Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit
Mobil memasuki area Kebayoran Baru dengan mulus. Dinda menatap keluar jendela, melihat jalanan yang familiar. Rumah orang tuanya sudah terlihat di ujung jalan.
Rendra merasakan tangannya sedikit berkeringat. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba merasa gugup. Mungkin karena kali ini ia datang bukan untuk memohon atau membela diri, tapi untuk membawa Dinda pulang. Dan ia harus membuktikan kepada mertuanya bahwa keputusan ini tidak salah.
Mobil berhenti di depan pagar. Heru turun lebih dulu untuk membukakan pintu. Dinda keluar dengan langkah ringan, sementara Rendra mengikuti di belakangnya. Bahasa tubuh mereka sudah berbeda dari kunjungan terakhir. Tidak ada jarak canggung. Tidak ada ketegangan yang terlihat jelas.
Pintu rumah terbuka sebelum mereka sempat mengetuk. Rani berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang. Matanya langsung mencari Dinda, lalu beralih ke Rendra. Seno muncul dari belakang istrinya, wajahnya sama tegangnya.
"Ayah, Ibu." sapa Dinda sambil tersenyum.
Rani mengangguk pelan, matanya masih mengukur situasi. Tapi kemudian ia melihat cara Rendra berdiri sedikit lebih dekat pada Dinda, lalu cara Dinda sesekali menyentuh lengan suaminya dengan nyaman.
"Masuk dulu." kata Seno akhirnya, membuka pintu lebih lebar.
Mereka masuk ke ruang tengah. Rani langsung menarik Dinda duduk di sampingnya, sementara Rendra duduk di sofa seberang, berhadapan dengan Seno yang masih berdiri dengan tangan di pinggang.
"Kalian... sudah baikan?" tanya Rani hati-hati, suaranya pelan tapi penuh harap.
Dinda mengangguk, tersenyum tipis, "Kami udah ngobrol, Bu. Dan... Dinda mau pulang sama Mas Rendra."
Seno dan Rani saling berpandangan. Ada lega di sana, tapi juga masih ada kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang.
"Tadi kami dari klinik Dr. Livia," lanjut Dinda, suaranya lebih bersemangat sekarang. "Dinda beneran hamil, Bu. Usia janinnya sebelas minggu. Dokter bilang semuanya normal."
Rani langsung menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca, "Selamat, sayang. Ibu ikut senang." bisiknya, lalu meraih tangan Dinda dengan erat.
Seno yang tadinya tegang, kini wajahnya melembut. Ia duduk perlahan di kursi samping sofa, menatap putrinya dengan tatapan hangat. "Selamat, Nak." Lalu ia menoleh pada Rendra, tatapannya berubah serius tapi tidak bermusuhan. "Selamat juga buat Mas Rendra."
"Terima kasih, Yah," jawab Rendra, suaranya rendah, hormat.
Dinda bangkit dari duduknya, "Sebentar ya, Dinda mau ambil barang dulu ke kamar."
Rani mengangguk, melepas tangan putrinya. "Iya, sayang. Ibu bantuin ya."
Dinda dan Rani naik ke lantai dua, meninggalkan Rendra dan Seno di ruang tengah.
Hening sejenak.
Seno menatap Rendra lama. Pria muda itu duduk tegak, tangannya di atas lutut, wajahnya tenang tapi matanya waspada.
"Mas Rendra," panggil Seno akhirnya, suaranya berat tapi tidak menghakimi.
"Iya, Yah."
Seno menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, "Saya nggak akan bicara banyak. Tapi ada yang harus saya sampaikan."
Rendra mengangguk, siap mendengar.
"Saya titip Dinda sama kamu." kata Seno pelan tapi tegas. "Bukan karena saya nggak percaya dia bisa jaga dirinya sendiri. Tapi karena dia sekarang jadi tanggung jawab kamu. Tolong..." Seno menatap Rendra dalam-dalam. "Jaga kepercayaan saya."
Kata-kata itu sederhana, tapi bobotnya luar biasa. Ia jadi gugup.
"Soal masalah rumah tangga," lanjut Seno, "itu wajar. Semua pasangan pasti ada masalah. Tapi caramu menangani masalahnya yang penting. Jangan pernah biarkan ego atau amarah kamu jadi alasan untuk menyakiti dia. Kalau ada masalah, duduk dan bicara. Bukan lari atau diam."
