NovelToon NovelToon
MATA YANG MELIHAT MASA DEPAN

MATA YANG MELIHAT MASA DEPAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Kultivasi Modern / Ketos / Mengubah Takdir
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Susilo Ginting

Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25. Pengadilan Sang Raja dan Kambing Hitam Digital

Lantai teratas gedung pencakar langit milik holding company Tuan Wirawan menawarkan pemandangan Jakarta yang menakjubkan, tetapi atmosfer di dalam ruang rapat pribadi itu serasa seperti di dalam kamar gas.

Tidak ada jendela yang dibuka. Udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma tembakau cerutu yang pekat dan keringat ketakutan.

Tuan Wirawan duduk di ujung meja panjang dari kayu mahoni. Wajahnya tidak berekspresi, namun matanya memancarkan kemurkaan yang ditahan, jenis kemarahan yang paling berbahaya. Di sampingnya berdiri Rudi, tangan kanannya, yang tampak gelisah.

Di sisi lain meja, duduk Elena Paramita, masih terlihat sedikit pucat sisa trauma kemarin, namun berusaha tetap tenang. Di sebelahnya duduk Kepala Keamanan, seorang pria berbadan besar bekas militer bernama Hartono, yang kini kemejanya basah oleh keringat dingin.

Dan Rendra. Dia berdiri di dekat pintu, mengenakan pakaian kasual yang rapi, tas laptop tersandang di bahu. Dia dipanggil mendadak.

"Duduk, Rendra," perintah Wirawan pelan.

Rendra menarik kursi di seberang Hartono. Ia bisa mencium bau ketakutan dari pria berbadan besar itu.

"Kemarin," Wirawan memulai, suaranya rendah menggelegar, "proyek Batavia Megacity hampir menjadi kuburan massal bagi direksi kita. Elena hampir mati. Rute VIP yang seharusnya rahasia, bocor ke tangan perusuh Partai Keadilan."

Wirawan melempar asbak kristal ke tengah meja. "PRANG!" Pecahannya berhamburan, membuat Hartono tersentak kaget.

"Hanya ada lima orang di ruangan ini yang tahu rute itu. Aku. Rudi. Elena. Hartono. Dan kau, Rendra, yang memegang data logistik."

Mata Wirawan menatap satu per satu wajah mereka. "Salah satu dari kalian adalah tikus. Dan aku tidak akan keluar dari ruangan ini sampai aku menemukan siapa yang menjual informasi itu."

Hartono buru-buru membela diri. "Tuan, tim saya sudah bersumpah setia. Tidak mungkin ada yang bocor. Mungkin... mungkin sistem analisanya yang diretas?" Ia melirik tajam ke arah Rendra, mencoba melempar bola panas.

Rendra tetap tenang. Ia sudah memprediksi tuduhan ini. Ia memicu Visinya. Bukan untuk melihat masa depan ruangan ini, tapi untuk memvalidasi intuisi teknisnya tentang apa yang akan terjadi jika ia memeriksa ponsel Hartono.

Deg!!.

Visi itu menunjukkan: Rendra meminta ponsel Hartono. Ia melakukan pemindaian forensik cepat. Ia menemukan malware penyadap yang ditanam melalui tautan phishing judi online. Hartono bukan pengkhianat, dia hanya bodoh dan ceroboh. Tapi di mata Wirawan, kebodohan yang membahayakan nyawa sama fatalnya dengan pengkhianatan.

Rendra menatap Hartono, lalu beralih ke Wirawan. "Tuan Hartono benar. Sistem bisa diretas. Tapi sistem saya dilindungi enkripsi militer yang saya bangun sendiri. Pertanyaannya, seberapa aman perangkat yang memegang rute itu secara fisik?"

Rendra berdiri, berjalan perlahan menuju Hartono. "Pak Hartono, Anda menerima rute itu via pesan terenkripsi di ponsel dinas Anda, benar?"

"Tentu saja! Dan ponsel itu selalu ada di saku saya!" bentak Hartono.

"Boleh saya periksa?" tanya Rendra sopan, mengulurkan tangan.

Hartono ragu, menatap Wirawan. Wirawan mengangguk singkat. "Berikan, Hartono."

Dengan tangan gemetar, Hartono menyerahkan ponsel pintarnya.

Rendra mengeluarkan kabel data dari tasnya, menghubungkan ponsel itu ke laptopnya yang ia letakkan di meja. Ia mengetik beberapa baris perintah di terminal command prompt. Layar laptop menampilkan barisan kode yang berjalan cepat.

Semua mata tertuju pada layar itu. Elena menatap Rendra dengan intensitas baru. Cara Rendra mengetik, ketenangannya, mengingatkannya pada suara digital si "Hantu" yang menyelamatkannya kemarin.

