Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rapat kolongmerat
Drap! Drap! Drap!
Suara langkah menghantam air di dek.
Palu itu diayunkan — keras dan berat.
Wuuushhh!
Alfin menunduk, lalu melompat ke samping.
Bugh!
Palu itu menghantam lantai, menimbulkan percikan air tinggi.
Dengan cepat Alfin melompat maju, menahan palu musuh dengan kakinya, memutar tubuh ke belakang dan menghantam bahu lawan menggunakan siku.
Thap!
Tubuh besar itu oleng, dan dalam satu gerakan cepat — Sreettt! — Alfin memutar bilah pisaunya, menahan di leher musuh, lalu mendorongnya hingga jatuh keras ke lantai.
Dughh!
Ia menghela napas panjang, wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Bersihkan dek kanan,” ucapnya dingin kepada dua rekannya di belakang.
Pasukan bayangan itu bergerak cepat, menyapu sisa prajurit Ganendra yang masih bertahan di sisi kapal.
Benturan senjata kembali terdengar, lebih cepat, lebih keras.
Clang! Clang! Wusshh! Clang!
Dentuman demi dentuman memecah malam.
Di kejauhan, Fandi masih berdiri di tengah badai — diam, menatap laut yang bergolak.
Kilat menyambar lagi, dan sesaat, siluet tubuhnya tampak seperti patung baja di tengah angin.
Alfin menatapnya sekilas, lalu berbisik pelan,
“Semua sisi bersih. Tapi ini belum akhir.”
Kei yang baru tiba dari sisi lain, menjawab tanpa menatap,
“Kita hanya bayangan. Dan bayangan… belum pernah kalah di dalam gelap.”
Petir kembali menyambar.
Blaaar!
Gelombang besar menghantam kapal, membuat seluruh dek berguncang keras.
Namun pasukan Fandi berdiri tegak, menatap ke depan.
Api masih menyala di kejauhan.
Kapal baja besar itu kini tinggal puing yang perlahan tenggelam bersama malam.
Fandi berdiri di bibir dermaga, mantel hitamnya berkibar diterpa angin laut.
Hujan baru saja reda, hanya tersisa kabut tipis dan bau garam bercampur darah.
“Semua sudah?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar, tapi seluruh pasukan langsung menatap.
Seorang anggota pasukan mendekat dan menunduk, “Sudah, Tuan. Tak ada yang tersisa. Semua area bersih.”
Fandi mengangguk pelan.
Tatapannya tajam menyapu sisa kapal yang terbakar.
“Bakar seluruh kapal. Hapus semua jejak,” ucapnya datar.
Tanpa menunggu aba-aba, pasukan bergerak cepat.
Cairan bahan bakar disiram ke seluruh dek dan lambung kapal.
Beberapa detik kemudian—
Fwooshhh… Blaaaar!
Api menjalar cepat.
Warna oranye dari kobaran api memantul di wajah mereka.
Fandi menatapnya satu kali lagi… lalu berbalik.
“Pergi.”
Suara datarnya tegas dan tenang.
Pasukan itu mengikuti langkahnya, meninggalkan pelabuhan yang kini jadi lautan api.
Dalam hitungan menit, mereka semua menghilang ke dalam kegelapan malam.
Hanya ombak dan suara besi berderak yang tersisa.
⸻
Keesokan Harinya — Jakarta, Menara Dirgantara
Cahaya matahari menembus kaca besar gedung pencakar langit.
Kota terlihat hidup dan sibuk seperti biasa, seolah tak ada darah yang tumpah malam sebelumnya.
Di lantai 89, ruang kerja Fandi tampak rapi dan megah.
Dinding kaca memantulkan bayangan pria itu yang duduk santai di kursi kulit hitam, memandangi layar penuh grafik dan laporan.
Ia, Fandi Dirgantara — seorang triliuner, pemilik puluhan perusahaan di berbagai negara.
Tapi di balik tatapan tenangnya, tak ada yang tahu berapa banyak rahasia dan darah yang ia sembunyikan.
Di sisi meja kerjanya, dua meja lain berjejer: milik Kei dan Alfin.
Keduanya sibuk, sesekali menatap layar, kadang saling bertukar pandang tanpa bicara.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan pintu memecah keheningan.
Fandi menoleh sedikit.
