“Menikahlah denganku, Kang!”
“Apa untungnya untukku?”
“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianat
“Bu, gimana kalua kita bahas ini nanti aja?” tanya Naura. “Aku capek, mau istirahat dulu, ya.”
Perempuan paruh baya itu mengangguk, dia tersenyum lalu mengusap wajah anaknya dengan usapan lembut. “Bersih-bersih dulu, nani teh biar ibu anterin ke kamar kamu, ya.”
“Makasih, Bu.” Ia mengecup pipi ibunya sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi. Naura Ayuningtyas, dia adalah seorang bidan yang baru saja menyelesaikan program profesinya. Kulitnya putih seperti kulit sang ibu. Matanya besar seperti mata ayahnya, hidung kecil nan lancip dengan wajah agak bulat tapi memiliki dagu dengan bentuk v cukup simetris. Sebetulnya, dia memang cantik, ada manis, ada imutnya juga, tingginya sekitar 163, tidak bisa dibilang pendek tapi tidak bisa dibilang tinggi juga untuk perempuan zaman sekarang.
Selama ini, waktu yang dia miliki lebih banyak dihabiskan untuk belajar, dia tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah berusaha keras untuk menjadikannya sampai seperti ini. Satya? Dia tidak begitu dekat dengannya, hanya setiap kali pulang, dia selalu menyempatkan waktu untuk bertemu pria itu. Katanya, aki Satya punya janji, kalau dia mau menjodohkan salah satu keluarganya untuk menjadi suami dari anak Bu Windi. Awalnya Naura juga tidak mau, tapi pada akhirnya, karena kegigihan Satya dan juga kebaikan yang selama ini dia tunjukan, Naura pun menerima lamaran yang diberikan padanya.
Dia sudah lama ingin dinikahkan, tapi Naura menolak dengan alasan kalau sekolahnya belum selesai. Setidaknya, kelak kalau dia sudah menikah, dia harus memiliki penghasilan sendri. Dan Duarrrr! Hari ini dia menemukan fakta yang sangat menggelikan, padahal dia sudah akan menyetujui rencana pernikahan mereka, tapi syukurlah Allah menunjukkan belangnya Satya sebelum semuanya terlambat.
Sekarang perempuan itu membaringkan tubuhnya di ranjang, dia mengambil ponselnya dan menelpon seseorang yang sangat dia kenal.
“Tawaran kamu waktu itu, aku terima,” kata Naura. “Nanti aku kasih apa yang kamu mau.”
Orang di sebrang telepon terdengar sangat heboh, dia terlalu bahagia sampai Naura harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia menghela napas berat, memejamkan mata perlahan hingga bulir bening mengalir dari sudut matanya. Bohong kalau dia tidak sakit hati, selama ini, Satya adalah satu-satunya pacar yang dia miliki semasa dia hidup, dia sudah berharap kalau mereka akan berjodoh tapi ternyata malah akhirnya seperti ini.
** **
Keesokan hari, setelah cukup lelah di rumah terus menerus, Naura memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Ya sekedar ngopi dan jajan di kafe yang tak jauh dari RSUD yang ada di daerahnya. Jaraknya agak lumayan sih, tapi kan ada motor punya Raka.
“Loh, mau ke mana?” tanya Bu Windi pada sang anak yang sudah rapi. “Nanti malem keluarga Satya mau ke sini, lho, Teh. Enggak bantu Ibu masak? Nyiapin kudapan, kenapa malah pergi atuh?”
“Shuttt!” Naura menaruh jari telunjuknya di atas bibir. “Ibu enggak usah masak, biar aku beli aja nanti, ya.”
“Beneran?” tanya Bu Windi.
“Iya. Udah Ibu enggak usah capek-capek, mending ngadem aja, aku buru-buru, Bu.” Ia menyalami Bu Windi dengan tergesa-gesa.
“Lho, lho, Lho. Kamu berangkat naik apa, Teh kenapa bawa helm?”
“Motor?”
“Motor?” ulang Raka yang buru-buru keluar dari kamar, padahal saat itu dia sedang mengancingkan kemejanya, masih mengenakan kolor berwarna kuning, pemberikan ibunya. “Teh Nana pake motor siapa, Bu?”
“He-he!” Ibu enggak tahu.” Bu Windi buru-buru kabur ke dapur, dia tidak mau menjadi sasaran kekesalan anak bungsunya. Raka tampaknya berlari keluar tanpa memperdulikan kolor kuningnya.
