Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal
Pak Joni menutup telepon, wajahnya pucat. Enzi hanya menyuruhnya untuk mengabaikan Ana. Enzi sama sekali tidak menganggap serius ancaman Ana, dia pikir itu hanya luapan kemarahan sesaat.
Di kantornya yang mewah, Enzi mengakhiri panggilan. Dia tersenyum sinis. "Dia pikir dia bisa mengancamku? Biar saja. Aku ingin tahu sejauh mana dia bisa melangkah tanpa uang dan tanpa dukungan dariku." Ego Enzi terlalu besar untuk menyadari bahwa ini bukan lagi soal kemarahan Ana, tapi sebuah keputusan besar.
Sementara itu, Ana tiba di kawasan bisnis, memarkir mobil-nya. Dia masuk ke sebuah gedung perkantoran dan langsung menuju kantor pengacara terkenal, yang dipimpin oleh Pak Arif.
Pak Arif, seorang pria paruh baya yang tenang dan berwibawa, menyambut Ana. Ana duduk dengan tenang dan setelah sedikit berbasa-basi, dengan suara yang dikontrol sepenuhnya, dia menceritakan semuanya. Dia menceritakan tentang pernikahan yang penuh tuduhan dan penyiksaan yang dia tunjukkan melalui foto dan video saat Enzi menyiksanya, pemaksaan yang terjadi, hingga penghinaan atas kehadiran Amel di rumah mereka dan provokasi yang dilakukan Amel tadi pagi, semua ada dalam rekaman yang dilakukan oleh Ana.
"Saya datang bukan untuk menggugat harta, Pak Arif," kata Ana, meletakkan berkas-berkas pernikahan dan bukti-bukti kekerasan di atas meja. "Saya hanya ingin mengakhiri ini secepatnya. Saya ingin berkas perceraian siap untuk ditandatangani oleh suami saya. Saya tidak bisa berada di bawah satu atap dengannya lebih lama lagi."
Pak Arif mendengarkan dengan serius, sesekali mencatat. Dia terkejut setelah melihat kebrutalan dan transparansi perlakuan Enzi kepada Ana .
"Bu Ana," kata Pak Arif, menutup buku catatannya. "Bukti-bukti ini sangat kuat. Pengadilan pasti akan menyetujui gugatan cerai Anda. Tapi prosesnya... untuk pengajuan dan persetujuan awal dari pengadilan agama, paling cepat kita membutuhkan waktu minimal satu minggu."
Wajah Ana terlihat tidak suka. Satu minggu. Itu adalah siksaan di bawah tatapan Amel dan Enzi yang meremehkan dan mengintimidasinya.
"Saya tidak punya waktu satu minggu, Pak Arif," desis Ana. "Saya harus segera pergi."
Ana meminta izin menggunakan telepon kantor untuk menghubungi Fabian. Tak lama kemudian, Fabian datang dan bergegas masuk ke kantor Pak Arif, wajahnya terlihat tegang.
"Ada apa, Ana? Aku bilang aku akan mengurus semuanya—"
"Aku sudah menceritakan semuanya kepada Pak Arif," potong Ana.
"Lalu? "
Pak Arif menjelaskan hambatan birokrasi, bahwa perceraian baru bisa diajukan dan diproses dalam seminggu. Fabian juga terlihat tidak suka dengan waktu yang ditentukan itu. Satu minggu terlalu lama.
"Satu minggu? Tidak bisa, Pak Arif. Ana dalam bahaya di rumah itu. Ana tidak bisa menunggu terlalu lama." Fabian melirik Ana, matanya penuh kekhawatiran.
Fabian berpikir cepat. Dia tahu cara kerja birokrasi. Pasti bisa dikerjakan dengan cepat.
"Pak Arif," kata Fabian, nadanya berubah menjadi sangat serius. "Saya mewakili Ana. Tolong, percepat berkas perceraiannya. Kami butuh berkas-berkas itu siap untuk ditandatangani Enzi dalam waktu dua hari. Untuk biaya jasa prioritas dan koneksi Anda. Bisakah Anda mengusahakannya? Aku akan membayar berapapun itu. "
Pak Arif, seorang profesional berkelas, terlihat tidak nyaman dengan penawaran suap terselubung itu. Namun, melihat urgensi di mata Fabian dan mengetahui kekejaman yang dialami Ana, etika profesionalnya sedikit goyah.
