Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH LIMA : LUKA KECIL
“Apakah Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang menangani Mandala.
“I-iya. Saya teman dekatnya, Dok,” jawab Gita agak gugup. Kekhawatiran tampak jelas, atas kondisi Mandala saat ini.
“Bagaimana keadaan teman saya, Dok?” Gita memberanikan diri bertanya. Diabaikannya rasa cemas dan takut, yang terus menggelayuti dari semenjak tiba di rumah sakit.
“Kondisi pasien sudah mulai stabil. Luka tusuk berada di bagian pundak sebelah kiri. Sungguh beruntung karena tidak mengenai organ vital,” jelas sang dokter.
“Syukurlah. Jadi, bagaimana sekarang?” tanya Gita lagi, masih dengan raut cemas.
“Kami sudah melakukan pembersihan luka, menghentikan pendarahan, dan tentu saja melakukan penjahitan. Pasien juga sudah diberi obat antibiotik serta pereda nyeri agar tidak terjadi infeksi,” jelas dokter itu lagi.
“Apakah harus dioperasi?”
Sang dokter menggeleng pelan. “Untuk saat ini tidak diperlukan tindakan operasi karena luka yang dialami tidak terlalu dalam dan berbahaya. Namun, pasien harus dirawat selama beberapa hari di sini, agar mempermudah kami dalam memantau kondisinya.”
“Oh, i-iya.” Gita mengangguk ragu. Dia bingung harus bagaimana.
“Siapa yang akan menemani pasien selama dirawat di sini?” tanya sang dokter.
“Sa-saya, Dok.” Gita tidak punya pilihan. Lagi pula, dia tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. “Saya yang akan menemaninya selama berada di sini,” ucap gadis itu, seakan ingin mempertegas jawaban sebelumnya.
“Baiklah. Ada perawat yang berjaga. Jika Anda memerlukan bantuan, silakan hubungi saja. Satu hal yang paling penting adalah pastikan agar pasien tidak terlalu banyak menggerakkan pundak. Terlebih, jika sudah dibawa pulang ke rumah.”
Gita mengangguk sebagai tanda mengerti.
Setelah sang dokter berlalu, Gita langsung masuk ke ruang perawatan, berhubung Mandala sudah dipindahkan ke sana. Dia mendapati pria itu berbaring dengan posisi menyamping ke sebelah kanan.
Gita melangkah hati-hati ke dekat ranjang tempat Mandala berbaring. Dia berdiri di sisi sebelah kanan, menatap nanar pria yang terluka karena berusaha melindunginya.
Entah apa yang harus dilakukan. Gita hanya terpaku tanpa mengalihkan perhatian sedkit pun dari Mandala, yang terpejam karena pengaruh obat.
“Mas Maman,” sebut Gita lirih, seraya menyentuh punggung tangan Mandala. Dia duduk di kursi yang tersedia, sambil terus mengusap-usap lembut punggung tangan pria itu. Beruntung karena Mandala tidak terganggu olehnya.
“Terima kasih,” ucap Gita lagi, masih dengan suara teramat lirih.
Sejuta penyesalan memenuhi rongga dada. Inilah yang Gita takutkan. Menyeret dan membahayakan hidup seseorang, yang tak seharusnya mendapat perlakuan seperti itu dari Rais.
Walaupun sekarang Rais sudah diamankan oleh pihak kepolisian, tetapi tak membuat Gita merasa mendapatkan kebebasan mutlak. Kekhawatiran besar tetap ada. Dia tahu pria itu bisa melakukan apa saja.
......................
“Gita ….”
Seorang pria paruh baya melangkah hati-hati dalam keremangan ruangan.
“Gita …. Bersembunyi di mana kamu?”
Suara si pria mengesankan bahwa dirinya tengah bermain petak umpet, dengan gadis kecil yang bersembunyi di celah sempit antara bufet dan kursi.
“Ayah pasti akan menemukanmu, Anak manis,” ucap si pria lagi, yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.
Namun, gadis kecil yang tengah bersembunyi justru terlihat sangat ketakutan. Dia memeluk erat lutut yang dilipat. Harapannya hanya satu, yaitu tidak ditemukan oleh sang ayah.
“Nah!”
Gadis kecil itu terkejut bukan main. Rona ketakutan tergambar jelas dari paras manisnya. Dia menggeleng kencang, menolak ketika pria yang tadi mencarinya menarik tangan, memaksa agar keluar dari tempat persembunyian.
