Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Kellan sudah turun dan langsung kembali ke kantor Nathan untuk melapor sesuai instruksi. Victor tinggal sendiri... kecuali dua bodyguard HGE yang menunggu di lobby bawah karena pihak Morelli tidak mengizinkan mereka naik. Langkah kakinya menuju lift sembari merapikan jas. Napasnya stabil, tapi pikirannya fokus mengevaluasi angka, syarat dan risiko.
Tanpa di duga...
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah kaki berat terdengar dari belakang membuat Victor menoleh sedikit, terlihat sosok pria berkemeja hitam dengan tato menjalar dari leher hingga rahang... melangkah lebih dekat. Ia adalah Lupo, tangan kanan Morelli. Tatapannya seperti predator yang baru menemukan mangsa.
"Signor Victor," sapanya dengan senyum miring, "Sebelum kau pulang, ada pesan kecil dari tuan Morelli." Victor tidak bergerak, "Jika kau ingin membahas bisnis, itu sudah selesai." Lupo mendekat, mengikis jarak antara mereka.
"Bukan bisnis," jedanya membuka pisau lipat tipis yang di ambil dari saku jas, suara klik-nya terdengar dingin di lorong sepi. Pria itu mengangkat pisaunya setinggi dada Victor, tidak menusuk... hanya mendekat dan itu cukup membuatnya terasa di permukaan kulit.
"Bos sangat mengapresiasi kerjasama hari ini," bisik Lupo. "...beliau sangat senang. Tapi ingat, ketika kau membuka pintu untuk kami, jangan pernah mencoba menutupnya lagi." Victor menatap balik, ia bisa merasakan hawa dingin menyelimuti mereka berdua, namun ia tak gentar. Jarinya berubah dingin meskipun sudah berusaha menekan rasa ketakutannya itu.
"Aku tidak menutup pintu selama kalian tidak mencoba menerobos jendela." Lupo terkekeh. Lalu... CETAR.
Ujung pisau diseret cepat di sepanjang garis rahang Victor. Tidak dalam, hanya goresan tipis... nyaris tak terlihat namun cukup membuktikan bahwa: itu bukan bercanda. Victor mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Lupo kemudian menepuk pipi Victor pelan.
"Tenang saja, handsome prince... kami sangat menyukai orang berani. Namun yang harus kau tahu, kau berjalan sendirian malam ini." pisau di tutup. Lupo berbalik, seolah tidak terjadi apa-apa. Bersamaan itu, pintu lift terbuka. Victor masuk dengan rahang terkunci.
Begitu pintu lift tertutup sambil ia turun, dua bodyguard langsung berdiri menunggu.
"Tuan, anda baik-baik saja?" salah satu bertanya begitu menyadari garis merah tipis di rahang Victor. Victor menjawab dengan suara rendah, dingin, suaranya mengeras. "Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan, kita pulang."
Namun di balik suaranya, ada satu hal yang terus mengusik ketenangannya: jika Morelli bisa menyentuhnya, mereka juga bisa menyentuh seseorang yang ia pedulikan. Aleesya.
---
Ruang kerja Nathan malam itu sedikit redup karena hanya meja lampu yang menyala. Saat pintu diketuk dua kali, ia tak langsung menjawab... hanya menutup map dokumen sambil berkata pelan. "Masuk."
Asisten pribadi Victor, Kellan, melangkah masuk dengan tablet di tangannya. Wajahnya nampak tegang sekaligus... puas.
"Kabar mengenai pertemuan Victor dengn Morelli sudah masuk, Tuan." lapornya menunduk sekilas. Nathan menegakkan badan, "Bagaimana hasilnya?" Kellan menahan senyum kecil, "Kesepakatan berjalan mulus. Division Nine mendapat akses langsung ke jalur distribusi Morelli. Investor besar dari Timur Tengah berpindah haluan pada pihak kita minggu depan. Lenz... jatuh lebih cepat dari dugaan kita."
Nathan mengusap dagunya, senyum licik menghiasi wajah elegannya. "Bagus. Victor bekerja lebih efisien dari perkiraanku." Kellan terlihat ingin berbicara lagi. "Victor juga sudah diberi tahu mengenai Maxwell yang kritis akibat serangan jantung. Ia terlihat... sangat bahagia."
Pria berumur 49 tahun itu terkekeh singkat. "Biarkan dia menikmati kemenangan kecilnya, panggil dia pulang." Ia menatap Kellan. "Baik, Tuan."