Rendra mengangguk, "Saya paham, Yah."
Seno bersandar di kursinya, tatapannya tidak lepas dari Rendra, "Dan soal perempuan..." Nadanya turun, lebih tajam sekarang. "Perempuan cantik itu banyak. Nggak akan ada habisnya. Tinggal kamu yang pilih, mau senang-senang atau berkomitmen."
Rendra menegang. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Tapi kalau kamu pilih senang-senang," Seno melanjutkan dengan nada datar tapi mengancam, "kembalikan Dinda pada saya. Sekarang. Jangan sia-siakan waktunya."
Keheningan mencekam mengisi ruangan.
Rendra menarik napas dalam, lalu menatap Seno dengan mata yang jujur, tanpa pertahanan. "Yah, saya nggak akan bilang saya orang baik. Saya punya masa lalu yang... buruk. Saya nggak akan bohong soal itu."
Seno hanya diam, menunggu.
"Tapi itu masa lalu saya," kata Rendra tegas. "Sekarang cuma ada Dinda. Saya nggak akan sia-siakan kesempatan yang udah dikasih ke saya."
Seno menatapnya lama. Mencari kebohongan, mencari keraguan. Tapi yang ia lihat hanya kesungguhan.
"Saya nggak tahu apa saya bisa jadi suami yang sempurna buat Dinda," lanjut Rendra, suaranya pelan namun yakin. "Tapi saya janji saya akan berusaha. Setiap hari. Untuk jadi lebih baik dari sebelumnya."
Seno menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Itu yang saya mau dengar." Lalu ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Rendra. Pria itu juga ikut berdiri, menghadap mertuanya.
Seno mengulurkan tangan. "Saya percaya sama kamu. Tolong jangan rusak kepercayaan saya."
Rendra menjabat tangan Seno dengan erat. "Nggak akan, Yah. Saya janji."
Mereka berdiri di sana, berjabat tangan, dua pria yang sama-sama mencintai Dinda dengan cara yang berbeda. Satu sebagai ayah yang melepas, satu sebagai suami yang menerima kembali.
Suara langkah kaki dari tangga membuat mereka melepas jabatan tangan. Dinda dan Rani turun dengan tas kecil di tangan Dinda.
"Udah siap?" tanya Rendra.
Dinda mengangguk, "Udah."
Rani memeluk putrinya erat. "Jaga diri kamu ya, Din. Jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Ibu."
"Iya, Bu." Dinda membalas pelukan ibunya.
Seno juga memeluk Dinda, mencium keningnya pelan. "Sehat-sehat ya, Nak."
"Iya, Yah. Ayah sama Ibu juga sehat-sehat ya.."
"Oh iya, ulang tahun Dinda kemarin belum dirayakan." Kata Seno sambil melepas pelukannya, "Biasanya kita rayakan setiap tahun. Gimana kalau kita cari waktu untuk makan malam sama keluarga besar? Yah... walaupun sudah lewat seminggu tapi nggak apa-apa, momennya pas." Lanjutnya.
Rendra mengangguk, kemudian tersenyum, "Boleh, Yah. Nanti saya cari tempat yang bagus."
Lalu mereka berempat berjalan keluar.
Heru sudah berdiri di samping mobil, membukakan pintu belakang. Dinda masuk lebih dulu, diikuti Rendra.
Sebelum pintu ditutup, Rendra menoleh keluar, menatap Seno dan Rani yang berdiri di teras, "Terima kasih, Yah. Bu." Katanya tulus.
Seno mengangguk.
kemudian pintu tertutup. Mobil perlahan bergerak keluar dari halaman. Dinda melambaikan tangan dari jendela, tersenyum pada orang tuanya. Rani dan Seno membalas lambaian itu, berdiri di sana sampai mobil benar-benar menghilang di tikungan.
...***...
Selama perjalanan ke Velmore, Rendra terus menggenggam tangan Dinda. Sesekali ia mencium tangan istrinya dan berlama-lama menatap wajahnya, seolah takut sosok di sampingnya akan menghilang lagi jika ia berhenti memperhatikan.