“Teh Nana! Tetehhhh, kenapa bawa motor aku, Tehhhh!” pekik Raka. “Teteh aku mau pake motornya, Teh!”
“Kamu naik ojek aja, Dek!” pekik Naura. “Uang jajan ada di meja.”
“Astagfirullah, ih kebangetan si Teteh mah.” Ia mendengus kesal.
“Urusin si Mocha sama si Mochi, Dek!”
“Ogah!” pekik Raka. Dia benar-benar geram, beberapa kali meninju udara, bahkan akan melemparkan sandal tapi beberapa anak remaja melewati jalan di depan rumahnya, mereka tampak tersenyum-senyum ke arah Raka, sesekali malah tertawa. Raka pun menyengir dan merapikan kemeja yang dia pakai.
“Gambar sepongebob ya, A?” pekik salah satu gadis yang memakai bando biru.
“Gambar sepongebob?” gumam Raka, keningnya mengerut samar, dia menunduk dan alangkah terkejutnya Raka saat sadar kalau dia masih belum memakai celana panjang. “Astagfirullah Neng!” pemuda itu memekik sambil menutupi aset berharga miliknya, dia buru-buru berlari ke dalam karena malu. “Aku do’ain kalian semua bintiitan.”
“Kenapa marah-marah, Dek?” tanya Bu Windi tanpa dosa.
“Ibu sih, kenapa beliin aku kolor begini.” Ia mengerucut, Bu Windi malah menahan senyum, masih merasa tidak bersalah.
“Itu lucu, Dek.”
“Ibuuuuuu ... Raka teh bukan anak kecil lagi atuh, Raka udah gede. Malu ih diliatin anak gadis.”
Lagi-lagi Bu Windi malah menahan tawa, sampai ludahnya hampir muncrat, saking lucunya ekspresi sang sang anak saat ini.
“Ibu sam anak sama aja, bikin kesel terus!” marahnya.
“Yeeeyyy, malah marah-marah.” Bu Windi menggelengkan kepala sambil terkikik. "Bagus itu, Dek. Pesyennn, tau enggak?"
"Enggak!"
** **
Tiga puluh menit kemudian, Naura sudah sampai di sebuah kafe sederhana yang tadi dia maksud. Dia agak ragu untuk turun, tapi dia harus turun supaya tahu sesuatu. Ketika sampai di dekat salah satu meja, dua perempuan melambaikan tangannya. Wulan, dan satu lagi adalah Laras.
“Assalamu’alaikum!” sapa Naura sambil menghampiri mereka dan tentu cipika cipiki seperti biasanya.
“Wa’alaikumssalam, wah, kamu makin cantik, Na.” Wulan tak sungkan untuk memuji. Laras pun tersenyum canggung.
“Kalian juga makin cantik kok, udah pesen belum?”
“Belum, kami nunggu kamu, Na!” sahut Laras. Matanya menatap Naura lekat, senyum di bibir sama sekali tak menunjukkan rasa bersalahnya. Naura pun terkekeh.
Mereka berbincang-bincang, Naura mencoba untuk terlihat biasa saja. Belum saatnya dia membongkar kelakuan Laras. Sahabat yang ternyata adalah ular kadut.
"Jadi, kamu jadi kan nikah sama A Satya?" tanya Wulan, dia bertanya pada Naura tapi melirik Laras yang kini sedang mengaduk kopi Latte nya. "Kalian udah lamaran dua tahun, lho. Masa belum naik ke pelaminan sih."
Naura yang tadinya menuduk tersenyum penuh arti, dia kemudian menoleh ke arah Laras yang sejak tadi lebih banyak diam.
"Eumm, gimana, ya. Menurut kamu gimana, Ras?" tanya Naura.
"Hah? Aku?" tanya Naura kaget sambil menyentuh dadanya. "Kamu nanya aku, Na?"
Kepala Naura terangguk beberapa kali. "Iya, kamu. Kalian kan sahabat aku dari kecil. Biasanya, seorang sahabat itu paling peka liat kemungkinan-kemungkinan tertentu." Ia melirik jari jemari Laras yang tampak bergerak gelisah. "Menurut kamu, A Satya baik enggak buat aku? Kalau aku iyain tanggal pernikahan kami, boleh enggak?"
hahaaaa jahat ny AQ🤭
lanjut lah kak othor,,💪🥰
resiko anak cantik ya Nau JD gerak dikit JD tontonan...
😄😄😄🤭
Nanda kah... entah lah hanya emk yg tau ..