"Dua hari... itu hampir tidak mungkin, Pak Fabian," kata Pak Arif, berdeham. "Tapi... mengingat tingkat kekerasan, pemaksaan, batasan yang dialami Nyonya Ana, saya akan menggunakan koneksi tercepat saya. Saya akan memastikan berkas ini menjadi prioritas utama. Saya tidak janji, tapi saya akan usahakan."
Ana menghela napas lega. Dua hari. Itu jauh lebih baik daripada satu minggu.
"Terima kasih, Pak Arif, Fabian," kata Ana, berdiri. "Saya harus kembali."
Fabian mencoba menahan Ana dan mengajaknya makan siang, tetapi Ana menolaknya. "Maaf, aku tidak bisa, Bian. Aku harus kembali agar Enzi tidak curiga."
"Baiklah, segera hubungi aku jika terjadi sesuatu padamu, jangan sungkan. "
"Baiklah Fab. Terima kasih, aku tidak akan sungkan lagi. " jawab Ana dengan senyuman.
Ana meninggalkan kantor pengacara. Dia pergi ke toko buku besar di dekat sana, membeli beberapa majalah dan novel yang sedang populer. Kemudian, dia singgah sebentar di butik mewah, membeli beberapa gaun,dan membeli makanan juga camilan. Dia memastikan semua tanda terima terlihat jelas.
Setiap pembelian adalah lapisan penyamaran. Dia harus tampak seperti istri manja dan kekanakan yang hanya bisa melampiaskan amarah dengan berbelanja.
Ana tiba di rumah menjelang sore, sekitar pukul empat. Dia memarkir mobilnya dengan rapi. Saat memasuki rumah, suasana terasa hening seperti tidak ada orang di rumah itu.
Enzi sudah menunggunya di ruang tengah, sedang menikmati soda dan kacang. Amel duduk santai di sampingnya membaca majalah, senyum sinisnya terlihat jelas saat mendengar seseorang datang.
Ana berjalan masuk, menjatuhkan beberapa tas belanjaan mewah di lantai. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan memasangnya di atas kepala dan duduk santai di sofa bergabung dengan mereka seolah-olah merasa sangat lelah, namun mempertahankan ekspresi acuh tak acuh.
Melihat tumpukan tas belanjaan itu, wajah Enzi langsung mengeras dengan tatapan tajam.
"Dari mana saja kamu?" suara Enzi terdengar dingin dan mengancam, seperti interogasi.
Ana tidak menoleh. Dia berjalan menuju lemari kecil, mengambil vas kosong, dan meletakkannya di atas meja kopi.
"Kenapa? Apa aku harus membuat laporan harian untukmu sekarang?" jawab Ana, nadanya santai, tetapi penuh perlawanan. "Aku keluar. Aku membeli beberapa barang. Apa itu masalah besar?"
Amel menutup majalahnya dengan bunyi keras. "Tentu saja masalah, Ana. Kau membuat keributan di gerbang. Kau mengganggu ketenangan rumah ini."
Ana menoleh, senyum tipis, meremehkan. "Aku pergi ke tempat yang seharusnya kudatangi, Nona Amel. Aku membeli beberapa buku, dan ini, untuk meredakan stresku. Kau juga harus belajar, sebagai tamu, kau tidak punya hak untuk mencampuri urusan rumah tangga."
Wajah Enzi menjadi merah padam karena marah. Istrinya tidak menunjukkan ketakutan, melainkan penghinaan yang dingin.
Enzi berdiri. "Jawab aku! Kau pergi ke mana? Kau menemui siapa? Atau kau sudah berani menemui pria lain?!" tuduh Enzi, mencoba memicu rasa bersalah.
Ana mengambil tas belanjanya yang berisi buku. Matanya menatap Enzi dengan jijik.
"Sudah kukatakan, aku hanya keluar untuk belanjaa dan menghirup udara segar. Karens kamu sudah membatasi udara yang ku miliki." jawab Ana. "Dan aku tidak perlu memberitahumu. Urus saja tamumu, Enzi. Aku lelah."
Ana berbalik dan berjalan menaiki tangga. Enzi mengepalkan tinju, frustrasi. Semua usahanya untuk membuatnya merasa bersalah hanya dibalas dengan ketidakpedulian yang semakin menjauh. Dia tidak tahu, di balik penolakan dingin itu, Ana telah memulai proses legal untuk membebaskan dirinya dari sangkar emas Radeva.
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