Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. CIUMAN HANGAT RASA RISOTTO
..."Cinta kedua bukan tentang menggantikan yang hilang, tapi tentang mengingat bagaimana rasanya hidup lagi."...
...---•---...
Ciuman itu lembut, ragu-ragu, seperti percobaan pertama. Ada rasa mint dari teh dan sedikit manis dari risotto. Hangat, lembut, dan mengandung janji tentang sesuatu yang bisa tumbuh menjadi indah kalau dijaga dengan hati-hati.
Tapi ada yang tidak sempurna, hidung mereka hampir bertabrakan di sudut yang canggung, dan Naira hampir kehilangan keseimbangan saat berjinjit. Doni refleks menangkap pinggangnya, tapi handuk yang tadinya di bahunya jatuh ke lantai dengan bunyi lembut.
Mereka berpisah setelah beberapa detik. Dahi saling menempel, napas belum teratur.
"Uh." Doni menggaruk belakang kepalanya, sedikit canggung. "Itu agak..."
"Canggung?" Naira tertawa kecil, pipinya merona.
"Iya maaf. Sudah lama aku,"
"Aku juga." Naira menatapnya dengan mata yang lembut. "Tapi... boleh kita coba lagi?"
"Aku sudah penasaran kapan kamu bakal cium aku. Atau harus aku duluan yang mulai?"
"Aku gugup." Doni mengusap tengkuk Naira. "Tidak mau terburu-buru atau membuat kamu tidak nyaman, apalagi setelah yang kamu alami dengan Rendra."
"Doni, kamu itu kebalikannya Rendra." Naira menarik napas panjang. "Saat kamu sentuh aku, aku merasa aman. Waktu dia sentuh aku, aku merasa terjebak. Kamu tidak perlu takut melangkah, selagi kamu tetap penuh kenyamanan dan kelembutan seperti sekarang."
"Aku janji akan selalu hati-hati denganmu. Akan selalu pastikan kamu nyaman, dan tidak akan melanggar batas."
"Aku tahu. Itu sebabnya aku percaya kamu."
Naira mencium Doni lagi. Kali ini lebih yakin, lebih lama.
Mereka tenggelam dalam momen itu. Di dapur yang hangat, di bawah cahaya lampu yang redup, mereka akhirnya mengizinkan diri untuk merasakan tanpa ragu. Tangan Doni melingkari pinggang Naira, menariknya lebih dekat. Jemari Naira bermain di tengkuk Doni, menyentuh rambutnya yang lembap oleh uap dapur.
Langkah kaki di koridor membuat mereka cepat berpisah.
Doni buru-buru mengambil handuk yang jatuh tadi, pura-pura melipatnya. Naira berbalik ke bak cuci piring, menyalakan keran meski tidak ada piring yang tersisa. Begitu Tuti masuk membawa keranjang cucian, keduanya tampak sepenuhnya biasa saja, kalau saja pipi mereka tidak sama-sama memerah.
"Maaf ganggu, Pak Doni, Nona Naira. Saya mau ambil serbet di kabinet pojok," kata Tuti sopan.
"Silakan, Bu Tuti," ucap Doni sambil bergeser.
Tuti mengambil serbet, matanya tajam memperhatikan suasana. Handuk yang terlipat asal di tangan Doni, air keran yang mengalir tanpa tujuan, dua orang yang terlalu sibuk tidak saling menatap. "Sore ini hujan deras ya. Romantis sekali cuacanya."
"Iya, Bu. Pas buat makan risotto hangat," jawab Naira santai, meski pipinya sedikit memerah.
"Hmm." Tuti tersenyum samar, tatapannya bergantian antara mereka. "Saya senang Nona Naira sekarang sering ke dapur. Dulu jarang keluar kamar, sekarang hampir tiap hari ada di sini. Pasti karena Pak Doni jago masak."
"Pak Doni mengajariku banyak hal. Gurunya sabar sekali," ujar Naira, dan Doni bisa merasakan lapisan makna di balik kalimat itu.
"Bagus, bagus. Memasak itu penting. Memasak bersama juga bagus untuk mempererat hubungan." Tuti tersenyum lebih lebar, dengan tatapan yang terlalu tahu. "Selamat malam, Nona. Pak."
"Selamat malam, Bu Tuti."
Begitu Tuti pergi, Doni dan Naira saling pandang dengan cemas.
"Kamu pikir dia curiga?" tanya Naira pelan.