Dinda hanya tersenyum, sesekali membelai wajah Rendra walaupun agak canggung karena terus ditatap dengan intensitas seperti itu.
Ketika pintu lift terbuka menampakkan ruang utama penthouse, Dinda mencium aroma khas yang begitu familiar. Kombinasi kayu cedar, kopi hitam, sesuatu yang sangat akrab. Ia tahu, ia sudah benar-benar kembali.
Saat waktu tidur tiba, Rendra mengusap lembut pipi Dinda. Mereka berbaring saling berhadapan dengan jarak hanya beberapa sentimeter. "I miss you.." ucapnya pelan. Ia berhenti sejenak, menatapnya dengan mata yang menyimpan kerinduan dalam, "Satu bulan kemarin adalah fase terberat hidupku, Dinda. Berhari-hari aku cuma tidur dua atau tiga jam sehari."
Dinda balas membelai pipi Rendra, merasakan tangis yang tiba-tiba mendesak di tenggorokan. Ia tidak menyangka kepergiannya meninggalkan luka sedalam itu untuk suaminya.
Lalu Rendra mengalihkan tangannya ke perut Dinda, menyentuh dan mengusapnya lembut. "Apa dia buat masalah? Dia bikin kamu mual-mual?" tanyanya.
Dinda menggeleng. Salah satu yang Dinda syukuri adalah ia tidak merasakan morning sickness sama sekali.
"Bagus. Kamu nggak boleh bikin Mama susah ya." kata Rendra dengan nada memperingatkan, matanya menatap lurus ke perut Dinda.
Dinda tersenyum, dadanya penuh kehangatan. Ini pertama kalinya Rendra mengajak bayi mereka bicara.
"Jadi kita akan dipanggil Mama dan Papa?"
"Ya." jawab Rendra sambil mengangguk yakin.
"Oke." Dinda tertawa pelan.
"Kamu mau hadiah ulang tahun apa?" tanya Rendra, ia menatap Dinda lagi. "Jangan ragu minta apa pun. Aku akan usahain semua yang kamu mau." Katanya serius.
"Liburan berdua." jawab Dinda pelan.
Ia tau, itu akan sulit mengingat betapa sibuknya Rendra. Dia bahkan tetap sibuk saat weekend, seringkali masih berurusan dengan MacBook saat makan malam, terkadang juga mendapat panggilan mendadak untuk pergi ke luar kota atau ke luar negeri. Meminta waktunya terasa seperti meminta sesuatu yang mustahil.
Namun, di luar dugaan, Rendra langsung menyetujuinya.
"Oke. Aku akan minta Mila kosongkan jadwalku di awal November. Satu minggu cukup?"
Dinda mengangguk senang. Dua bulan lagi, mereka akan pergi. Ini akan jadi babymoon mereka.
"Tempat apa yang kamu mau? Musim gugur di Swiss bagus. Atau kamu punya pilihan lain?" Tanyanya antusias.
"Nanti aku pikirin." jawab Dinda sambil tersenyum lebar.
"Oke." Rendra mengangguk.
Ia kemudian menarik Dinda ke dalam pelukannya, "Thank God you brought her back." lalu mencium puncak kepala istrinya, dan berbisik dengan suara yang nyaris pecah, "Aku kangen banget sama kamu, sayang."
Dinda membalas pelukan itu sama hangatnya. Ia juga rindu. Tangannya meremas kemeja tidur Rendra dengan erat.
Mereka saling menempel satu sama lain, tubuh Dinda nyaris tenggelam di pelukan suaminya yang besar dan hangat. Tangan Rendra terus membelai punggung dan rambutnya dengan lembut, gerakan berulang yang menenangkan. Sementara itu Dinda menempelkan pipinya ke dada Rendra, mendengarkan detak jantungnya yang teratur. Mengingatkan dirinya sendiri bahwa mereka telah kembali bersama dan aman.
Keheningan malam hanya diisi irama napas mereka yang serempak, sampai akhirnya kantuk menelan, dan mereka tertidur.
Mereka tampak damai, seolah dunia memberi restu. Namun dibalik kebahagian itu, masih ada yang belum rela jika kisah mereka berakhir indah. Hal buruk apa lagi yang akan mengintai? Entahlah... waktu akan bicara.
***