“Tidak! Aku tidak mau, Ayah!” tolak si gadis kecil. Dia meronta, berharap sang ayah melepaskannya.
Akan tetapi, pria dewasa itu justru tertawa lebar, lalu menggendong si gadis kecil.
“Aku tidak mau, Ayah! Aku tidak mau! Aku tidak mau! Turunkan aku ...."
Gita mengerjap. Sejenak, gadis berambut panjang itu terdiam demi mengatur laju napas yang memburu. Detak jantungnya pun memacu lebih kencang dari kondisi normal, seakan ada sesuatu yang membuatnya dilanda rasa takut luar biasa.
“Gita. Kenapa?"
Suara berat Mandala membuat Gita tersadar sepenuhnya. Dia yang tertidur dalam posisi duduk, segera menegakkan tubuh. “Mas Maman. Selamat pagi."
“Kamu tidur di sini?”
Gita mengangguk pelan.
“Pasti pegal tidur dengan posisi seperti itu,” ujar Mandala pelan.
Gita hanya tersenyum menanggapi ucapan Mandala.
“Aku juga,” Mandala tersenyum samar.
“Maafkan aku, Mas,” sesal Gita.
“Maaf untuk apa?”
“Untuk keadaan Mas Maman sekarang. Lihatlah. Mas terluka sampai harus masuk rumah sakit gara-gara aku.” Setitik air mata menetes, melewati sudut bibir Gita. “Inilah yang aku takutkan, Mas.”
“Aku tidak akan mati hanya karena luka kecil seperti ini,” ujar Mandala pelan, tapi terdengar sangat meyakinkan.
“Luka kecil itu tetap saja terasa sakit, Mas.”
“Tidak sulit mengobati luka kecil, kecuali jika kita membiarkan dan membuatnya bertambah besar.”
Gita menggeleng samar, lalu tertunduk. Diusapnya sudut mata beberapa kali, demi menghalau air mata agar tidak menetes dan terlihat oleh Mandala.
“Di mana si keparat tua itu?” tanya Mandala, setelah terdiam beberapa saat.
“Di kantor polisi,” jawab Gita, seraya mengangkat wajah. “Apakah Pak Rais akan ditahan di sana?”
“Seharusnya. Inilah kesempatanmu untuk terlepas darinya.”
“Bagaimana jika ternyata dia dibebaskan?” Raut wajah Gita tampak sangat khawatir.
“Aku yakin masih ada setitik keadilan di negeri ini. Jika tidak ….” Mandala tak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menatap Gita dengan sorot penuh arti.
“Jangan lakukan apa pun lagi demi diriku, Mas. Sudah cukup. Ini sudah lebih dari cukup.” Gita tak sungkan menggenggam tangan Mandala.
“Belum, sampai kupastikan kamu benar-benar terbebas darinya dan predikat sebagai wanita penghibur.”
“Mas ….” Bukannya berhenti, air mata justru mengalir makin deras. Di satu sisi, Gita merasa begitu tersanjung karena mendapat perlakuan seperti itu dari Mandala. Dia seperti menemukan sosok pahlawan yang selama ini diimpikan.
Di sisi lain, ada sesuatu yang membuat Gita tersadar. Mandala tak seharusnya melakukan semua itu untuk dirinya. Perasaan tidak layak terlalu mendominasi, mengalahkan kebahagiaan atas keistimewaan yang membuatnya merasa begitu berharga.
“Terima kasih, Suster,” ucap Gita, seraya mengembalikan telepon genggam milik perawat. Dia meminjamnya untuk menghubungi Ratih.
“Sama-sama, Bu. Permisi.”
Sepeninggal perawat yang baik hati itu, Gita termenung beberapa saat sambil bersandar pada dinding. Ada banyak hal yang dia pikirkan, termasuk kondisi Mandala setelah nanti keluar dari rumah sakit.
“Git,” panggil Ratih tidak terlalu nyaring. Dia langsung menghampiri Gita. “Bagaimana keadaan Mas Maman?”
“Sudah stabil. Dia harus dirawat sementara untuk mempermudah tim medis dalam memantau kondisinya,” terang Gita.
“Ya, Tuhan. Andai semalam aku ada di sana. Aku benar-benar minta maaf,” sesal Ratih. “Omong-omong, Pak Wira menghubungimu sejak tadi pagi.”
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua