Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta tolong
Motor Rora melaju kencang menembus jalanan malam. Rami yang dibonceng tampak tegang, kedua tangannya mencengkeram erat tubuh Rora. Setelah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di rumah Fandi.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari menuju gerbang.
“Pak! Tolong, pak!” teriak Rora, napasnya tersengal.
“Pak, buka pintunya! Cepat!” Rami ikut berteriak panik.
Dari balkon lantai dua, Fandi mendengar suara gaduh itu dan menoleh ke bawah dengan bingung. Ia segera turun. Sementara itu, satpam yang berjaga mendekat ke gerbang.
“Loh… kamu yang tadi, kan?” ujar satpam itu mengenali Rora.
“Iya, pak! Tuan Fandi ada?” suara Rora parau, hampir putus.
“Ada apa?” suara Fandi terdengar tiba-tiba dari belakang satpam. “Buka gerbangnya,” perintahnya cepat.
“Baik, Tuan.” Satpam itu segera membuka gerbang. Dua gadis itu langsung masuk, tubuh mereka tampak gemetar hebat.
“Kalian datang ke sini… lalu siapa yang jaga Epi?” tanya Fandi bingung.
“Justru itu… kami ke sini, Tuan. E–Epi…” Rora tak sanggup melanjutkan, napasnya kacau.
“Epi kenapa?” Fandi masih tenang—untuk beberapa detik.
“Epi diculik, Tuan.”
Kalimat itu keluar dari mulut Rami, karena Rora masih berusaha bernapas normal.
“Apa?!” Fandi terbelalak.
“Ada apa, Fan?” Alfin muncul dari dalam rumah, diikuti Kei.
“Epi diculik,” jawab Fandi cepat.
“Hah? Diculik? Baru aja kita anter pulang tadi!” seru Kei tak percaya.
“Maksudnya apa? Kok bisa? Siapa pelakunya?” Alfin menimpali cepat.
Rami mulai menjelaskan dengan suara gemetar namun panjang, seolah seluruh kejadian baru saja terulang di kepalanya.
“Saat itu aku keluar dari kamar Epi mau ambil ponsel, soalnya mau pesan taksi. Epi belum sadar… jadi kami rencana mau bawa ke rumah sakit. Tapi sebelum aku ambil ponsel, pintu depan sudah digedor-gedor keras. Aku dan Rora takut, jadi kami masuk kamar Epi dan kunci pintunya. Tapi nggak lama… pintu itu didobrak. Ada lima orang, besar-besar. Kami coba tahan Epi biar nggak dibawa, tapi kami didorong gitu aja…”
Kei menahan napas.
“Tidak ada yang mereka katakan? Uang tebusan? Ancaman? Apa pun?”
“Ada,” jawab Rora dengan suara pecah. “Mereka bilang kalau mau Epi selamat… suruh Fandi datang ke Gedung Walet, Ruko B, Wilayah A. Kami nggak tahu Fandi yang mana. Tapi… tolong bantu kami. Polisi pasti sulit bantu orang kayak kami. Kami takut Epi… kami takut dia…”
Rora menangkupkan tangannya, memohon dengan mata merah basah.
Kei menoleh ke Fandi. “Fan, maksudnya ini apa? Fandi yang dimaksud itu kamu? Atau ada orang lain?”
“Kami juga bingung,” tambah Rami cepat. “Kami cuma kenal Tuan Fandi. Nggak ada Fandi lain.”
Alfin mengernyit. “Apa cuma itu yang mereka bilang?”
“Oh, iya!” Rami tiba-tiba teringat. “Mereka juga bilang… ini perintah Angga Wijaya.”
“Angga Wijaya?” Alfin tercengang. “Bukannya dia anaknya Suryo Wijaya?”
Kei mengumpat pelan. “Gimana dia tahu tentang Epi? Apa dia udah ngintai dari awal?”
Tatapan Fandi berubah dingin, rahangnya mengeras. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan cepat menuju mobil.
“Aku harus ke sana,” katanya dengan nada yang tak bisa dibantah.
“Aku ikut, Fan!” seru Alfin sambil ikut berlari. Ia menoleh cepat ke arah rora dan rami.
“Kalian berdua jangan ke mana-mana! Masuk ke dalam rumah—tunggu kami, jangan pulang dulu!”
Ia langsung masuk ke mobil Fandi, Kei pun menyusul. Dalam hitungan detik, mesin meraung dan mobil itu melesat keluar halaman.
Rora dan Rami hanya berdiri terpaku—masih gemetar, masih bingung, masih belum mampu memproses semuanya.
Seorang security segera menghampiri mereka.
“Kalian masuk ke ruang tamu dulu. Lebih aman di dalam.”
Rora mengangguk cepat. “Iya, Pak… ayok, Ram.”
Keduanya masuk. Di ruang tamu yang luas, sunyi, dan dingin itu, mereka duduk dengan tubuh masih bergetar. Seorang pelayan perempuan datang membawa minuman hangat dan camilan.
“Silakan diminum, Nona,” ucapnya sopan.
“Terima kasih, Mbak…” jawab mereka hampir bersamaan.
Rora memegang gelasnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri.
“Akhirnya… aku bisa napas juga. Tapi aku masih takut, Ram. Ya Allah, epi gimana?”
Rami menatap gelasnya. “Aku juga khawatir… apalagi dia belum sembuh. Wajahnya tadi pucat banget… semoga dia baik-baik saja.”
“Aamiin,” bisik mereka bersamaan.
Gedung Walet — Ruko B, Wilayah A
Tawa Vincent menggema di ruangan gelap itu.