“Masuk.” Suaranya datar, tenang.
Pintu terbuka perlahan.
Seorang wanita mengenakan setelan rapi masuk, menunduk sopan.
“Selamat siang, Tuan. Saya ingin melapor, Tuan Vincent ingin menemui Anda,” ucapnya hati-hati.
“Suruh masuk,” jawab Fandi singkat tanpa menoleh.
Wanita itu menunduk, “Baik, Tuan.”
Ia segera keluar, dan tak lama kemudian, pintu kembali terbuka.
Seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan jam tangan mewah melangkah masuk.
Wajahnya penuh senyum, tapi matanya menyimpan kesombongan yang halus.
“Selamat siang, Tuan Fandi Dirgantara. Apa saya boleh duduk?” ucapnya ramah.
Itu—Vincent, seorang konglomerat yang dikenal ambisius dan licik.
Fandi hanya menatap datar, tidak berdiri.
“Silakan duduk.”
Vincent duduk di sofa di depan Fandi, mengangkat satu kakinya ke atas lutut, menyalakan rokok, menghembuskan asapnya perlahan.
Kei dan Alfin langsung saling pandang.
Wajah mereka menegang, tidak menyukai sikap angkuh tamu itu.
“Lama tidak bertemu,” ucap Vincent dengan senyum lebar.
Ia melirik ke arah Kei dan Alfin yang berdiri di belakang Fandi.
“Masih setia dua orang ini menjaga Anda rupanya,” ujarnya santai, tapi ada nada sindiran di ujungnya.
Fandi tidak menjawab. Ia hanya menatap datar, satu tangan menekan dagu, satu lagi di sandaran kursi.
Suasana ruangan seketika sunyi.
Terdengar hanya suara pendingin udara yang berdesir pelan.
Vincent menarik napas panjang lalu mulai bicara.
“Saya langsung saja, Tuan Fandi. Saya dengar Anda pemilik lahan di lokasi H?”
Matanya menatap lurus ke Fandi.
“Jujur saja, saya ingin tempat itu. Saya akan membangun restoran besar di sana. Letaknya strategis sekali.”
Fandi masih diam.
Ia hanya menatap pria itu dengan mata yang tak bisa dibaca.
Setelah beberapa detik, ia bersuara.
“Lokasi itu akan saya bangun menjadi apartemen. Jadi tidak akan saya jual,” ucapnya tenang, tapi setiap katanya tajam.
Vincent terkekeh kecil.
“Ah… apartemen lagi? Bukankah di sekitar sana sudah ada dua—milik Tuan Susanto dan Tuan Stefan? Bukankah akan percuma?”
Fandi menoleh perlahan, menatap lurus ke matanya.
“Itu bukan urusan Anda. Pulanglah, Vincent. Saya tidak punya waktu membicarakan hal tidak penting.”
Nada suaranya tetap datar, tapi terasa dingin dan tegas.
Wajah Vincent berubah.
Senyumnya menghilang, berganti guratan kesal.
“Apakah Anda tahu siapa saya?” suaranya meninggi sedikit.
“Berhati-hatilah, Tuan Fandi. Banyak orang yang menyesal karena menolak kerja sama dengan saya.”
Kei melangkah setengah, tapi Fandi mengangkat tangan sedikit — tanda diam.
Fandi menatap Vincent lagi.
“Memangnya siapa Anda?” suaranya tenang tapi dalam.
“Saya tidak pernah takut pada ancaman. Jadi kalau Anda mau coba, silakan. Kita lihat siapa yang menyesal.”
Vincent terdiam beberapa detik, menatap Fandi yang masih tenang seperti batu.
Lalu ia tertawa pelan — tawa yang terdengar palsu.
“Haha… baiklah. Kalau begitu kita lihat saja nanti,” katanya sembari berdiri, membetulkan jasnya.
Ia berjalan menuju pintu.
Sebelum keluar, ia sempat berbalik dan menatap Fandi lagi.
“Mungkin… ini awal dari sesuatu yang menarik.”
Pintu tertutup perlahan.
Hening.
Kei dan Alfin saling pandang lalu tersenyum miring.
Kei bergumam pelan, “Sepertinya dia tidak tahu siapa yang baru saja dia ancam.”
Alfin tertawa pendek.
