Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari gerbang ke-dua!
Langit merah di atas wilayah itu seolah dibasuh oleh darah para dewa kuno. Cahaya yang membakar cakrawala bergetar seperti napas naga tua yang belum mati sepenuhnya. Setiap hembusan angin membawa bau besi dan belerang, seakan dunia itu sendiri menguapkan amarahnya. Setelah dua jam berjalan, Lumo dan Qingwan akhirnya sampai di wilayah di mana aliran magma mengular seperti sungai hidup, memancar di sepanjang pandangan. Setiap riak panas membuat udara bergetar, menciptakan ilusi seolah dunia tengah meleleh di bawah matahari purba.
Langit di atas mereka semakin gelap, warna merahnya menebal menjadi pekat dan berdenyut seperti nadi. Dari celah batu, semburan magma menyembur sesekali, menari liar seperti ular api. Suhu di sekitar tempat itu tak lagi sekadar panas, melainkan menekan, seolah ingin memanggang roh mereka. Qingwan yang berjalan di belakang tampak pucat, bukan hanya karena hawa panas yang melilit, namun karena perasaan menusuk yang tak bisa dijelaskan. Suatu peringatan naluriah dari tubuh seorang kultivator, bahwa tempat ini bukan sekadar berbahaya, melainkan tabu.
Lumo yang berada di depan menatap sekeliling tanpa ekspresi, namun di balik tatapannya yang datar, kesadarannya meluas, menembus batu, debu, dan gelombang panas yang membutakan. Di arah timur, ia menangkap gambaran samar sebuah kawah besar yang bergemuruh hebat, magma di dalamnya seolah menari mengikuti irama jantung bumi. Lalu ia memalingkan pandangannya ke barat, di sana tampak tengkorak-tengkorak raksasa terpendam sebagian di dalam magma. Bentuknya bukan manusia. Tulang-tulang itu lebih besar, struktur rahangnya aneh, dan di beberapa di antaranya masih menempel potongan logam tua yang telah meleleh setengah.
Ketika ia mengedarkan kesadaran ke utara, matanya menyipit. Ada sesuatu di sana. Samar, seperti bayangan di balik tirai dunia. Tak bisa dijangkau oleh persepsi biasa. Tempat ini menyimpan rahasia dan kematian dalam satu napas. “Tempat ini sepertinya menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekedar magma,” pikirnya tenang, namun dalam hatinya muncul sedikit rasa waspada.
Ia menoleh sedikit, melihat Qingwan yang kini berjalan dengan langkah berat. Keringat mengalir di pelipisnya, tapi matanya tetap berusaha fokus. Sebelum Lumo sempat berbicara, suara berat bergemuruh di belakang mereka. Dari dalam genangan magma, muncul seekor harimau dengan tubuh yang seluruhnya diselimuti cairan merah pijar. Setiap langkahnya meninggalkan jejak kobaran api, dan matanya menyala seperti bara.
Lumo dengan santai mengangkat tangannya perlahan. Di ujung jarinya, muncul nyala api biru pucat yang bergetar tenang, namun di dalamnya tersembunyi kekuatan yang mengguncang. Ia menatap makhluk itu tanpa berkata, lalu menggerakkan jarinya. Dalam sekejap, api biru itu melesat, menembus udara panas seperti garis cahaya surgawi.
Tepat sebelum harimau magma itu sempat mengaum, nyala itu menghantam dadanya. Tubuh besar itu berhenti, lalu meleleh seketika menjadi genangan cairan merah, menguap menjadi kabut. Satu serangan, satu kehancuran.
Qingwan memandang dengan mata membulat. “Senior, responmu sangat cepat... dan api itu, kekuatannya luar biasa seperti sebelumnya.” Suaranya lembut, mengandung kekaguman tulus.
Lumo hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke utara. “Jangan teralihkan. Fokus ke depan. Kita harus menuju ke utara. Aku merasakan sesuatu di sana.”
Nada suaranya datar, tapi setiap kata membawa tekanan. Qingwan sedikit menunduk, menahan kecewanya karena tak mendapat tanggapan lebih. Ia hanya bisa mengangguk dan mengikuti di belakang.
Langkah mereka berlanjut melewati bebatuan yang retak dan meneteskan magma di sela-selanya. Udara semakin berat, namun Qi di tempat ini semakin kuat, berdenyut seperti jantung bumi yang hidup. Setelah beberapa saat, Lumo berhenti dan menatap ke cakrawala. “Ayo terbang. Kita percepat perjalanan.”
Qingwan mengangguk cepat, mengeluarkan pedang terbangnya. Keduanya melesat ke udara, meninggalkan jejak angin panas di belakang. Dari atas, dunia tampak seperti lautan magma hidup. Arusnya bergulung, dan di antara retakan bumi terlihat cahaya merah keemasan yang menandakan aliran inti bumi sedang bergejolak.
