NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kematian anak suryo

Fandi bergerak cepat.

Ia melakukan tendangan berputar yang menghantam leher Angga dengan keras—

KRAAAK!

Suara tulang patah terdengar jelas.

Angga terhempas ke lantai, mengerang dengan bibir pecah dan hidung berdarah deras.

Syuuh!

BUGHH!

TAK!

“Arrghh—!”

Fandi mencengkeram leher Angga, mengangkat sedikit, lalu membanting kepala pemuda itu ke lantai. Benturannya begitu keras hingga lantai bergetar.

Angga terbatuk-batuk, napas tersengal.

Fandi menarik napas dalam—dan mengeluarkan senjata tajamnya.

Ia mendekat perlahan.

Angga merangkak mundur ketakutan.

“Ja—jangan… jangan! Tung—”

WUUUSH—TUSSH!!

“AAAAAA—!!”

Jeritan itu menggema memenuhi ruangan.

Tangan kanan Angga terputus seketika—mendarat di lantai dengan suara plak basah, darah menyembur liar.

Angga memeluk sisa lengannya sambil menggeram kesakitan.

“A—aku… tolong… aku—”

Fandi tidak memberi ampun.

SYUUH!

JLEB! — KREEEK!!

“Errrrghh—!”

Fandi menancapkan senjatanya tepat ke jantung Angga, lalu menekan hingga terdengar bunyi tulang retak. Tubuh Angga tersentak kuat—kemudian terkulai.

Tanpa ragu, Fandi menarik senjata dan—

SREET!

—menebas leher Angga.

Kepala Angga jatuh miring ke lantai. Tubuhnya berhenti bergerak.

Semua selesai dalam hitungan detik.

Fandi berdiri diam, menatap jasad itu dengan mata yang dingin dan gelap.

Ia menarik napas, lalu berjalan keluar.

Ruangan lain menarik perhatiannya—sebuah ruang monitor CCTV.

Fandi masuk, menghancurkan monitor satu per satu.

BRAAK! BRAAK! BRAAK!

Kemudian ia mengambil semua memori rekaman, memasukkannya ke saku.

Baru setelah itu ia keluar dari bangunan.

Kei dan Alfin masih setengah roboh di dekat mobil, wajah mereka pucat dan tubuh goyah akibat perjalanan sebelumnya.

Fandi tak berkata apa pun, langsung masuk ke mobil.

Kei dan Alfin saling pandang. Tidak ada pilihan.

Mereka masuk juga—pasrah.

BRUUUUUMMMM!!

Mobil kembali melesat seperti peluru. Kei menjerit dalam hati, memegang sabuk pengaman sekuat tenaga.

“Kalau gini… nyesel gue ikut…” gumamnya lirih, wajahnya pucat pasi.

Alfin sudah pasrah, menutup mata rapat-rapat setiap mobil berbelok tajam.

Hampir 30 menit mobil melaju dengan kecepatan gila sebelum akhirnya—

CYIITTT!!

Ban berdecit keras saat Fandi menghentikan mobil mendadak di depan rumah sakit.

Fandi menginjak rem dengan keras, mobil berhenti mendadak. Ia langsung turun dan berlari masuk ke rumah sakit tanpa menoleh ke belakang.

Sementara itu Kei dan Alfin keluar dari mobil sambil memegangi perut.

Begitu kaki menapak tanah, keduanya langsung—

“Ueek—!”

Mereka muntah hampir bersamaan, wajah pucat dan tubuh gemetar.

“Astaga… fin, ambil kunci mobil…” kata Kei terengah-engah, masih memegang kepala. “Jangan biarkan dia bawa mobil lagi. Bisa mati kita dibuatnya…”

Alfin mengangguk cepat, meski langkahnya goyah.

Ia membuka pintu mobil, mengambil kunci, dan memasukkannya ke saku.

Begitu selesai, ia langsung jatuh duduk di lantai koridor rumah sakit, sama sekali tidak peduli tatapan orang-orang.

“Si Fandi itu kerasukan apa sih…?” Kei menyeka mulutnya dengan tisu, masih limbung.

“Benar-benar kayak orang hilang akal.”

“Entahlah…” jawab Alfin lemas. “Yang jelas dia… sangat marah.”

Kei menghela napas panjang.

“Aku lebih pilih bertarung melawan dua puluh orang daripada naik mobil bareng dia lagi…”

“Aku juga…” Alfin mengangguk setuju.

Di Dalam Rumah Sakit

Fandi langsung mendekati suster.

“Pasien bernama Epi… di mana?”

Suster itu menjelaskan bahwa Epi berada di ruang ICU, kondisi sangat kritis.

Untuk masuk pun harus mengikuti prosedur dokter.

Beberapa menit kemudian, Fandi diperbolehkan masuk.

Ia melangkah pelan, dan begitu melihat Epi…

Tubuhnya seakan membeku.