“Hahahaha… kerja bagus, Bara.”
“Tentu saja, Tuan. Selama ada uang, apa sih yang tidak bisa kami lakukan,” jawab Bara dengan senyum bengis.
Vincent melemparkan koper. “Ini bayaranmu. Pergi sekarang.”
Bara menerima koper itu dengan tatapan penuh puas.
“Terima kasih, Tuan Vincent, Tuan Mahawira. Kalau ada tugas lagi, tinggal panggil saja.”
“Pasti,” jawab Vincent datar.
Bara dan anak-anak buahnya segera pergi. Pintu ruko tertutup—meninggalkan hanya dua pria dan seorang gadis tak berdaya di ruangan itu.
Mahawira menatap Epi yang masih pingsan di kursi, wajahnya pucat, nafasnya pelan.
“Jadi… apa rencana kita? Mau diapakan dia? Jangan bilang cuma didiamkan begini.”
Vincent tersenyum tipis—senyum yang tidak membawa kebaikan.
“Tentu saja tidak. Kita perlu… sedikit ‘sentuhan’ agar pesan kita lebih panas.”
Ia mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Suara klik saat pisau terbuka membuat Mahawira terbelalak.
“Kau… mau membunuh dia?”
“Tidak,” jawab Vincent sambil berjalan mendekati Epi. “Hanya… melukai.”
Tangan Vincent melayang cepat.
PLAak! PLAk!
PLAAK! PLAKK!
Empat tamparan keras meletup di udara, memantul dari dinding ruko yang kosong.
Epi tersentak bangun—mata terbuka, tapi pandangannya buram, berputar. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar.
Vincent menahan dagunya.
“Sreet—sreet!”
“Arghh!” rintih Epi, tubuhnya menegang saat perih menyambar lengan kirinya.
Dua tamparan lagi menghantam pipinya.
PLAK! PLAAK!
Air mata mengalir di sudut matanya—bukan hanya karena sakit, tapi karena tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Pandangan semakin kabur, suara semakin jauh, dunia seperti berputar.
Nafasnya terputus-putus… dan ketakutannya memenuhi seluruh ruangan.
Dan—
TUSHH— CURR…
Rasa dingin menyambar lebih cepat dari rasa sakitnya.
Vincent menusukkan pisau itu ke perut Epi—tidak terlalu dalam, tapi cukup untuk membuat darah mengalir dan tubuhnya kejang menahan nyeri.
Ia menarik pisau itu kembali. Darah menetes pelan dari ujung bilahnya.
Vincent tersenyum puas, wajahnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Ia berbalik menatap Mahawira, yang sejak tadi hanya terpaku, wajahnya pucat.
“Ayo. Kita pulang. Sebentar lagi Fandi akan datang,” kata Vincent santai, seolah tidak baru saja melukai seseorang.
Mahawira menelan ludah. “Kau… menusuknya. Kalau dia mati?”
Vincent menatapnya tajam.
“Jangan sok peduli. Saat aku membunuh Hans, apa kau merasa kasihan? Tidak kan? Jadi berhenti bertingkah seolah kau punya hati.”
Mahawira langsung terdiam. Tidak ada jawaban. Tidak ada keberanian untuk mendebat.
“Cepat. Kalau Fandi keburu datang, kita akan repot,” ujar Vincent sambil melangkah keluar.
Keduanya naik ke mobil.
BRUUMMM—
Mobil itu meluncur cepat meninggalkan ruko gelap yang kini hanya menyisakan Epi dan keheningan mencekam.
Saat mobil melaju, Vincent mendengus kecil.
“Lihat itu… mobil anak si Atha.”
Ia tersenyum sinis, mata menatap lewat kaca spion.
“Apa dia benar-benar percaya ini ulah anak Suryo?” tanya Mahawira dengan suara pelan, penuh keraguan.
“Tentu saja,” jawab Vincent mantap. “Besok pagi, kita harus pergi dari negara ini. Setelah ini, perang antara keluarga mereka akan dimulai.”
Mahawira mengerutkan kening. “Tapi seberapa penting gadis itu? Kalau Fandi tidak peduli? Tidak datang?”
Vincent tertawa rendah—dingin.
“Kau ini bodoh, ya? Mereka itu tidak akan diam jika ada kejahatan dan juga aku tidak tau apa hubungannya dengan gadis itu intinya fandi tentu tidak bisa diam ketika ada yang disakiti. Penculikan—penyiksaan—itu provokasi. Mereka pasti bergerak.”
Ia menatap ke depan, mata penuh ambisi.
“Dan Fandi… darah Atha mengalir di tubuhnya. Mau atau tidak, sifat itu akan bangkit.”
Mahawira hanya mengangguk, tidak berani berkomentar lagi.
Sementara itu — Ruko Walet
Epi terbaring lemah di lantai, tubuhnya hampir tidak bergerak.
Darah merembes dari perutnya—hangat, lengket, membuat napasnya semakin pendek.
Bibirnya pecah, ada garis darah kering di sudutnya. Keringat dingin membasahi dahinya. Tubuhnya bergetar pelan—menahan sakit yang datang seperti gelombang tanpa henti.
Matanya terbuka sedikit, tapi dunia tampak berputar.
“Ah…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
“Apakah… ini akhir hidupku…?”
Pandangan yang semula kabur mulai menghitam di tepi-tepinya.
Napasnya terengah—semakin pelan… dan pelan…
Sampai titik di mana suara dan cahaya mulai menjauh, tenggelam perlahan dalam kegelapan.