Lumo melayang dengan tangan di belakang punggung, matanya menyapu sekeliling. Ada kegelisahan samar di hatinya. “Entah kenapa... ada sesuatu yang tidak seimbang,” pikirnya.
Mereka terus melesat melewati kabut panas. Tiba-tiba, dari dalam lautan magma di bawah, muncul suara dentingan logam. Satu rantai merah tebal menembus udara, bergetar seperti makhluk hidup, langsung melesat ke arah mereka.
“Hati-hati,” kata Lumo cepat.
Qingwan segera memutar pedangnya dan melesat menghindar, nyaris tersambar rantai yang berdesis melewati tempat ia berdiri. Lumo juga menepis satu rantai dengan gerakan cepat, nyala biru dari tangannya membakar ujungnya, namun rantai itu hanya bergetar sebentar dan kembali masuk ke dalam magma.
Lumo menatap ke bawah dengan tatapan dingin. “Rantai spiritual kuno... tapi auranya rusak dan tidak stabil,” pikirnya. “Ayo, terbang lebih cepat.”
“Baik, senior!” Qingwan mengikuti, melesat di sampingnya.
Namun baru beberapa saat mereka menjauh, tanah di bawah mereka berguncang. Dari hamparan magma yang menggelegar, puluhan rantai merah pekat tiba-tiba melesat bersamaan, seperti ular api raksasa yang haus darah. Mereka berputar di udara, membentuk kurungan raksasa yang menutup dari segala arah.
Wajah Lumo tetap datar, tapi dengan cepat ia membuat keputusan. Lumo menggenggam tangan Qingwan dan melemparkannya tinggi ke langit. “Senior, apa yang kau lakukan?” seru Qingwan kaget.
Tak ada jawaban. Dalam satu kedipan, rantai-rantai itu menutup dan melilit seluruh tubuh Lumo. Suara dentingan logam menggema keras, lalu tubuhnya ditarik ke bawah, tenggelam ke dalam magma yang bergejolak.
“Senior!!!” Qingwan berteriak histeris, suaranya bergema di udara panas. Ia jatuh beberapa meter sebelum menstabilkan diri dengan pedang cadangan. Dari ketinggian, ia melihat magma berputar hebat, seolah menelan sosok Lumo sepenuhnya. Matanya bergetar.
“Ini salahku...” gumamnya lirih, air mata mengalir di pipinya. “Jika aku tidak lemah... Senior tidak akan—”
Namun kata-katanya terputus. Dari arah utara, angin panas tiba-tiba berubah. Muncul sosok tinggi berwarna merah, tubuhnya diselimuti aura jahat yang tebal. Dua tanduk hitam melengkung di kepalanya, dan setiap langkahnya membuat magma di bawah beriak.
“Iblis...” bisik Qingwan, suaranya hampir tak terdengar. “Bahkan lebih kuat dari yang sebelumnya.”
Tanpa pikir panjang ia segera melesat menjauh, tapi baru beberapa meter, sosok itu sudah muncul di depannya, seolah ruang terlipat. Aura menekannya begitu kuat, membuat pedang yang ia injak bergetar.
“Gadis manis,” suara iblis itu berat dan bergema. “Temanmu sudah mati di dalam magma. Datanglah padaku, jadilah pelayanku. Aku akan memberimu keselamatan.”
Qingwan menggertakkan giginya, mencoba merasakan kultivasi iblis itu, namun tekanan itu terlalu besar. Ia hanya bisa menilai dari auranya, setidaknya Core Formation tingkat tengah, setara dengan Senior Lumo. Tidak mungkin ia menang. Ia langsung memutar tubuh, berusaha kabur, namun sebelum sempat jauh, aura merah melilit tubuhnya. Qi-nya terkunci, tubuhnya tak bisa bergerak.
Iblis itu berjalan mendekat perlahan. “Jangan takut,” katanya lembut namun menakutkan. “Jika kau menolak, aku akan memaksa membuatmu tunduk.”
Qingwan menatapnya dengan mata bergetar. “Lebih baik aku mati,” katanya pelan tapi tegas.
Iblis itu tertawa rendah, mendekat, menghirup aroma udara di leher Qingwan. “Aroma ini... lembut, berbeda dari para manusia yang pernah kutemui. Kau istimewa gadis manis.” katanya sambil menikmati aroma yang ia hirup.
Kemudian iblis itu menyeringai, lalu lidah hitamnya terjulur mendekati wajah Qingwan. Qingwan hanya bisa meneteskan air mata, ia berusaha meledakkan diri, namun usahanya sia sia, karena ia tidak bisa menggunakan Qi. Lidah iblis itu semakin mendekati wajah Qingwan.