Gadis itu terbaring lemah, dikelilingi banyak selang, kabel, alat monitor yang berbunyi lambat—seperti napas terakhir yang ditahan.

Fandi mendekat.

Tangannya terangkat… namun ia ragu.

Takut sentuhannya justru menyakiti gadis itu.

“Mengapa kau mengalami ini…” suaranya lirih dan pecah. “Aku bahkan… tak tahu siapa dirimu sebenarnya. Tapi hati ini… sakit melihatmu seperti ini…”

Ia menatap wajah pucat Epi lama sekali, hingga tanpa sadar air matanya jatuh satu per satu.

Ia tidak pernah menangis.

Tidak pernah.

Namun kali ini, ia tak mampu menahan.

“Bangunlah…” bisiknya. “Aku sudah membunuh orang yang menyakitimu.”

Ruangan hening. Hanya suara monitor yang berdetak lambat.

Fandi berdiri di sana hampir satu jam, sebelum akhirnya keluar dan duduk di ruang tunggu, wajah muram, pakaian masih berlumuran darah kering.

Di Tempat Lain — Rumah Suryo Wijaya

“Mengapa Angga belum pulang?”

Suryo berjalan mondar-mandir gelisah.

Istrinya menatap layar ponsel.

“Nomornya tidak aktif. Coba cari dia dulu.”

Suryo memanggil pelayannya.

“Jodi!”

“Ya, Tuan?”

“Ke markas di perbatasan. Suruh Angga pulang sekarang.”

“Baik, Tuan.”

Jodi segera pergi.

35 Menit Kemudian — Markas Perbatasan

Mobil Jodi berhenti di depan markas. Ia mengernyit.

Gerbang terbuka lebar.

Aneh. Biasanya selalu tertutup rapat.

Saat mobil bergerak masuk…

Wajah Jodi langsung pucat seketika.

Mayat—puluhan mayat—berserakan di tanah.

Beberapa terpenggal, beberapa bersimbah darah, beberapa hancur seakan dihajar tanpa ampun.

“Ya Tuhan…” gumamnya dengan suara hampir hilang.

Keringat dingin menetes di pelipisnya.

Siapa… siapa yang melakukan ini?

Jodi berdiri terpaku di pintu gerbang markas yang terbuka lebar. Sunyi… terlalu sunyi. Angin yang lewat saja terdengar jelas.

“Ada apa ini…?” gumamnya lirih.

Ia melangkah masuk. Semakin jauh ia berjalan, semakin jelas pemandangan mengerikan yang terbentang di hadapannya—mayat-mayat anak buah Suryo berserakan, seolah seluruh markas itu habis disapu badai pembantaian.

Jodi menelan ludah, tenggorokannya perih. Ia mempercepat langkah menuju ruangan dimana Angga biasanya berada.

Begitu pintu terbuka…

“ASTAGA… TUAN MUDA!!” teriakan Jodi pecah memenuhi ruangan.

Ia langsung jatuh berlutut di samping jasad Angga. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa lemas seperti tak bertulang. Kondisi jasad itu terlalu parah… terlalu mengerikan untuk ia cerna.

“Nggak mungkin… siapa yang melakukan ini…” bisiknya sambil menangis pelan, suaranya bergetar.

Ia bangkit tersentak, berlari menuju ruang monitor—tapi yang ia temukan hanya puing-puing alat yang hancur total. Tidak ada bukti… tidak ada rekaman… tidak ada apa-apa.

Dengan langkah limbung ia kembali ke ruangan Angga. Perlahan ia mengangkat tubuh tuan mudanya itu, memeluknya seolah ia masih hidup, lalu membawanya ke dalam mobil.

Dalam perjalanan pulang, air mata terus mengalir membasahi wajah Jodi. Ia menggigit bibir hingga berdarah, menahan rasa hancur yang begitu besar.

Kurang lebih 30 menit kemudian ia tiba di rumah megah keluarga Suryo. Lampu-lampu halaman menyala terang, dan di depan sana… Suryo sudah berdiri menunggu, tampak gelisah.

“Di mana Angga, Jodi?” suara Suryo dalam, tapi bergetar.

“D–di… di mobil, Tuan…” jawab Jodi patah-patah.

Suryo mengernyit. Sedangkan istrinya, dari belakang bertanya cemas, “Bagaimana, Pa? Apa Angga sudah pulang?”

Jodi menelan napas berat sebelum membuka pintu mobil.

Saat ia menggendong jasad Angga keluar, dunia seakan berhenti. Suryo dan istrinya membeku… tubuh mereka tak bergerak, mata membesar penuh ketidakpercayaan.

“Itu siapa…?” suara Suryo pecah, meski ia tahu jawabannya.