"Ketemu," kata Rendra datar.

Ia memutar laptopnya ke arah Wirawan.

"Apa itu?" tanya Wirawan.

"Ini adalah Spyware Pegasus level rendah. Aplikasi penyadap yang berjalan di latar belakang," jelas Rendra, menunjuk baris kode merah. "Aplikasi ini secara otomatis mengirim tangkapan layar (screenshot) setiap 5 menit ke server eksternal."

Rendra menatap Hartono. "Pak Hartono, tiga hari lalu, apakah Anda mengklik tautan promosi atau file video dari nomor tidak dikenal? Atau mungkin situs dewasa?"

Wajah Hartono berubah menjadi abu-abu. "Saya... saya hanya membuka tautan berita bola..."

"Berita bola yang berisi malware," potong Rendra. "Rute VIP itu ada di layar ponsel Anda saat Anda membukanya. Spyware itu memotretnya, dan mengirimnya langsung ke server lawan. Partai Keadilan tidak membeli informasi dari pengkhianat. Mereka mencurinya dari kebodohan Kepala Keamanan Anda."

Keheningan di ruangan itu mematikan.

Wirawan tidak berteriak. Dia hanya berdiri, berjalan pelan ke arah Hartono.

"Hartono," bisik Wirawan. "Kau sudah bekerja padaku selama sepuluh tahun. Dan kau menjatuhkan kerajaanku karena tautan berita bola?"

"Tuan... ampun, Tuan... saya tidak tahu..." Hartono mulai menangis, tubuh besarnya merosot dari kursi.

Wirawan memberi isyarat pada Rudi. "Bawa dia. Bersihkan jabatannya. Pastikan dia tidak pernah memegang ponsel lagi seumur hidupnya."

Rudi mengangguk, lalu menyeret Hartono yang meronta-ronta keluar dari ruangan. Pintu tertutup kembali, menyisakan ketegangan yang lebih pekat. Wirawan kembali duduk, menyalakan cerutu baru. Tangannya tidak gemetar sedikit pun.

"Kerja bagus, Rendra," kata Wirawan, menghembuskan asap. "Kau tidak hanya analis. Kau auditor keamanan yang kompeten. Mulai hari ini, semua protokol keamanan digital Elena dan proyek Batavia ada di bawah kendalimu. Jangan sampai ada kebodohan seperti ini lagi."

"Siap, Tuan," jawab Rendra.

Wirawan menatap Elena. "Dan kau, Elena. Kau beruntung 'keajaiban' menyelamatkanmu kemarin. Siapa pun yang memandumu keluar dari sana, dia pantas mendapat medali."

Elena melirik Rendra. Tatapannya penuh arti. "Ya, Tuan. Suara misterius di telepon itu... sangat kompeten. Dia tahu rute gudang biru yang bahkan tidak ada di peta evakuasi standar."

Jantung Rendra berdegup. Elena sedang memancingnya.

"Mungkin dia salah satu tim lapangan Rudi yang berinisiatif?" sela Rendra cepat, memasang wajah polos. "Siapa pun dia, dia menyelamatkan aset perusahaan."

Wirawan mengangguk, tidak terlalu peduli pada detail penyelamat itu, yang penting Elena selamat. "Rapat selesai. Rendra, kau ikut aku ke ruang sebelah. Ada hal lain yang perlu kita bahas."

Saat rapat bubar, Elena sengaja memperlambat langkahnya agar bisa berjalan beriringan dengan Rendra di koridor menuju lift.

"Kau pintar sekali, Rendra," bisik Elena tanpa menoleh.

"Terima kasih, Kak. Saya hanya melakukan tugas forensik," jawab Rendra.

Elena berhenti mendadak, memaksanya berhenti juga. Koridor itu sepi.

"Bukan itu maksudku," desis Elena. "Kau mengalihkan kesalahan pada Hartono dengan sangat mulus. Memang dia salah, tapi kau... kau terlalu tenang. Dan caramu mengetik di laptop tadi... ritmenya sama dengan cara si 'Hantu' berbicara padaku."

Elena mendekat, menatap mata Rendra. "Kau yang meneleponku kemarin, kan? Kau yang meretas CCTV gudang itu? Jangan berbohong padaku. Aku berutang nyawa padamu, tapi aku benci dibohongi."

Rendra menatap mata wanita cerdas itu. Berbohong terus-menerus akan menghina kecerdasannya. Rendra memutuskan untuk mengubah strategi: Penyangkalan yang Tidak Meyakinkan (Plausible Deniability).

Rendra tersenyum tipis, senyum yang sedikit arogan, berbeda dari topeng polosnya.