Namun saat itu, tiba-tiba dari tempat Lumo terhisap, magma menjadi bergetar hebat. Suara ledakan dari bawahnya membuat udara bergetar. Magma berputar liar. Dari dalam cahaya biru pucat meledak ke langit.
Pedang hitam keluar dari dalam magma, diikuti sosok yang melesat cepat bagai kilat. Nyala biru di sekitarnya menari seperti roh surgawi. Iblis itu menoleh kaget, tapi tak sempat bereaksi. Lumo dengan cepat menarik Qingwan di pelukan nya, kemudian menebas leher iblis itu, dalam satu tebasan ringan, leher iblis itupun terpisah bersih.
“Pedang Sunyi,” suara Lumo dingin, datar, penuh tekanan.
Tubuh iblis itu bergetar, Matanya membelalak kaget. “Kau... bagaimana bisa....” suaranya terhenti ketika tubuhnya retak seperti kaca dan berubah menjadi debu.
Lumo menatap abu itu dengan ekspresi acuh tak acuh. lalu ia menatap Qingwan sejenak. “Kau tidak apa-apa?” suaranya sedikit lembut.
Qingwan menghapus air matanya. “Tidak, senior...”
Lumo menarik napas perlahan. “Maaf. Aku membuatmu dalam bahaya.”
Qingwan menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang meminta maaf... aku hanya menjadi beban.”
Lumo menatap ke depan, matanya dingin seperti sebelum badai. “Jangan berpikir begitu. Aku yang memutuskan kau untuk ikut, maka dari itu kau adalah tanggung jawabku.”
Qingwan menunduk, suaranya gemetar. “Terima kasih, senior.”
Lumo tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan ke arah utara, langkahnya tenang, namun di udara, tekanan Qi-nya membuat ruang di sekitarnya bergetar.
“Kolam petir neraka,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan roh purba. “Mari kita lihat... rahasia apa yang kau sembunyikan.”
"Ayo kita lanjutkan." kata Lumo santai.
Qingwan mengangguk mengikuti di belakang, napasnya masih berat, tapi matanya penuh tekad. Mereka melesat bersama ke arah cahaya merah keunguan di cakrawala.
Mereka melintasi magma yang mengalir bagaikan darah bumi yang mendidih. Suara gelegarnya menggema, memantul dari dinding kawah, menciptakan nyanyian purba yang seolah memanggil arwah para makhluk yang telah gugur ribuan tahun lalu.
Lumo melintas di atas lautan api itu tanpa perubahan raut. Tubuhnya melesat bagaikan bayangan biru di tengah merah yang bergejolak. Di bawah sana, seekor Harimau Magma melompat dari pusaran lava, tubuhnya menyala seperti arang hidup, matanya dua bara neraka. Dalam sekejap, Lumo mengangkat tangannya. Dari ujung jarinya, api biru muncul, menyala lembut namun membawa hawa kehancuran yang sunyi. Satu kilatan saja, dan tubuh Harimau itu meledak menjadi serpihan magma cair yang kembali menyatu dengan lautan panas di bawahnya.
Qingwan yang mengikuti dari belakang, menatap punggung Lumo yang kokoh. Ia tidak bicara. Namun di dalam dirinya bergema satu kalimat yang tidak sanggup ia ucapkan. Senior tidak terguncang sedikit pun, bahkan di tempat berbahaya dan tabu di seluruh benua Zhou.
Selama satu jam mereka terbang. Melewati sungai magma yang mengalir seperti naga merah, melewati tebing berasap yang setiap retakannya memuntahkan kobaran panas. Udara di sana bukan udara yang layak dihirup, namun mereka melaju tanpa ragu. Hingga akhirnya, tanah padat menyambut pijakan mereka.
Tempat itu sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Hutan yang terbentang di hadapan mereka menari pelan diterpa angin panas. Pohon-pohon di sana berwarna ungu dan biru tua, seolah akar-akar mereka menyerap warna dari kegelapan itu sendiri. Setiap daun memantulkan cahaya aneh, seperti permukaan batu giok yang retak.
Lumo berdiri di tengah hutan itu, matanya menyapu sekeliling. Ia dapat merasakan denyut samar di udara, sesuatu yang tidak berasal dari hutan biasa. Hutan ini mirip Hutan Tersesat di Biyou yang pernah aku lewati seribu tahun lalu, pikirnya. Namun yang ini lebih dalam... lebih berbahaya. Namun lamunannya segera buyar, ketika suara lembut Qingwan terdengar.
“Senior, lihat!” seru Qingwan pelan. Ia menunjuk ke sebuah jamur besar berwarna hijau yang tumbuh di dekat batang pohon. Jamur itu berdenyut seperti jantung, lalu perlahan merunduk, menelan seekor tikus magma yang melintas di depannya.
Cahaya dari jamur itu bergetar, lalu memudar.