“Tuan… itu tuan muda Angga,” lirih Jodi, suaranya patah. “Markas diserang. Semua pasukan mati… termasuk tuan muda. Saat saya tiba… mereka semua sudah…”

Istri Suryo langsung menjerit histeris, tapi suaranya terpotong karena tubuhnya melemas dan ia jatuh pingsan. Pengawal lain buru-buru menangkapnya.

Suryo sendiri… lututnya hampir tak mampu menahan beban tubuhnya. Ia mendekat pelan, seperti seseorang yang berjalan menuju mimpi buruk.

Saat melihat wajah anaknya secara langsung—hancur, berlumur darah, tak lagi mengenali—tetesan air mata besar jatuh sekaligus.

“Anakku…” suara Suryo pecah total.

Ia memeluk jasad Angga kuat-kuat, menangis tanpa bisa dihentikan. Tangis seorang ayah yang kehilangan segalanya. Tangis yang memenuhi halaman megah itu dengan kesedihan yang menusuk jantung.

Jodi berdiri di samping, menundukkan kepala, air matanya terus jatuh. Ia ikut merasakan hancur dan marah bercampur menjadi satu.

Setelah lama menangis, Suryo akhirnya mengangkat wajahnya, mata merah membara.

“Panggil semua pasukan. Suruh mereka menyebar berita Sampaikan… anakku meninggal.”

Ia menarik napas panjang penuh dendam.

“Kita akan siapkan pemakaman. Setelah itu…

Jodi mengangguk, dada menegang, dan berlari untuk menyampaikan perintah itu.

Sementara itu, Jodi segera menggerakkan seluruh pasukan dan orang-orang kepercayaan untuk menyebarkan kabar kematian Angga. Kabar itu juga dikirimkan ke seluruh rekan bisnis, kolega, hingga penguasa wilayah yang bekerja sama dengan keluarga Suryo. Semua diberitahu bahwa pemakaman akan dilakukan di kediaman keluarga besar itu.

Tak butuh waktu lama, berita itu sampai ke telinga Vincent dan Mahawira, yang saat ini duduk di ruang tamu rumah Mahawira bersama beberapa anak buah mereka.

“Kalian tahu dari mana informasi ini?” tanya Mahawira, wajahnya tampak menegang.

“Dari ajudan Tuan Suryo sendiri, Tuan,” laporan salah satu anak buahnya.

Mahawira mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar semua anak buahnya keluar dari ruangan. Pintu ditutup. Kini hanya tersisa mereka berdua—Mahawira dan Vincent.

Suasana langsung berubah hening dan berat.

“Menurutmu siapa pelakunya?” tanya Mahawira, menatap Vincent dengan mata penuh rasa was-was.

“Anak Atha,” jawab Vincent cepat, wajahnya tampak tak percaya. “Gila… gerakannya terlalu cepat. Malam ini juga dia menghabisi markas itu.”

Mahawira menarik napas panjang, panik mulai merayapi nada suaranya.

“Bagaimana kalau dia tiba-tiba tahu ini semua ulah kita? Kita bisa habis, Vin…”

Vincent memejam sebentar, terlihat sangat serius.

“Kita ke rumah Suryo dulu. Cari informasi langsung dari sana. Kita harus tahu bagaimana reaksi mereka.”

Mahawira mengangguk ragu. “Sebaiknya siapkan muka berduka. Sebenarnya… ini memang salah kita juga.”

Vincent mendengus kesal. “Apa kau menyesal sekarang? Aku tidak pernah mengerti jalan pikiranmu, Wira.”

“Bukan menyesal…” jawab Mahawira gusar. “Tapi kalau ini ketahuan, dampaknya bisa sangat besar. Sangat besar.”

Vincent berdiri, merapikan pakaiannya.

“Kita undur dulu rencana kabur kita. Kalau kita pergi sekarang, Suryo curiga. Aku tidak sangka Fandi bergerak secepat ini… anak itu benar-benar menakutkan.”

Tak lama kemudian mereka masuk ke mobil dan melaju menuju rumah Suryo.

Beberapa menit kemudian mereka tiba. Rumah itu sangat ramai—pejabat, pengusaha, pasukan, dan keluarga besar mulai berdatangan. Suasana dipenuhi tangis dan bisik-bisik cemas.

Vincent dan Mahawira masuk dengan wajah duka, melangkah mendekati Suryo yang berdiri dengan mata sembab, masih memeluk foto Angga.

“Bagaimana bisa, Sur?” tanya Mahawira dengan nada terkejut yang dibuat-buat. “Sakit apa anakmu?”

Vincent menambahkan dengan ekspresi sedih, “Kami… kami benar-benar terkejut. Berita ini terlalu tiba-tiba…”

Suryo mengangkat wajahnya perlahan. Mata merah, rahang mengeras, suara penuh kemarahan dan kesedihan yang ditahan.

“Bukan sakit…” ucap Suryo lirih, namun terdengar jelas.

“Anakku… dibunuh.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!