Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Memungut Beban
Di dalam mobil mewah yang melaju tenang menembus jalanan malam, suasana terasa remang namun hangat oleh cahaya lampu jalan yang masuk dari jendela. Setelah berbicara cukup panjang dengan Dian, kini Alaska dan Jeff berada dalam perjalanan menuju mansion Arnolda. Mesin mobil berdengung pelan, stabil, sementara udara di dalam mobil dipenuhi aroma kulit jok berkualitas tinggi.
Alaska melirik ke sisi kanannya. Di sana, Arum sudah tertidur lelap, tubuh mungilnya miring dan bersandar pada pintu mobil. Rambut panjangnya jatuh berantakan, beberapa helaian menutupi pipinya yang pucat setelah malam panjang yang melelahkan. Entah bagaimana gadis itu bisa bekerja di club malam jika jam dua dini hari saja dia sudah tidak kuat menahan kantuk. Alaska menghela napas panjang, mengusap wajahnya sendiri sambil merasakan letih yang berbeda letih bukan karena fisik, tapi karena kebingungan yang mulai menumpuk.
Ya, dia memang sudah menyelesaikan masalah Dian dan urusan lain yang ikut terseret, tetapi satu masalah baru justru menunggu di depan mata. Masalah bernama *mommy*.
“Aduh… arghhh, sial. Aku melupakan mommy. Bagaimana kalau dia bertanya?” keluh Alaska, frustrasi pada dirinya sendiri. Nada suaranya rendah namun penuh tekanan.
Jeff yang sejak tadi menyetir dengan sikap profesional melirik lewat kaca spion. “Katakan saja kalau nona Arum adalah pelayan pribadi Anda di mansion, Tuan. Lagi pula, tur keliling dunia Tuan dan Nyonya Besar masih lama. Bahkan sekarang mereka sedang di Italia sebelum melanjutkan tur berikutnya,” jelas Jeff dengan tenang, seperti seorang penasihat yang sudah hafal sifat majikannya.
Memang benar. Bukan hanya Clara dan Axel yang sedang berlibur mewah, tetapi juga Rere, Varo, Reno, dan Anggun. Mereka semua sudah merencanakan tur itu jauh-jauh hari. Uang mereka tidak akan habis meski keliling dunia berkali-kali. Mereka akan menikmati liburan panjang di usia dewasa yang mapan, setelah sebelumnya menghabiskan masa muda dengan bekerja keras. Sekarang, waktunya mereka bersenang-senang.
“Kau benar… mereka tidak akan balik secepat itu.” Alaska memijat pelipisnya, tetapi detik berikutnya dia kembali mencibir dirinya sendiri.
“Tapi kenapa aku malah refleks membantu gadis ini? Aku malah memungut seekor beban di jalan.”
Jeff menahan tawa. Dalam hatinya, ia bergumam, *‘Ya begitulah Anda, Tuan. Bertindak dulu, berpikirnya nanti. Mungkin karena Anda peduli pada nona Arum.’*
Sebelumnya Jeff memang diminta mencari informasi tentang Arum, dan ia sudah meneruskan laporan itu kepada Sadam. Namun karena ada beberapa urusan lebih penting, Sadam baru akan mengurusnya besok. Ironisnya, gadis itu justru bertemu langsung dengan Alaska dan kawan-kawan di club malam seolah garis takdir mengatur semuanya tanpa perlu dicari.
“Pftt… lihat saja. Kau sudah masuk rumahku. Aku akan balas dendam,” ucap Alaska sambil tersenyum tipis, melirik Arum yang masih tertidur pulas tanpa tahu apa-apa.
Akhirnya mobil memasuki area mansion Arnolda. Bangunan megah itu berdiri anggun di tengah halaman luas dengan taman tertata rapi. Lampu-lampu taman menyala lembut, memberi suasana malam yang elegan. Karena besok adalah weekend, Alaska berniat beristirahat lebih lama tapi sebelum itu, dia harus membawa gadis ini masuk.
Dia coba mengguncang bahu Arum pelan.
“Bocah. Bangun. Hei!” kesalnya, namun Arum tetap tidak bergerak.
“Tuan, biar saya bantu angkat nona Arum ke atas,” ujar Jeff sopan.
Jeff membuka pintu samping dan mendekat, siap menggendong Arum. Namun Alaska langsung berdiri cepat dan mendorong Jeff ke belakang, membuat pria itu terhuyung dan menatapnya bingung.
“Ehem… biar aku saja. Kau suruh bibi menyiapkan kamar tamu yang di atas. Biar lebih cepat,” ucap Alaska tanpa ekspresi.
