NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 - Antara Cahaya dan Darah

YArun’ru Beta segera berjongkok di samping tubuh Raka yang terguling di lantai goa.

Uap tipis keluar dari napasnya, membaur dengan udara lembap di sekeliling mereka.

Dahi Raka terasa panas sekali saat disentuh.

“Kau terbakar dari dalam,” gumam Yarun’ru pelan, matanya memandangi wajah Raka yang pucat.

Salah satu tentara Lakantara mendekat dengan raut khawatir.

“Ini bukan ulah penghuni Gunung Barumba.

Kami tahu betul, mereka tak akan menyentuh tamu asing.

Kalau pun melanggar batas, hukum mereka sederhana kepala akan dihantam sampai pingsan.

Tapi ini lain. Tubuhnya panas, seolah tubuhnya melawan dirinya sendiri, seolah ingin membakar isi napasnya sendiri.”

Yarun’ru menatap sekeliling, lalu berteriak ke arah lorong goa yang gelap:

“Siapa pun kalian! Tunjukkan diri! Jangan bermain dengan penyakit manusia!” teriak Yarun'ru Beta berharap ada yang mendengar dan memberi pertolongan.

Suara gemanya memantul, lalu lenyap ditelan lembabnya udara.

Tak ada jawaban. Hanya suara air menetes dari stalaktit dan gemerisik akar di dinding.

Ia menatap Raka lagi.

Dadanya naik-turun cepat, keringatnya membasahi pelipis.

Yarun’ru melepas pakaian serat hijau, lalu menutupi tubuh Raka untuk menahan hawa lembab yang menusuk tulang.

Para tentara menatap tubuh pemuda itu dengan kaget.

Cahaya jamur kehijauan menyorot bekas-bekas panjang di punggung dan dadanya seperti luka cambuk yang telah lama sembuh, tapi meninggalkan guratan dalam di kulit.

Salah satu tentara mendekat, suaranya bergetar antara heran dan iba.

“Luka-luka itu… bukan dari perang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”

Yarun’ru menunduk sesaat sebelum menjawab, suaranya berat.

“Ini bukan luka medan perang,” katanya pelan.

“Ini hukuman dari ayahku sendiri… sejak aku masih anak-anak. Karena aku mendengar kebenaran dari seorang tahanan bernama Rasi.”

Goa mendadak senyap.

Udara terasa makin dingin dan lembab, hanya tersisa napas mereka yang berat.

Tentara lain menatapnya tajam, mencoba mengenali sosok di depannya.

“Kau… bukan orang biasa,” katanya ragu. “Dari mana asal kalian?”

Yarun’ru menatap mereka satu per satu, lalu menjawab dengan tenang:

“Aku Yarun’ru Beta, dari Lakantara.”

“Dan pemuda yang terbaring itu, Raka, datang dari barat Gunung Salak… bekas wilayah Suralah yang telah musnah.”

Beberapa tentara saling berpandangan, wajah mereka berubah tegang.

Nama Lakantara dan Suralah bukan nama asing bagi mereka dua wilayah yang pernah terlibat perang besar.

Salah satu dari mereka menggumam pelan, seolah tak percaya:

“Lakantara… dan Suralah?

Dua nama yang mestinya tak pernah lagi bertemu di dunia ini…”

Beberapa tentara masih menatap Yarun’ru dengan raut bingung.

Namun salah satu dari mereka, pria tua berambut kelabu yang duduk bersandar di batu, tampak berpikir keras.

Bibirnya bergumam lirih, mengulang kata yang baru ia dengar.

“Yarun…’ru?”

Matanya perlahan membesar.

Ia menatap pemuda di depannya dengan pandangan baru bukan lagi sekadar orang asing.

“’Ru’…” bisiknya lirih, seolah menemukan potongan teka-teki lama. “Gelar untuk darah penguasa Lakantara…”

Tentara-tentara lain tertegun, saling menoleh.

Ucapan itu seolah menyambar udara lembap di goa, membuat suasana mendadak berubah.

“Tunggu dulu,” kata salah satu tentara dengan nada tak percaya.

“Kau bilang tadi… Yarun’ru Beta?”

“Berarti… kau putra Yarun, Penguasa Lakantara?”

Yarun’ru terdiam.

Matanya memantulkan cahaya jamur hijau pucat, dan di wajahnya tak ada kesombongan, hanya kelelahan.

“Begitulah adanya,” ujarnya pelan. “Meski gelar itu tak lagi berarti bagiku.”

Keheningan menggantung panjang.

Para tentara Lakantara menunduk perlahan, baru kini menyadari siapa yang berdiri di depan mereka.

