Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Saat mereka berjalan pelan meninggalkan kampus, Umar mencoba mengalihkan suasana.
"Yuk, kita jalan-jalan dulu, biar nggak langsung pulang," ajaknya dengan senyum samar. Namun, Nay tampak menunduk, matanya kosong menatap aspal yang berkelip di bawah lampu jalan. Pikiran tentang kejadian hari ini menari liar di kepalanya.
Citra, wanita yang berani datang langsung ke kampus suaminya itu, mengusik hati Nay. Ada kekaguman yang membuncah, campur haru yang hampir tak tertahan, tapi juga gelisah yang menggerogoti.
"Apa dia baik-baik saja setelah apa yang Umar lakukan?" bisik Nay dalam hati, napasnya tiba-tiba sesak.
Kepalanya mulai penuh dengan kekhawatiran, bayangan sikap Umar yang tanpa peringatan memutuskan pertunangan itu terus menghantuinya.
"Bagaimana kalau keluarga Citra nggak terima? Pertunangan itu bukan sekadar janji biasa, itu sumpah yang berat bagi mereka," gumamnya pelan, suara hatinya penuh kegelisahan yang sulit ia sembunyikan.
Umar duduk tenang di kursi pengemudi, wajahnya tetap dingin walau kabar tadi jelas mengguncang hati Nay. Di sampingnya, Nay menatap ke luar jendela, dadanya terasa sesak.
"Apakah Umar sama sekali tidak memikirkan perasaan Citra?" bisiknya dalam hati, ujung bibirnya bergetar kecil.
Meski rasa kecewa dan cemburu menyusup pelan, Nay tahu dia harus menahan diri. Ia meremas ujung jilbabnya, mencoba menguatkan hati demi suaminya. Mobil mewah itu meluncur perlahan, kemudian berhenti di parkiran mall terbesar di ibu kota. Umar menoleh, suaranya lembut tapi mengandung perhatian,
"Nay, ada apa? Kamu sedang memikirkan apa?"
Nay menoleh, mencoba menyembunyikan keresahan di matanya, berharap langkah mereka ke depan bisa membawa ketenangan, bukan konflik.
"Nay menatap tajam wajah Mas Umar, berusaha menangkap secercah kepastian di balik ketenangannya. Namun, lelaki itu malah terkekeh pelan, seolah kekhawatiran Nay hanyalah bayang-bayang kosong. Mata Mas Umar menyipit, kemudian tanpa peringatan, bibirnya menyentuh kening Nay dengan lembut. Sentuhan itu seperti menenangkan badai dalam dada Nay yang bergemuruh.
“Aku tahu kamu khawatir, Sayang,” katanya pelan, nada suaranya penuh keyakinan.
“Tapi Citra itu wanita pintar. Dia tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang kamu bayangkan.”
Nay menghela napas, menahan gelombang takut yang masih merayapi pikirannya, berusaha mempercayai janji itu meski bayang-bayang terburuk masih mengintai.
Umar menatap Nay dengan senyum tipis yang mengembang di sudut bibirnya, seolah mencoba menyelipkan ketenangan di antara kata-katanya.
"Lagipula, lelaki tampan di dunia ini bukan cuma aku saja, kan?" ucapnya ringan, sambil menepuk pundak Nay perlahan.
Nay menunduk, mengunyah kata-kata itu dalam-dalam. Dadanya terasa sesak sedikit, ada rasa tidak nyaman yang belum sepenuhnya hilang, tapi seiring detik berlalu, secercah lega mulai menyelinap masuk. Mungkin selama ini dia memang terlalu jauh memikirkan sesuatu, seperti yang sering ia katakan pada dirinya sendiri. Tapi bukankah wajar jika dia hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja? Umar lalu menggandeng tangannya dengan hangat.
"Ayo turun! Aku mau beliin sesuatu buat kamu, Nay," ajaknya, menarik Nay ke luar dari pikirannya yang rumit saat mereka melangkah ke pusat perbelanjaan.
Nay turun dari mobil dengan langkah pelan saat Umar membuka pintu samping untuknya. Tatapannya menatap suami di sampingnya dengan rasa bangga, seolah dia adalah ratu yang baru saja dimuliakan. Tangan mereka bertaut erat, menggenggam hangat di tengah riuhnya mall yang penuh suara dan cahaya. Senyum kecil bermain di sudut bibir Nay saat Umar menariknya menuju sebuah toko perhiasan yang ramai. Rasa penasaran mulai merayap dalam dadanya, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
"Apa ini...?" pikir Nay dalam hati, mata tak lepas dari tangan Umar yang sudah berbicara pada pelayan. Ketika satu set perhiasan edisi terbaru dibentangkan di hadapannya, detik itu pula nafas Nay terasa tercekat, antara takjub dan harap.
"Iya, ini dia yang selama ini ingin kuberikan padamu, Nay. Aku belum sempat memberikan hadiah pernikahan untukmu," ujar Umar penuh penyesalan, membuat Nay merasa terharu.
