Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Sendi berjalan menuju garasi yang Ella tunjukan padanya. Baru saja Sendi sampai digarasi dan menunggangi motornya, Sendi tertegun saat bahunya disentuh seseorang dari belakangnya. Sendi menoleh dan dibelakangnya sana ada cowok yang kemarin bersama Ella. Yang kemarin juga ikut menolongnya.
"Ella tunangan gue,"
"Huh?"
Sendi bingung dengan pernyataan yang tiba-tiba dan tanpa konteks yang jelas itu.
"Jangan coba-coba deketin Ella,"
"Hah?"
Sendi semakin bingung lagi. "Maksud lo apaan Kak? Sumpah gue nggak ngerti," Dari pada penasaran Sendi mending bertanya langsung saja.
Dicky berdecak. "Intinya lo jauh-jauh deh dari Ella. Jaga jarak."
"Ooohhh... Emang kenapa gue kudu jaga jarak sama Ella Kak? Udah kayak zaman coro.na aja," Lagi pula aneh banget cowok didepannya itu. Tiba-tiba minta dirinya untuk jauh-jauh dari Ella minta untuk jaga jarak sama Ella. Apaan?
"Itu peringatan kecil buat lo,"
Dicky menatap Sendi dengan tajam lalu berbalik dan pergi dari sana, masuk kedalam rumah orang tuanya Ella lagi. Dan tanpa Sendi dan Dicky sadari sejak tadi mereka berdua sedang diperhatikan dari kejauhan.
...----------------...
"Kamu ngomong apa sama Sendi?"
"Hah?"
Dicky baru saja masuk kekamarnya Ella, dan tiba-tiba dikejutkan dengan suara Ella yang tetiba Ella sudah ada dibelakangnya. Dicky berbalik dan menatap Ella. "Maksud kamu apa El?"
Ella mendengus. "Aku tadi liat kamu ngobrol sama Sendi digarasi btw.." Ella melipat kedua tangan didada, wajahnya cemberut kesal, tatapannya menatap kelain arah.
Tadi Ella ingin menghampiri Sendi karena mbaknya Sendi itu sudah tak sabar menunggu lebih lama lagi. Tapi saat Ella akan menghampiri Sendi. Ella melihat Dicky yang mendekati Sendi, memegang bahunya dan mulailah mereka terlihat mengobrol.
Namun wajah Dicky terlihat sinis. Makanya Ella bertanya pada Dicky, takut saja jika Dicky bicara yang aneh-aneh pada Sendi dan membuat Sendi sakit hati.
Bukannya merasa takut karena Ella melihatnya yang sedang memberi peringatan kecil pada Sendi, Dicky justru tertawa, membuat Ella semakin kesal saja.
"Aku cuma nyapa dia doang kok, El. Yuk ah kita lanjut yang tadi aja," Dicky merangkul bahu Ella dengan tatapan menggoda.
"Yang mana?" sayangnya Ella adalah cewek yang sepolos dan sebod0h itu jadi semakin membuat Dicky gencar untuk menggodanya.
"Lanjutkan yang dibalkon tadi,"
"Ish.." Wajah Ella memerah.
...----------------...
Sendi dan mbak Kiki sudah sampai dirumah. Mereka berdua malah sudah duduk dikursi ruang makan milik mbak Kiki. Bukan makan bersama tapi Kiki yang sedang menemani adiknya itu untuk makan malam.
Sedangkan kedua anaknya dan suami mbak Kiki mereka sedang pergi dengan urusan masing-masing. Jadi hanya ada mereka berdua dirumah ini.
"Habis ini kamu harus pulang. Kamu temui bapak dan minta maaf atas kesalahanmu." ucap Kiki yang langsung membuat Sendi berhenti mengunyah.
"Mbak, tapi aku tuh nggak salah. Kenapa pula aku harus minta maaf sih? lagian Ayah yang bilang ke aku buat gak lanjut sekolah. Harusnya Ayah yang minta maaf ke aku," kesalnya kembali muncul membuat makanan yang tadinya terasa enak menjadi hambar.
Bagi Sendi sekolah dizaman sekarang itu cukup penting. Dengan sekolah setinggi-tingginya. Sendi bisa mengubah hidup yang tadinya kekurangan menjadi berkecukupan yang tadinya sudah cukup bisa jadi meningkat dan mendapatkan kehidupan yang lebih dari sekedar cukup setidaknya bisa menabung dan tidak menurunkan kemiskinan pada keturunannya nanti. Tidak membuat keturunannya mengalami kesulitan ataupun kesusahan nantinya.