“Baik, Tuan,” sahut Jeff sambil menahan kebingungan.
Padahal alasan sebenarnya bukan “biar cepat”melainkan karena Alaska tidak suka melihat Arum berada dalam pelukan pria lain. Dengan sangat hati-hati, ia mengangkat Arum ala bridle style. Tubuh gadis itu ringan, tapi Alaska pura-pura kesal.
“Kau sangat berat. Apa yang kau makan? Seperti babi,” gumamnya kesal padahal jelas itu hanya alasan.
Helaian rambut panjang Arum menyapu pipinya, membuat wajahnya yang tertidur terlihat damai.
“Tuan, kamar tamu sudah siap,” ucap bibi yang menunggu di depan pintu mansion.
Alaska mengangguk, melangkah masuk dan menuju lift. Tangga terlalu melelahkan kalau harus menggendong gadis itu sampai lantai dua.
Jeff mengantar sampai depan pintu kamar tamu. “Tuan, saya balik dulu.”
“Baiklah Jeff. Terima kasih atas pekerjaanmu.”
Jeff sempat mengerutkan kening. “Tumben banget bilang makasih…” gumamnya sambil berjalan pergi.
Alaska menurunkan Arum perlahan ke atas kasur, memastikan kepala gadis itu tidak terbentur. Dia berdiri sejenak, memandangi wajah itu. “Bagaimana kau bisa bertahan di tempat seperti itu selama sebulan?” bisiknya lirih. Luka yang Arum sembunyikan belum ia ketahui. Jika dia tahu bahwa gadis itu sebenarnya diusir, dia pasti akan menemukan Arum lebih cepat.
“Tidurlah yang nyenyak. Ketika kau bangun, gantian aku yang akan mengerjaimu,” ucapnya sambil tersenyum kecil sebelum keluar dari kamar.
Dia berjalan ke kamarnya yang berada beberapa pintu dari kamar tamu. Susunan kamar di lantai dua selalu tetap: kamar tamu, kamar Alisa, kamar Alaska, dan terakhir kamar orang tua mereka. Walaupun Alisa tidak tinggal di mansion lagi, kamarnya selalu dirawat untuk berjaga-jaga jika ia pulang bersama suaminya.
Masuk ke kamar, Alaska duduk di ranjangnya dan mengambil ponsel. Dia menekan kontak bernama “Baginda Ratu”.
Panggilan diangkat dalam hitungan detik.
“Astaga, Alaska? Apa ini benar-benar kau yang menelpon? Apa kau tidak demam? Apa kau sakit sayang? Tumben sekali kau menelpon Mommy duluan?” Clara langsung menembak dengan suara cerewetnya.
“Mommy, jangan berlebihan. Aku kan anak Mommy juga.”
“Ya siapa bilang kau anak tetangga? Tapi biasanya kau tidak pernah nyariin Mommy. Selalu nyariin Daddy saja, huh. Mommy iri. Ada apa memangnya?” tanya Clara bingung.
Alaska tidak langsung menjawab. Mommy-nya memang heboh seperti biasa. Hubungannya dengan Axel memang dekat karena mereka tipe yang sama, sementara Clara dan Alisa meski bukan ibu dan anak kandung mirip sekali sifat cerewetnya.
“Aku hanya rindu Mommy. Bagaimana perjalanannya? Kalian sekarang di mana?” tanya Alaska.
“Mommy belum pergi, sayang. Mau ke tempat Tante Anggun dan Om Reno dulu. Besok baru Tante Rere dan Om Varo datang bersama Dean. Apa kau bertemu dengan Dean?”
“Dean?” gumam Alaska.
Detik berikutnya, matanya membesar. “Astaga, iya… Dean,” ucapnya sambil garuk kepala karena baru ingat bahwa ia meninggalkan teman-temannya di club.
“Kenapa? Ada apa? Semua baik-baik saja?” tanya Clara panik.
“Semua baik-baik saja, Mommy. Aku bertemu Tuan Alferoz itu. Oh, jangan lupa menelpon Alisa. Gadis itu pasti menangis kalau tidak dapat kabar dari Mommy.”
“Ya Mommy tahu, sayang. Yang sopan ngomongnya sama kakakmu. Tidak pernah panggil ‘kak’, selalu panggil nama!”
“Ya ya ya, baiklah Mommyku sayang…”
Halo reader, jangan lupa tinggalkan like setelah membaca ya. Dukungan kecilmu sangat berarti untuk author!