Mendengar pengakuan Umar, Nay jadi teringat ibu Koniyah yang sudah mempersiapkan semuanya ketika hendak melamar dan menikahi dirinya di kota Palembang tempo hari lalu. Nay berpikir, ibu Koniyah memang baik dan sayang padanya, tetapi ada sesuatu yang berbeda ketika suami sendiri yang memberikan hadiah. Apakah ini wujud cinta dan perhatian yang lebih istimewa? Nay tersenyum hangat, mengerti betapa beruntungnya dirinya memiliki suami seperti Umar.
"Tapi mas, bukannya kemarin Ibu sudah memberikan banyak perhiasan untukku?" Nay melemparkan senyum lembut, suaranya hangat tapi ringan.
"Rasanya aku sudah cukup dengan apa yang ada sekarang. Jadi, menurutku lebih baik uang Mas Umar ditabung saja. Siapa tahu nanti kita membutuhkannya, apalagi jika takdir segera mempercayakan kita seorang bayi."
Tiba-tiba, tatapan Mas Umar berubah. Keningnya mengerut, bayangan beban itu seperti menekan di wajahnya. Nay bisa merasakan gelombang harap yang terpancar dari matanya, harap yang ia simpan rapat-rapat selama ini. Dia tahu betul keinginan Mas Umar untuk segera menjadi ayah, mimpi yang selalu disulam saat mereka berbicara tentang masa depan.
Namun, di dalam dada Nay mengendap rasa ragu yang tak mudah dia ucapkan. Bagaimana kalau dia belum siap memenuhi harapan itu? Bagaimana kalau seluruh impian itu justru menjadi serpihan kecewa yang menyakitkan? Dia menarik napas perlahan, berbisik dalam hati,
"Aku hanya ingin semuanya berjalan baik, untuk kita berdua."
Umar menatap Nay dengan mata penuh harap. "Nay, sayang... aku mau kasih semuanya untuk kamu. Nanti kalau kamu hamil anak kita, aku janji bakal kerja lebih keras, biar semuanya tercukupi," ucapnya pelan tapi tegas. Nay mengangguk, hatinya berdegup kencang.
Senyum tipis muncul di bibirnya, hangat seperti sinar mentari pagi yang menembus jendela. Rasanya ia benar-benar dihargai, dicintai tanpa syarat.
Umar menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Setelah ini kita belanja kebutuhan rumah, ya. Kamu boleh pilih peralatan masak yang belum kita punya. Aku tahu kamu suka masak dan bikin kue."
Mendengar itu, pipi Nay tiba-tiba memerah. Senyumnya melebar, matanya berbinar penuh haru. Di dadanya tumbuh rasa bahagia yang sulit diungkapkan kata-kata. Akhirnya, mimpinya menjadi istri yang bisa memasakkan makanan untuk suaminya, perlahan mulai nyata.
Nay menghela napas pelan sambil menatap belanjaan di keranjang.
"Akhirnya, aku bisa bikin rumah kecil kita penuh kebahagiaan," gumamnya dalam hati, senyum kecil terpancar dari bibirnya.
Ia membayangkan suaminya menikmati masakan istimewa yang sudah disiapkannya. Tangan Umar menggenggam erat jari-jari Nay, membuat hatinya berdebar hangat.
Di tengah keramaian mall terbesar kota, keduanya berjalan beriringan, wajah Nay memerah bahagia, matanya berbinar-binar. Saat tiba di kasir, Nay merogoh kartu debit dari dompetnya dengan tangan sedikit gemetar, merasa bahagia sekaligus gugup. Tiba-tiba, Umar meraih tangan Nay, suara hangatnya terdengar lembut di telinganya.
"Sayang, pakai kartu aku saja. Sekarang aku sudah jadi suamimu. Uangku juga untukmu. Aku nggak mau ganggu pengeluaran mu," bisiknya penuh perhatian.
"Setiap bulan, aku akan kasih uang belanja buat rumah dan jajan kamu, oke?"
Nay menatap mata suaminya, dada sesak oleh rasa syukur yang dalam. Ia mengangguk pelan, senyum tulus merekah di wajahnya.
Nay menatap tumpukan belanjaan di depan mereka, raut wajahnya mulai mengernyit.
"Mas, belanjaannya segini banyak banget. Kalau dijumlah, bisa sampai dua puluh jutaan cuma buat alat masak. Belum sembakonya lagi," bisiknya pelan, nada suaranya agak berat.
Matanya menyelinap ke arah suaminya yang sudah mulai memilih-milih barang lain tanpa terlihat khawatir.
"Sudahlah, ambil aja yang ini!" suaminya menyambar satu set alat masak, sambil tertawa kecil.
"Kartu ini saldonya masih tebal banget, mungkin saldo kamu nggak sampai dua digit, hehe."
Nay mengerutkan dahi, mau protes tapi tertahan di mulutnya. Ia menghela napas, lalu tak bisa menahan senyum tipis saat melihat suaminya dengan percaya diri itu memang penghasilannya lebih unggul darinya, dan itu yang selalu membuatnya sekaligus gemas sekaligus bangga.