“Orang seperti itu hanya berani bicara. Tak tahu apa yang dia injak.”
Fandi hanya duduk diam, menatap kaca besar di hadapannya yang menampilkan langit Jakarta.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Biar saja,” katanya lirih.
“Kalau dia mau bermain, kita akan lihat… seberapa lama dia bisa berdiri.”
Kei menatap pantulan Fandi di kaca dan mengangguk pelan.
“Sepertinya… badai berikutnya sudah dekat.”
Mobil hitam itu melaju pelan menembus derasnya hujan malam.
Di dalamnya, Vincent duduk di balik kemudi dengan wajah muram. Asap rokok tipis mengepul dari bibirnya, bercampur dengan napas kesal yang berat.
“Sial! Kenapa dia seperti ayahnya! Selalu dingin, selalu sulit dibaca…”
Tangannya menghantam keras setir mobil.
“Aaaaaaaargh!”
Bugh! Bugh!
Benturan tangan di kulit setir terdengar keras. Dadanya naik turun. Tatapan matanya kosong menatap hujan di kaca depan.
“Kenapa tahun ini terasa begitu sial untukku…” gumamnya pelan.
Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah kosong di ujung kota—tempat yang mereka jadikan markas pertemuan rahasia. Cahaya redup lampu jalan memantulkan bayangan mobil-mobil mahal yang sudah berjejer di sana.
Vincent turun. Sepatunya menginjak genangan air, cipratannya membasahi celananya.
Ia sempat menghitung — Suryo Wijaya, Mahawira Holdings, Santara Group, Brahmana Ventures, Kirana Adinata, Rendra Tirtagraha…
Tapi satu mobil tak terlihat.
“Ganendra belum datang?” gumamnya pelan, wajahnya mulai tegang.
Ia masuk ke dalam. Ruangan itu remang, penuh aroma kopi pahit dan asap cerutu. Semua orang di sana sudah menunggu.
Vincent langsung duduk, wajahnya gelap.
Vincent duduk keras di kursinya. “Pemuda tengik itu menolak tanah yang kuminta,” ucapnya tajam.
Suryo menatap heran. “Tengik? Maksudmu siapa?”
“Fandi Dirgantara.”
Nada suara Vincent berat, seperti menahan amarah yang meledak di dadanya.
Mahawira berdecak. “Keluarga itu memang susah diatur, sejak zaman ayahnya. Mereka pikir dunia bisnis ini milik sendiri.”
“Kau bicara soal Dirgantara?” tanya Mahawira dengan nada malas. “Sudahlah, cari lokasi lain. Terlalu ribet urus orang-orang macam mereka.”
“Tidak bisa!” bentak Vincent, kepalan tangannya menghantam meja. “Tanah itu mengapit lokasi proyek baruku. Tanpa itu, rencana runtuh!”
Suryo Wijaya menatapnya dingin.
“Kau terlalu ambisius, Vin. Mereka itu orang keras. Sudah sejak zaman ayahnya begitu. Jangan buat masalah besar dulu. Kita lihat situasi.”
Brahmana ikut bersuara, nada tenangnya menusuk.
“Kalau mereka terus menolak, kenapa tidak kita buat mereka tunduk?”
Suasana ruangan mulai memanas. Tatapan tajam beradu. Kirana Adinata mencondongkan tubuh ke meja.
“Atau… kita serang balik. Tapi aku ingin tahu dulu, apakah mereka punya orang? Pasukan?”
“Sepertinya tidak,” jawab Vincent cepat. “Mereka hanya perusahaan besar, bukan geng jalanan.”
Suryo melirik jam tangannya, mendengus.
“Ngomong-ngomong, mana Ganendra? Biasanya dia lebih dulu datang.”
“Entahlah,” jawab Vincent. “Istrinya bilang dia belum pulang sejak semalam. Katanya ada urusan di pelabuhan.”
Hening.
Semua saling pandang.
Kirana menegakkan badan.
“Semalam giliran dia melakukan transaksi, kan?”
“Benar,” jawab Brahmana pelan. “Tapi… kenapa belum kembali?”
Ketegangan menebal. Udara di ruangan seolah dingin.
“Mungkin dia di markas,” kata Suryo. “Nanti saja kita hubungi. Fokus dulu, kita butuh langkah cepat.”