Kenapa dengan entengnya Ayah memintanya putus sekolah? Apalagi sebentar lagi sudah lulus SMA.
"Ya, tapi setidaknya kamu minta maaf ke bapak karena nolak kemauannya. Mbak nggak bela bapak kok. Mbak juga gak mau kamu berhenti sekolah, apalagi kamu sudah selesai semester satu. Artinya bentar lagi kamu semester dua. Enam bulan lagi kamu mau lulus SMA,"
"Mau ya minta maaf ke bapak? Mohon buat nggak usir kamu," lanjut Kiki, memohon.
Sendi membuang napas, nasi yang masih tinggal dua suap itu tak dia habiskan. Sendi sudah terlanjur kesal dan tidak berselera lagi untuk nambah, padahal tadinya Sendi ingin nambah makan.
"Hmmm,"
Tanpa menoleh pada mbak nya itu, Sendi beranjak dan keluar dari rumah mbaknya itu, Sendi menuju motor untuk mengambil obatnya yang harus dia habiskan, itu kata dokter di rumah sakit tadi. Setelah di ambil obatnya Sendi berjalan menuju rumah Ayah dan membuka pintunya, yang pintunya tidak di kunci.
Dengan malas Sendi masuk ke dapur untuk meminum obatnya. Setelah itu dia menuju kamarnya bersiap untuk istirahat karena sepertinya Ayah tidak ada di rumah. Sendi akan meminta maaf pada Ayah besok pagi saja.
...----------------...
Roni keluar dari kamarnya. Roni menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Namun sebelum sampai di kamar mandi. Roni terkejut ketika di depan kompor sudah ada seseorang yang sangat di kenalnya sedang membuat kopi.
Kebetulan jika akan ke kamar mandi harus melewati dapur dulu. Karena letaknya memang seperti itu. Desain rumahnya memang seperti itu.
Sendi yang sedang sibuk membuat kopi merasakan kehadiran sang Ayah. Sendi menoleh menatap Ayah yang baru saja bangun. Sendi tersenyum.
"Udah bangun Yah?" tanya Sendi yang sebenarnya hanya ingin membuka obrolan sebelum meminta maaf nanti.
Roni melengos. Roni berlalu saja tanpa mau menjawab. Bahkan Roni menutup pintu kamar mandi sedikit kencang, yang berhasil membuat Sendi terlonjak kaget.
Sendi menghela. Sendi tahu jika Ayah masih kesal padanya. Sendi bisa melihat dari wajah Ayah saat melihatnya tadi. Tapi tak apa. Sendi tetap akan berusaha mencoba untuk meminta maaf, seperti yang di perintahkan mbak Kiki kemarin.
Sendi meletakan dua gelas kopi di atas meja makan. Satu untuknya dan satu untuk Ayah. Bertepatan dengan Ayahnya yang muncul di meja makan sudah dengan wajah lebih segar di banding tadi, mungkin ayah sudah sekalian mandi tadi.
"Ini kopi buat Ayah, semoga pas ya Yah," Sendi menunjuk segelas kopi untuk ayah di atas meja.
"Sudah di usir kenapa masih di sini?"
Pertanyaan yang sudah jelas membuat hati Sendi terluka. Bukan hanya Sendi tapi untuk semua anak yang mengalami situasi seperti yang Sendi rasakan saat ini.
Sendi memejam dalam. "Aku minta maaf Yah. Tapi aku anak ayah. Aku nggak mau di usir dari sini. Aku mau tinggal di mana kalau Ayah ngusir aku?"
Sendi membuka mata. Sendi menatap wajah ayahnya yang memang sudah tua. Ada rasa kasihan jika menatap kerutan di wajahnya karena orang tua itu lah yang telah membesarkannya selama ini dengan susah payah. Tapi kenapa pula Ayahnya membuatnya sakit secara bersamaan?
"Kalau mau tinggal di sini silakan, tapi cari makan sendiri..!"
Prakkk
Roni pergi dari sana setelah menyenggol segelas kopi yang Sendi buat untuknya. Yang sudah jelas membuat hati Sendi semakin terluka.
Kedua mata Sendi tidak bisa untuk tidak berembun. Melihat perlakuan ayah padanya sungguh menyayat hati.
"Sejak kepergian Ibu, memang tidak ada yang peduli padaku," Sendi menatap nanar pecahan gelas dan air kopi yang berantakan dilantai.