Mereka pernah mendengar nama Penguasa Yarun pemimpin keras, disegani, namun dikenal tanpa ampun bagi yang melanggar aturan kerajaan.

Salah satu tentara menelan ludah.

“Kami… kami tak menyangka,” katanya gemetar.

“Ternyata putra Penguasa Lakantara berada di tempat ini bersama kami…”

Yarun’ru hanya menatap mereka sebentar, lalu menoleh lagi ke arah Raka yang masih terbaring.

“Aku bukan penguasa,” katanya lirih. “Setiap langkahku di dunia luar.. adalah cara untuk membayar hutang itu”

Yarun’ru Beta terdiam lama, seolah menimbang sesuatu yang sudah lama tertahan di dadanya.

Suara tetesan air dari stalaktit menjadi satu-satunya bunyi di goa itu sebelum ia akhirnya membuka suara.

“Kalian ingin tahu kenapa aku di sini?” tanyanya pelan, namun nadanya tajam.

“Karena aku sudah kabur dari Lakantara sejak siklus ke-10.”

Beberapa tentara menatapnya kaget.

Tak ada yang berani memotong kata-katanya.

“Aku muak,” lanjut Yarun’ru, matanya menatap kosong ke dinding batu yang berlumut.

“Muak melihat terlalu banyak wajah yang tersenyum, terlalu banyak kata sopan, terlalu banyak kebaikan palsu. Semua topeng itu dibuat karena satu hal karena gelar ‘ru’.”

Ia mengepalkan tangan, urat di lengannya menegang.

“Di balik topeng itu, mereka busuk. Mereka menganggap manusia di luar tembok Lakantara bukan apa-apa hanya mainan.

Diperdaya, ditindas, dibodohi, bahkan dibunuh… tanpa penyesalan sedikit pun.”

Yarun’ru menarik napas berat, matanya kini menatap Raka yang terbaring lemah.

“Mereka bilang Lakantara adalah pusat peradaban, tapi yang kulihat hanyalah kerajaan yang kehilangan jiwanya. Tempat di mana gelar lebih berharga dari hati, dan kehormatan lebih penting dari kebenaran.”

Sunyi menyelimuti lorong goa.

Para tentara Lakantara menunduk, tak berani menatapnya.

Kata-kata Yarun’ru menusuk lebih dalam dari cambuk apa pun karena di antara mereka, tak sedikit yang dulu ikut menjaga tembok yang sama, dengan kesombongan yang sama.

Bagi mereka yang lahir di dalam tembok Lakantara, hidup adalah kemewahan yang dianggap wajar.

Pendidikan tinggi, pertanian yang makmur, dan tatanan sosial yang teratur membuat setiap warga merasa istimewa seolah dunia di luar sana hanyalah bayangan masa lalu yang kotor dan tidak layak disinggahi.

Orang-orang luar tembok disebut rakyat jelata: tubuh mereka dianggap bau, tangan mereka kasar, dan akal mereka bodoh.

Begitulah doktrin yang diwariskan turun-temurun di Lakantara, hingga banyak yang lupa bahwa darah manusia tetap sama warnanya di mana pun ia mengalir.

Di balik tembok Lakantara, manusia tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka adalah satu-satunya bangsa yang diberkahi kecerdasan sejati.

Mereka diajarkan sejak kecil bahwa dunia di luar tembok hanyalah tempat bagi manusia-manusia gagal—makhluk yang kehilangan arah, yang hidup tanpa aturan, tanpa cahaya pengetahuan.

Setiap tetes air, setiap butir tanah di Lakantara dianggap suci karena telah disentuh tangan Leluhur Agung.

Maka, menyentuh orang luar dianggap mencemarkan darah sendiri.

Mereka menyebut diri “penjaga keseimbangan dunia”, padahal di balik senyum sopan dan tutur halus, tersimpan kesombongan yang menolak melihat manusia lain sebagai setara.

Mungkin itu sebabnya, tak ada cahaya yang benar-benar murni di Lakantara karena terlalu sibuk menatap cermin, hingga lupa melihat dunia di luar bayangannya.

Tiga tentara yang mendengar ucapan itu saling berpandangan.

Salah satu dari mereka akhirnya angkat bicara, suaranya mantap namun ada nada bingung di dalamnya.

“Apa yang kau katakan itu… memang benar adanya.

Lakantara menjamin kemakmuran, kesejahteraan, dan keamanan bagi warganya.

Semua berkat Yarun Rahu Ama yang agung.”

Ia menatap lantai goa sesaat, lalu menambahkan dengan keyakinan yang nyaris seperti doa:

“Kami para tentara tidak pernah khawatir tentang keluarga yang kami tinggalkan di balik tembok.

