni menunduk, takut. "Maaf, Pak. Bu Ana pergi tadi malam, sekitar pukul dua belas lebih. Beliau... mengancam akan menabrak pagar jika kami tidak membuka pagar untuknya."
Kata-kata itu menghantam Enzi. Bi Darmi yang mendengar itu pun ikut ambang pintu, menutup mulutnya dengan syok.
"Pergi?!" raung Enzi, wajahnya memerah. "Setelah semua yang dia katakan?! Dia sekarang benar-benar pergi? Joni, kenapa kau membukanya?!"
"Kami tidak berani melawan, Pak. Ibu Ana terlihat sangat marah dan kesal. Dia pergi menggunakan mobilnya."
Amarah Enzi meluap menjadi rasa dikhianati. Patuh? Itu semua sandiwara! Dia sengaja menipuku untuk mencari celah kelengahanku. Sial, aku sudah tertipu."
Dia kembali masuk, tangannya mengepal. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang untuk mencari tahu dimana keberadaan Ana. Dan satu-satunya orang yang harus dia hubungi adalah Arvin. Arvin adalah orang terakhir yang bersamanya tadi malam, dan mungkin tahu sesuatu tentang keadaan Ana saat mengantarnya pulang.
Jari Enzi melayang di atas nama 'Arvin' dan hanya tinggal menyentuh nama itu sana. Namun tiba-tiba ponselnya bergetar dan menampilkan panggilan masuk. Nomor yang tertera membuat Enzi terkejut dan mengernyit kan dahinya.
"Ana? Untuk apa dia menghubungiku jika berniat untuk kabur. " gumamnya.
Rasa kesal karena ditipu dan marah karena dipermainkan membuat Enzi menggeser tombol jawab dengan kasar.
"Kau pikir kau bisa lari dariku, Ana?! Kau akan menyesal sudah berani mempermainkanku! Aku akan mencari—"
Omelan Enzi terhenti saat dia mendengar bukan suara Ana di sana melainkan suara formal seorang pria menginterupsi amarah Enzi. Nada bicaranya tenang dan terdengar sangat asing.
"Selamat pagi. Apakah benar ini dengan Bapak Enzi Radeva?"
Enzi membeku. Suara itu bukan suara Ana. "Ya, saya sendiri. Ini siapa? Kenapa Anda menggunakan ponsel istri saya?"
Terdengar jeda singkat di seberang sana. Suara pria itu menjadi lebih serius.
"Mohon maaf, Bapak. Saya Inspektur Hadi dari Unit Kecelakaan Lalu Lintas. Kami menghubungi Anda sebagai kontak darurat utama dari pemilik ponsel ini."
Napas Enzi tercekat di tenggorokan. Jantungnya berdebar kencang, firasat buruk yang mengerikan menjalarinya saat mendengar kalimat Unit Kecelakaan Lalu-lintas.
"Ada apa? Apa yang terjadi dengan Ana, istri saya?" tanya Enzi, suaranya serak dan memburu.
"Bapak Enzi, kami turut berduka cita. Dini hari tadi, sebuah mobil jenis SUV berwarna hitam dengan plat nomor XXX atas nama pemilik Anasera, mengalami kecelakaan tunggal yang sangat parah di Jalan Tol KM 78. Mobil tersebut hilang kendali dan menabrak pembatas jalan, lalu terbakar."
Dunia di sekitar Enzi seolah berhenti berputar. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, tidak bisa dicerna oleh akal sehatnya
"Korban yang kami temukan di dalam mobil, berdasarkan identitas yang ada dan kondisi di tempat kejadian, dipastikan adalah Nyonya Anasera Radeva," lanjut Inspektur Hadi dengan nada klinis.
Bi Darmi mendekat karena melihat wajah Enzi yang pucat pasi, setelah menerima panggilan telepon dari seseorang. Dia ikut penasaran dengan apa yang terjadi, karena dia juga mencemaskan keadaan Ana,majikan perempuan yang dia sayangi. .
"Kondisi korban, mohon maaf, ditemukan meninggal dunia di tempat, dan," Inspektur Hadi ragu sejenak— "karena api yang melahap habis badan mobil, kami belum bisa mengidentifikasi visual secara pasti. Kami butuh kedatangan Anda untuk verifikasi identitas lebih lanjut, Pak. Saat ini korban berada di kamar mayat rumah sakit Bhayangkara. Untuk di otopsi atau tidak,sesuai persetujuan dari keluarga."
Ponsel itu jatuh dari tangan Enzi, menghasilkan bunyi benturan keras di lantai marmer rumah itu. Wajahnya yang semula marah kini pucat pasi, matanya membelalak tak percaya dengan kabar yang baru saja dia dengar
"Tidak... tidak mungkin!" teriak Enzi, menyangkal kenyataan yang baru saja menghantamnya. Amarahnya berubah menjadi kepanikan yang dingin. "Ana...Ana.... tidak mungkin? Tidak mungkin kamu meninggalkan aku, kamu harus patuh padaku dan aku tidak mengijinkan kamu pergi."
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