“Kita bunuh pemuda itu. Sendiri, tanpa pasukan.” suara Vincent serak tapi penuh dendam.
Sebelum yang lain menjawab, suara pintu mendadak terbuka keras.
Draaak!
Seorang ajudan berlari masuk, wajahnya pucat, napas tersengal.
“Lapor Tuan! Pelabuhan timur… terbakar! Salah satu kapal milik kita meledak! Banyak mayat mengapung di laut, Tuan. Kami identifikasi—itu pasukan milik Tuan Ganendra.”
Ruangan hening sesaat.
Lalu serempak mereka berteriak—
“AAAAAPA?!”
Kursi bergeser keras, gelas terjatuh. Vincent berdiri paling cepat, wajahnya pucat.
“Kau yakin?! Siapa pelakunya?”
“Tidak diketahui, Tuan!” jawab ajudan tergesa. “CCTV bersih… seolah dihapus. Tidak ada jejak, tak satu pun!”
“Sialan!” Vincent menendang meja hingga pecah sebagian.
Kirana melangkah maju.
“Kita harus ke sana, lihat sendiri!”
“Jangan!” bentak Suryo cepat, menatap tajam. “Itu bunuh diri. Kalau kita muncul di sana, semua akan tahu siapa pemilik kapal itu. Kita diam dulu. Tunggu waktu yang tepat.”
Semua terdiam. Hanya suara napas berat dan petir di luar yang terdengar.
⸻
Sementara itu, di Dirgantara Group…
Lift berdering lembut. Fandi melangkah keluar, diikuti Kei dan Alfin di belakangnya. Wajah Fandi datar, suaranya tenang tapi berisi tekanan.
“Aku ingin menemui ayah.”
Kei dan Alfin hanya saling pandang, mengangguk. Mereka tahu saat Fandi berbicara seperti itu — tidak ada yang berani menolak.
Di mobil, Alfin menyetir, sementara Kei memainkan ponselnya.
“Hei… lihat ini.” katanya, menatap layar. “Berita baru. Kapal terbakar di pelabuhan timur. Banyak korban.”
Alfin menoleh sekilas.
“Heh… dunia ini kecil sekali.”
Kei hanya tersenyum miring.
Fandi diam. Tatapannya lurus ke depan, menembus kaca, tak bergeming sedikit pun.
Mobil berhenti di depan rumah besar bercat putih, tenang, elegan, tapi menyimpan aura sepi.
⸻
Di dalam, Atha Dirgantara—pria paruh baya dengan rambut memutih—terbaring di ranjangnya. Tubuhnya lemah tapi matanya masih tajam, menatap ketika putranya masuk.
Senyumnya lembut, seperti seorang ayah yang sudah menunggu terlalu lama.
“Fandi…” suaranya serak tapi hangat. “Bagaimana? Semua baik-baik saja?”
Fandi duduk di sampingnya, menggenggam tangan ayahnya erat.
“Iya, Ayah. Semua baik-baik saja. Ayah bagaimana? Sudah minum obat?”
“Tentu saja…” jawab Atha pelan, menatap dalam ke mata anaknya. “Kau… semakin dingin, Nak. Seperti aku dulu.”
Fandi menunduk. Tak menjawab.
Atha tersenyum samar, menepuk punggung tangan anaknya.
“Fandi… umurmu sudah cukup. Tidakkah kau ingin menikah? Jangan terus menutup diri begini. Harta, kekuasaan… semua itu kosong tanpa seseorang yang menunggu di rumah.”
Keheningan jatuh.
Angin dari jendela mengibaskan tirai putih perlahan.
Fandi menghela napas dalam, suaranya pelan tapi berat.
“Aku tidak butuh siapa pun, Ayah. Aku hanya butuh memastikan semuanya… tetap aman.”
Atha menatapnya lebih lama.
Ada sesuatu di balik sorot mata anaknya — dingin, tapi terluka.
“Aman?” tanya Atha lirih. “Atau… kau sedang melindungi sesuatu dari masa lalu kita?”
Fandi menatap ayahnya. Senyum kecil muncul, tapi matanya sayu.
Ia berdiri, menatap keluar jendela — langit tampak kelabu, awan berat menggantung.
“Mungkin keduanya, Ayah.”