Anak-anak yatim akan dirawat, istri yang ditinggal suaminya akan ditanggung oleh Ama yang agung.

Begitulah janji Lakantara… tempat kami lahir, tempat kami bersumpah untuk setia.”

    

Tiga tentara itu berdiri tegak, dada mereka membusung, seolah kata-kata Yarun’ru tadi menyinggung sesuatu yang sakral dalam hati mereka.

Salah satunya melangkah maju, lalu berbicara lantang, suaranya bergema di dinding goa.

“Kami, tentara Lakantara, telah diberi kekuatan senjata sakti,

tempaannya dari tambang dan timangnya dari bara yang menghitam di tangan.”

“Kami menjaga keamanan bagi seluruh warga Lakantara.

Para Sura memberi kemakmuran, dan Ama memberi kesejahteraan.”

“Ama kami yang agung, Yarun Rahu Ama, telah memberikan segalanya

makanan, minuman, dan kenyamanan yang tiada banding.”

“Kami, tentara Lakantara, siap memberikan darah dan keringat demi Yarun Rahu Ama yang agung.

Kami siap menyerahkan jiwa dan raga demi masa depan Lakantara.”

“Kami menyembah Yarun Rahu Ama

sebagai agamaku, sebagai cahayaku.

Siap kuberikan darah dan nyawa untuk Ama-ku yang agung.”

Suara mereka bergetar, tapi penuh keyakinan, hingga gema kata-kata itu memenuhi lorong batu.

Lalu salah satu dari mereka menatap Yarun’ru dengan tatapan tajam namun penuh harap.

“Kau, Yarun’ru Beta… putra Yarun Rahu Ama.”

“Katakan pada kami apakah warga Lakantara tidak aman? Tidak bahagia?”

“Lihatlah sendiri, bahkan orang tua yang renta masih ditanggung oleh Ama kami.”

“Belum pernah ada Ama sebelumnya yang sebaik beliau.

Ama kami saat ini adalah yang terbaik dari kerajaan mana pun di dunia ini!”

Salah satu tentara maju selangkah, suaranya menggema lantang di antara dinding goa.

“Apakah kau mampu menjadi seperti ayahmu Yarun Rahu Ama yang agung?

Darahnya mengalir di nadimu, namun bisakah kau memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keamanan seperti beliau?”

“Bukankah kau sendiri menyaksikan kebenaran itu di dalam Lakantara?”

Kata-kata itu menampar Yarun’ru Beta lebih keras dari cambuk apa pun.

Matanya menyala, tangannya mengepal kuat, urat di lehernya menegang.

Ia berdiri perlahan, langkahnya berat namun penuh amarah yang ditahan.

Tangannya terangkat, menunjuk para tentara yang kini memandangnya tanpa rasa takut.

“Kalian…” suaranya bergetar, di antara napas yang berat.

“Kalian berbicara tentang kebenaran, tapi kebenaran macam apa yang hanya hidup di balik tembok dan menindas yang lemah?”

Namun, kalimat itu terhenti di tenggorokannya.

Tatapannya menurun, perlahan tangannya jatuh di sisi tubuhnya.

Wajahnya menegang, tapi matanya tampak kehilangan cahaya.

Ia sadar ucapan tentara itu memang benar adanya.

Di dalam segala kebusukan yang ia benci, ayahnya memang telah membawa kemakmuran bagi rakyatnya.

Dan itu, mau tak mau, adalah fakta yang tak bisa ia sangkal.

Tanpa berkata lagi, Yarun’ru berbalik.

Ia menunduk, membopong tubuh Raka yang masih demam dengan hati-hati.

Langkahnya perlahan menjauh menuju lorong gelap, meninggalkan para tentara yang terdiam dalam bayangan cahaya jamur kehijauan.

Di antara gema langkahnya, hanya tersisa satu hal

benturan antara darah yang diwarisi dan hati yang menolak menjadi sama.

Setelah sampai di ruang tahanan yang mereka kurung sebelumnya untuk beristirahat, Yarun’ru menurunkan Raka perlahan.

Matanya tertuju pada dua ruas bambu yang terletak di dekat dinding.

Saat dibuka, aroma jahe merah segera menyebar memenuhi ruangan hangat, pedas, dan menenangkan.

Di dalamnya terdapat air jahe yang masih mengepul, dicampur madu, serta satu sisir pisang yang tampak baru dipetik.

Di sampingnya, terlipat selembar kain dari serat tanaman, kasar di tangan tapi terasa hangat bila diselimuti.

Yarun’ru tersenyum kecil entah siapa yang menaruhnya, tapi ia tak sempat memikirkan itu.

Dengan cepat ia menggelar kain serat itu di lantai batu, lalu melepas pakaian luarnya untuk dijadikan alas kepala bagi Raka.