"Lebih dari curiga. Dia tahu." Doni menghela napas pelan. "Tapi selama kita hati-hati dan tidak kasih tanda-tanda jelas, harusnya aman. Tuti orang baik, aku tidak yakin dia bakal ngomong apa pun meski dia tahu."
"Tapi kita tetap harus lebih hati-hati."
"Setuju."
Mereka menyelesaikan bersih-bersih dengan waspada, telinga menajam terhadap setiap suara langkah. Kedekatan masih ada, tapi kini dilapisi kehati-hatian.
Saat dapur sudah rapi dan lampu-lampu dimatikan kecuali satu di atas kompor, Naira berkata, "Aku harus ke kamar. Ratna bakal curiga kalau aku kelamaan di dapur."
"Aku tahu." Doni menggenggam tangannya sebentar, memberi tekanan pelan. "Selamat malam, Naira."
"Selamat malam, Doni."
Naira berhenti di pintu, menoleh. "Terima kasih. Buat hari ini. Buat semua yang kamu lakukan. Buat membuat aku percaya sama kemungkinan lagi."
"Terima kasih juga. Karena sudah mengizinkanku masuk. Karena percaya sama aku, meski kamu masih punya luka."
Naira tersenyum, lalu melangkah pergi naik tangga. Doni berdiri di dapur yang sunyi, jarinya menyentuh bibir, merasakan sisa hangat dari ciuman tadi.
Dua bulan sudah berlalu. Enam puluh hari dari seribu. Masih ada sembilan ratus empat puluh hari tersisa. Tapi entah kenapa, sembilan ratus empat puluh hari itu terasa sekaligus terlalu banyak dan tidak cukup.
Terlalu banyak untuk menyembunyikan rahasia ini tanpa ketahuan. Tidak cukup untuk menjelajahi semua yang bisa terjadi di antara mereka.
Doni berjalan ke kamarnya. Saat melewati foto Sari di dinding, dia berhenti. Menatap senyum lembut yang dulu menemaninya bertahun-tahun.
"Aku harap kamu nggak marah," bisiknya pelan. Suaranya bergetar sedikit. "Aku masih ingat kamu, masih ingat cara kamu ketawa kalau aku gosong-gosongin roti. Masih ingat kamu suka curi icip adonan kue meski aku bilang nanti sakit perut." Dia tersenyum tipis, tapi matanya berkaca-kaca. "Naira... dia beda dari kamu. Dia nggak gantiin kamu. Tapi dia bikin aku merasa hidup lagi. Bikin aku pengen bangun pagi, pengen masak lagi bukan cuma karena harus. Aku harap... aku harap kamu ngerti."
Foto itu tentu diam saja. Tapi di hati Doni, ada rasa tenang. Seperti izin yang selama ini dia tunggu diam-diam. Izin untuk maju, untuk mencintai lagi, untuk bahagia tanpa rasa bersalah.
Di kamarnya, Naira duduk di tepi ranjang, jari menyentuh bibirnya sendiri. Dia memutar ulang ciuman tadi di kepala. Ciuman pertama setelah Rendra, dan ciuman pertama yang tidak membuatnya takut. Ciuman yang membuatnya merasa utuh lagi.
Dia sempat ingin mengirim pesan ke Doni, tapi menahan diri. Terlalu berisiko. Mereka sudah sepakat: tidak ada jejak digital. Semua hanya boleh hidup dalam ruang dan waktu nyata.
Naira berbaring, kenangan hari ini berputar di pikirannya. Ada sekilas suara kecil yang berbisik: terlalu cepat, terlalu mudah, kamu belum sembuh. Tapi kemudian dia ingat bagaimana Doni menangkapnya saat hampir jatuh, bagaimana ciumannya terasa aman, bukan mengurung. Senyum pelan muncul di bibirnya. Mungkin ini bukan tentang sudah sembuh total. Mungkin ini tentang berani mencoba lagi.
"Terima kasih," bisiknya ke langit-langit kamar. "Terima kasih sudah kirim Doni. Terima kasih buat kesempatan kedua ini."
Dan di dua kamar terpisah, dua orang yang sama-sama terluka, sama-sama berusaha hidup lagi, tertidur dengan senyum kecil dan keyakinan bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka baru saja menemukan sesuatu yang layak diperjuangkan.
Sesuatu yang layak dijaga.
Sesuatu yang layak untuk 940 hari ke depan dan mungkin, jauh lebih lama dari itu.
...---•---...
...Bersambung...