Rintik hujan menemani Victor dalam perjalanan pulang. Pria itu hanya diam dengan tatapan yang fokus melihat jalanan. Senyumnya muncul begitu saja setelah mendengar kabar bahwa hadiah yang ia berikan pada Lenz, begitu membuat Maxwell langsung terkena serangan jantung. Memikirkan Maxime, Victor teringat wanita cantik yang kini telah menjadi pusat pikirannya.
"Berhenti di toko coklat." perintahnya dengan nada tegas seperti biasa. Sang sopir hanya mengangguk dan membawa mobil mereka sesuai permintaan tuannya untuk berhenti di sebuah convenience store mewah. Langkahnya yang tegak dan terkontrol membuat beberapa orang yang berada disana memusatkan perhatiannya pada Victor seorang. Tanpa banyak menimbang, Victor mengambil satu kotak coklat premium... sesuatu yang sejak lama ia tahu adalah favorit Aleesya.
Bibirnya melengkung kecil, "Dia pasti senang." Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanan hingga tiba di rumah besar keluarga Ferdinan.
Aleesya terlihat duduk di ruang tengah dengan raut termenung. Ia memegang ponsel, berita di portal bisnis mengenai Maxwell sudah tersebar. Wanita itu segera mencari tahu setelah Nathan memberitahunya tadi. Teh camomile yang ia seduh bahkan sudah tak lagi panas dengan uap yang menempel di sisi cangkir.
Ia menghela napas berat. "Om Maxwell itu baik padaku... namun istri dan anaknya? Huft.. aku ini kenapa sih? Jelas jelas Maxime sudah berselingkuh, mengapa aku masih memikirkan mereka?"
Di tengah rasa bingungnya, suara langkah sepatu terdengar. Victor masuk, dengan dua kancing jas yang sudah terlepas dan dasi yang sedikit longgar sambil membawa kotak coklat bertali pita emas. "Apa kau memikirkan Maxwell?" tanyanya mengambil duduk di sebelah Aleesya.
Wanita itu mengangguk pelan, "Iya... aku bingung, Vic. Beliau bukan orang jahat, tapi keluarganya... kau tahu sendiri." Victor mengikis jarak duduk mereka menjadi beberapa centimeter. "Dengarkan aku." suara Victor rendah, tegas, tapi lembut. "Kau tidak memiliki kewajiban apa pun pada keluarga Maxime. Tidak ada hutang moral, dan alasan untuk ikut memikirkan mereka."
Victor meletakkan coklat itu ke pangkuan Aleesya. "Aku beli ini untukmu, agar kau berhenti memikirkan hal yang tak layak mengambil ruang di kepalamu." Aleesya menatap coklat itu,napasnya tercekat, jantungnya tak karuan, secepat mungkin Aleesya menormalkan raut wajahnya, kemudian menatap Victor. "Terima kasih... kau selalu bisa membuatku tenang." Victor tersenyum kecil, "Tentu saja. Karena aku memperhatikanmu lebih dari yang kau tahu."
Perkataan itu berhasil menciptakan semburat merah di pipi Aleesya dengan cepat. Menit seakan berhenti seolah membiarkan dua manusia itu untuk saling memahami.
Getar ponsel Aleesya memecah keheningan itu. Nama Billy muncul di layar.
Aleesya buru-buru menerima, sedangkan Victor masih tak bergeming menatap Aleesya yang sudah mati kutu jika ponselnya tak berbunyi tadi. "Bil, ada apa?" suara Billy terdengar antusias bercampur suara ramai persiapan dekor.
"Syaaa! Undangannya udah jadi! Malam ini aku dan Farel mau sebar ke semua orang. Besok malam grand opening bar dan cafe kita! Jangan lupa datang, ya!" Aleesya tertawa kecil, "Ya ampun... Really? Oke kirim undangannya ke rumahku, ya? Aku tunggu." suara riuh menjadi background percakapan mereka, namun suara Billy tetap tidak terkalahkan. "Oke! Jangan telat besok! Dresscode hitam, ingat!"
Teleponpun berakhir sepihak. Victor yang tadi menyimak, kemudian menoleh. "Billy?" Aleesya meletakkan ponselnya, "Iya. Besok grand opening club bar baru miliknya dan Farel, kita harus datang."
Victor berdiri perlahan, matanya menatap Aleesya sejenak sebelum kembali ke rumahnya. "Baiklah, aku akan menjemputmu."