Perlahan ia mengangkat kepala Raka dan menyuapkan seteguk air jahe madu ke bibirnya.

Sedikit demi sedikit, tubuh Raka yang menggigil mulai tenang.

Napasnya teratur, keningnya tak lagi sepanas tadi.

Yarun’ru menarik napas panjang, lalu duduk bersandar di dinding.

Ia memeluk lututnya, membiarkan pikirannya tenggelam dalam gema suara para tentara.

Untuk pertama kalinya, Yarun’ru Beta tak mampu menjawab bukan karena takut, tapi karena sebagian dari kata-kata itu memang benar.

Yarun'ru merasa lelah dan tertidur. Dalam tidurnya yang singkat, wajah Yarun’ru tampak tenang.

Tapi di dalam mimpinya, suara para tentara terus menggema antara kebanggaan dan luka yang tak bisa ia pilih.

Raka terlelap dalam tidur yang gelisah.

Namun di balik kelopak matanya, dunia lain terbuka terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Ia melihat daratan luas retak seperti kulit bumi yang terbelah.

Gunung-gunung raksasa runtuh, dan menelan lembah dan kota.

Seluruh benua tenggelam menjadi samudra,

hanya puncak gunung yang tersisa muncul seperti pulau kecil di lautan tak berujung.

Bahkan puncak tertinggi hanya cukup menampung segelintir manusia tak lebih dari sepuluh.

Langit memerah seperti darah,

petir menyambar tanpa suara, dan suara tangis manusia lenyap ditelan ombak.

Raka berdiri di atas air yang tak berpijak, menyaksikan langit dan bumi seolah sepakat memusnahkan seluruh kehidupan.

Tepat saat gelombang terakhir menggulungnya ke dalam pusaran besar,

Raka terbangun dengan napas tersengal.

Keringat dingin membasahi pelipisnya, matanya menatap langit-langit goa yang remang.

Ia terdiam, mencoba menenangkan diri,namun bayangan benua tenggelam itu masih menempel di pikirannya seperti peringatan yang belum selesai disampaikan.

“Apakah itu sekadar mimpi… atau pertanda?” gumamnya lirih.

Raka berdiri perlahan, perutnya terasa lapar setelah lama menggigil.

Ia melihat pisang di depannya, lalu memakannya dengan lahap.

Setiap gigitan dikunyah pelan, dan bijinya ia pisahkan satu per satu untuk disimpan di wadah kecil.

“Akan kutanam bijinya nanti,” gumamnya lirih, seolah tak ingin kehilangan harapan sekecil apapun.

Raka meminum air jahe merah madu dari wadah bambu.

Rasanya sudah tak panas lagi, tapi masih hangat di tenggorokan cukup untuk mengembalikan tenaga.

Ia menatap sekeliling.

Yarun’ru tak terlihat. Hanya cahaya jamur menerangi gelap dan lembab dinding gua yang menemani.

Tak lama kemudian, langkah berat terdengar mendekat.

Yarun’ru muncul kini mengenakan jirah lengkap yang tampak baru saja diasah. Raka terkejut; entah dari mana ia mendapatkannya.

“Barang kita telah kembali,”

kata Yarun’ru sambil menepuk pedang di pinggangnya.

“Termasuk milikmu, Raka.”

Raka menoleh, dan benar saja di sampingnya tergeletak barang-barang pribadinya, bahkan gelang akar yang sempat hilang kini telah kembali.

Keduanya saling pandang, bingung namun tak ingin banyak bicara.

Mungkin saja, pikir Raka, mereka diizinkan pergi.

Lorong gua di depan seolah memberi petunjuk kanan bercahaya oleh jamur terang yang di susun sepanjang lorong, sementara kiri tenggelam dalam gelap yang pekat.

Yarun’ru bercerita sambil menatap lorong di sinari cahaya jamur.

“Saat aku terbangun, semua barang kita sudah tergeletak di samping. Entah siapa yang meletakkannya. Seolah-olah… hukuman kita sudah selesai.”

Ia menarik napas dalam, masih terdengar heran.

“Aku sempat memeriksa lorong gua. Di ujungnya, sudah terbuka celah menuju luar. Tapi aku kembali lagi ke sini, karena belum ingin meninggalkan tempat ini tanpa memastikan keadaanmu, Raka.”

Raka hanya diam mendengarkan, menatap lorong kanan bercahaya jamur dan kiri gelap pekat.

Di antara keheningan itu, hanya suara tetes air dari langit-langit gua yang terdengar seperti waktu yang berdetak perlahan, menandakan bahwa perjalanan mereka belum benar-benar berakhir.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!