Lumo menyipitkan mata. “Kau tahu tentang makhluk seperti itu?” tanyanya tanpa intonasi.
Qingwan menatapnya sejenak, lalu menunduk. “Aku pernah mendengar dari guruku... mungkin ini mirip Hutan Tangisan yang disebut dalam catatan kuno. Tapi tidak pernah kudengar jamur sebesar itu bisa bergerak.”
“Pantas saja,” gumam Lumo. ia kemudian teringat tentang hutan tangisan dan lima kultivator yang ia permainkan, dan yang paling ia ingat adalah ular raksasa, yang bahkan masih menjadi tanda tanya besar di dalam hatinya.
Tiba-tiba saja suasana mendadak berubah. Tanah di bawah mereka berguncang lembut, seperti napas makhluk besar yang terbangun. Sebelum salah satu sempat bereaksi, ribuan akar muncul dari bawah tanah. Bergerak cepat, melilit udara dan menyatu membentuk kurungan hidup yang menutup mereka rapat.
Kegelapan menelan pandangan. Suara gesekan akar terdengar seperti bisikan jiwa-jiwa yang sedang mengutuk. Qingwan menahan napas, dadanya berdebar cepat, namun ia menahan diri untuk tidak berteriak.
Kurungan itu menghisap energi spritual Lumo dan Qingwan dengan cepat. Namun Lumo tetap tenang, di tengah kegelapan itu, cahaya biru kecil menyala dari ujung jari Lumo. Api itu mengeluarkan panas dan dingin secara bersamaan, membuat akar di sekeliling mereka bergetar ketakutan.
“Tenanglah,” ucapnya datar. “Kita akan keluar dari sini.”
Qingwan hanya mengangguk. Api itu perlahan membesar, lalu dengan satu gerakan lembut dari tangan Lumo, nyala biru itu menembus akar. Seketika terdengar jeritan panjang dari dalam bumi. Suara itu bukan suara makhluk biasa, melainkan ratapan sesuatu yang hidup di antara akar dan tanah. Dalam hitungan detik, akar-akar itu terbakar menjadi abu, meninggalkan udara panas dan bau getir yang menggantung di udara.
Lumo menepuk pakaiannya, menyingkirkan abu yang menempel. Ia memandang tanah di bawah kakinya, lalu perlahan menundukkan tubuh, meletakkan telapak tangannya di permukaan tanah yang hangat. Api biru tipis melapisi tangannya, lalu meresap ke dalam bumi seperti air yang merembes ke pasir.
Di bawah sana, jauh di kedalaman, sesuatu menggeliat. Sebatang pohon raksasa yang sudah mengering, dengan wajah menyerupai manusia, membuka matanya. Matanya merah, dan dari mulutnya keluar desis tajam. Di hadapannya melayang sebuah bola kristal yang memperlihatkan bayangan Lumo di permukaan tanah.
“Bocah terkutuk,” geramnya. “Ia bukan sekadar manusia biasa. Bahkan api itu... bukan api yang berasal dari tempat ini.” Ia kemudian mengambil artefak segitiga dari akar yang melingkari tubuhnya, menghancurkannya dengan satu hentakan. Sebuah celah spasial langsung terbuka di hadapannya, memancarkan cahaya ungu gelap. Sebelum melangkah masuk, ia berbisik pelan, “Tuan harus tahu, seseorang mencoba menerobos wilayah Kolam Petir Neraka.”
Lalu tubuhnya menghilang, meninggalkan ruangan bawah tanah itu terbakar oleh api biru yang merayap cepat dan melahap segalanya hingga menjadi abu.
Lumo berdiri diam di atas tanah yang kini mulai berasap. Ia menyipitkan mata, napasnya perlahan. Hmm... Makhluk itu cepat juga melarikan diri, gumamnya dalam hati.
Kemudian ia berbalik, langkahnya tenang. “Ayo,” katanya ringan. “Kita cari gerbang kedua menuju Kolam Petir Neraka. Aku ingin tahu... kejutan apa yang akan menyambut kita di depan.”
Qingwan menatap punggungnya dan tersenyum kecil, meski matanya masih menyimpan sisa ketegangan. “Baik, senior.”
Mereka berjalan lagi. Di bawah langkah mereka, tanah berdenyut seakan hidup. Semakin jauh mereka melangkah, semakin pekat kabut ungu yang muncul, menelan bayangan mereka sedikit demi sedikit. Di kejauhan, terdengar suara samar, seperti seseorang sedang tertawa pelan di antara pepohonan.
Namun Lumo tidak berhenti. Ia melangkah seperti pejalan di senja hari, santai dan tenang, seakan segala bahaya di dunia ini hanyalah angin yang berdesir di telinganya.
Di atas langit merah yang koyak, seberkas petir biru menyambar, menandai arah utara. Kolam Petir Neraka menunggu.