"Kak Elena," Rendra merendahkan suaranya. "Di dunia Tuan Wirawan, mengetahui terlalu banyak itu berbahaya. Jika ada 'Hantu' yang menyelamatkan Kakak, biarkan dia tetap menjadi hantu. Karena hantu tidak bisa ditangkap, tidak bisa disiksa, dan tidak bisa dipaksa bicara. Jika Kakak memberinya nama dan wajah, Kakak justru membahayakannya."

Mata Elena membelalak. Rendra tidak mengiyakan, tapi logikanya membenarkan segalanya. Rendra mengakui secara tersirat bahwa kerahasiaan identitasnya adalah demi keamanan mereka berdua.

"Kau..." Elena kehabisan kata-kata. Dia menyadari pemuda di depannya ini jauh lebih berbahaya dan dalam daripada sekadar anak SMA jenius.

"Jaga diri Kakak baik-baik," kata Rendra, lalu berjalan pergi menuju ruangan Wirawan, meninggalkan Elena yang terpaku dengan perasaan campur aduk: takut, kagum, dan... rasa aman yang aneh.

Di ruangan pribadi Wirawan, suasana lebih santai namun tetap serius.

"Duduk, Rendra," kata Wirawan.

"Terima kasih, Tuan."

"Kau membersihkan namamu dengan baik. Hartono memang beban," Wirawan menuangkan minuman ke dua gelas. "Sekarang, dengan proyek Batavia yang tertunda karena kerusuhan, aku butuh strategi baru. Kita butuh dukungan publik. Atau setidaknya, pengalihan isu."

Wirawan menyodorkan gelas ke Rendra.

"Aku ingin kau membuat skenario pasar. Buat seolah-olah ekonomi daerah itu akan hancur jika proyek ini batal. Aku ingin media, investor, dan warga memohon agar proyek ini dilanjutkan. Gunakan kemampuan prediksimu. Berapa dana yang kau butuhkan untuk memanipulasi opini publik?"

Rendra berpikir sejenak. Ini adalah manipulasi tingkat tinggi.

"Saya tidak butuh dana untuk memanipulasi opini, Tuan. Saya hanya butuh akses ke data inflasi daerah yang belum dirilis. Saya bisa membuat narasi bahwa tanpa Batavia Megacity, inflasi akan melonjak 10% bulan depan."

Wirawan tersenyum lebar. "Jahat, Aku suka, Lakukan."

Rendra keluar dari gedung itu sore harinya dengan posisi yang jauh lebih kuat. Dia sekarang adalah Kepala Keamanan Digital de facto untuk proyek Elena, yang memberinya akses penuh ke semua server Wirawan tanpa perlu meretas.

Dia telah menyingkirkan Hartono (ancaman keamanan yang tidak kompeten), mendapatkan kepercayaan Wirawan, dan mengikat Elena dalam simpul rahasia yang tak terucap.

Namun, saat ia masuk ke taksi, Rendra melihat berita di ponselnya.

"Tokoh Masyarakat Penolak Reklamasi Ditemukan Tewas dalam Kecelakaan Tunggal."

Rendra mengepalkan tangannya. Wirawan tidak hanya bermain media. Di balik layar, tim eksekutor (mungkin orang-orang Rudi) mulai membersihkan halangan manusia secara fisik.

Rendra tahu, dia harus mempercepat rencananya. Dia tidak bisa membiarkan lebih banyak orang mati demi ambisi bosnya. Dia harus menggunakan akses barunya untuk menemukan bukti pembunuhan ini dan menyimpannya sebagai kartu mati Wirawan.

1
Gege
kalimat generate AI nampak sekali thor... yo semangat ..kasih perintah lebih human waktu men generate..
Eva Akmal
seru
Gavinfllno: TERIMAKASIH ATAS DUKUNGAN NYA🙏
total 1 replies
Was pray
mengapa Rendra tidak menggunakan akun anonim untuk trading saham ? jadi tidak mudah dilacak identitasnya ?
Was pray
mengapa renda tidak memberi tingkat keamanan yg super kuat pada akun nya? otak nya belum sampai kah?
BungaSamudra
tulisanmu mengalir kek air. ritmenya pas banget pas dibaca 😍
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir
knovitriana
update
Ken
Tanda bacanya kurang dikit.
Semangat Thor
D. Xebec
lanjut next chapter bang, jadi penasaran gw, btw semangat 👍
D. Xebec
cerita nya menarik, tapi ada beberapa kata yang kurang huruf
D. Xebec
tulisannya masih banyak yang kurang huruf bang, perbaiki lagi, btw cerita nya menarik
Zan Apexion
menarik, Semangat ya👍
Monkey D. Luffy
kurang huruf N nya ini bang🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!