Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di sandera
Mobil yang ditumpangi Mahawira dan Vincent melaju kencang memasuki area hutan. Dari kejauhan tampak sebuah gubuk besar, lampunya redup, namun terdengar suara tawa dan hentakan meja. Sejumlah preman sedang bermain kartu, asap rokok mengepul di udara.
Begitu mobil itu berhenti, para preman langsung menoleh dan berdiri sigap. Pintu mobil terbuka, menampilkan Vincent dan Mahawira yang berjalan mendekat dengan wajah dingin.
“Bara,” panggil Vincent datar.
Sosok besar bertato, berwajah garang, langsung bangkit.
“Wah, Tuan Vincent…” Bara menyeringai.
“Aku ke sini karena ada tugas yang harus kalian jalankan malam ini juga,” ucap Vincent singkat.
Bara tertawa keras. “Hahaha… Tenang saja, Tuan. Selagi ada uang, apa pun kami lakukan.”
Vincent dan Mahawira saling bertukar pandang—puas.
“Bagus.” Vincent melanjutkan, suaranya rendah namun tegas.
“Ke Jalan I, wilayah B. Di sana ada kontrakan. Culik satu gadis saja. Ciri-cirinya: tinggi sekitar seratus lima puluh lima, rambut pink kecoklatan, kulit putih, dan ada lebam biru di keningnya. Ingat, hanya dia. Dua gadis lainnya biarkan.”
Mahawira menambahkan, “Dan pastikan kalian bilang pada dua gadis yang kalian tinggalkan bahwa ini perintah Angga Wijaya.”
Vincent melangkah sedikit maju, suaranya makin dingin.
“Dan katakan lagi: kalau ingin gadis itu bebas, Fandi harus datang menyelamatkan sebelum Angga Wijaya ‘menghabisinya’.”
Bara mengangguk mantap. “Baik, Tuan. Anak buahku akan membawa gadis itu sesuai perintah.”
Vincent menatap tajam. “Aku percaya padamu, Bara. Setelah gadis itu kalian dapat, langsung hubungi aku. Ingat… jangan sentuh apa pun selain menculiknya.”
“Baik, Tuan!” Bara menepuk dadanya.
Vincent dan Mahawira tersenyum puas lalu berbalik menuju mobil.
Bruuummmm—
Mobil itu melaju pergi meninggalkan gubuk.
Begitu suara mesin menghilang, Bara menatap anak buahnya.
“Kalian dengar tadi, kan?” teriaknya.
“Dengar, Bos!” jawab mereka serempak.
“Lima orang ikut aku. Pergi ke alamat tadi. Culik gadis dengan ciri-ciri yang disebutkan. Ingat! Hanya gadis itu. Dua lainnya tinggalkan, tapi kasih pesan: kalau mau gadis itu selamat, suruh Fandi datang. Dan bilang ini perintah Angga Wijaya. Mengerti?!”
“Mengerti, Bos!”
“Bagus! Lakukan sekarang. Jangan buang waktu!”
“Siap, Bos!”
Lima preman masuk ke mobil pick-up dan melaju ke arah kota. Bara tersenyum penuh keserakahan.
Uang sudah di depan mata. Tugas mudah.
⸻
Sementara itu, di sisi lain kota…
Fandi baru saja tiba di rumah. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa melepas jas, langkahnya berat namun cepat. Ia membuka pintu balkon, berdiri menatap langit sore yang mulai gelap.
Hening.
Lalu—
DEGH… DEGH… DEGH…
Dadanya tiba-tiba berdegup sangat keras. Fandi memegang bagian kiri dadanya, napasnya memburu tanpa sebab yang jelas.
Ada sesuatu.
Sesuatu yang… tidak beres.
“Ada apa ini…” gumam Fandi lirih, masih memegang dadanya yang berdebar tak wajar. Ia menatap langit senja yang mulai gelap, menghembuskan napas panjang.
“Kenapa aku merasa gadis itu dalam bahaya? Apa hanya perasaanku saja? Astaga… apa yang terjadi padaku…” bisiknya lagi, gelisah.
⸻
Kontrakan Epi – Rora & Rami
Rora dan Rami duduk di sisi ranjang, menatap Epi yang belum juga sadar. Wajah mereka dipenuhi cemas.
“Ram… apa kita bawa ke rumah sakit aja, ya?” tanya Rora, suaranya bergetar.
“Kalo ke rumah sakit, kita harus pesen taksi. Nggak mungkin bawa Epi naik motor,” jawab Rami.
“Kamu pesan taksi, deh.”
“Iya, bentar…” Rami bangkit dan melangkah ke luar kamar menuju kamarnya sendiri.
Namun belum sempat ia sampai—
BRAAAK! BRAAAK!
Pintu depan digedor keras.
Rami tersentak. Rora juga segera keluar kamar dengan panik.
“Ram, ada apa?!” tanya Rora bingung.
“Aku… aku juga nggak tahu, Ra. Aku jadi takut…” Rami mundur, wajahnya pucat.
“Ayo masuk kamar Epi! Kunci pintunya!” Rora menarik tangan Rami, keduanya gemetar.
BRAK!
Pintu kamar tertutup dan segera dikunci.
Keduanya menatap Epi yang tak sadar, tubuh mereka bergetar hebat.
“Gimana ini… kita nggak bisa kabur. Epi nggak sadar, dan dia masih sakit…” Rora mulai menangis.
“Telepon polisi, Ra!” desak Rami.
“HP-ku di kamar, Ram!”
“Duh… gimana ini… HP-ku juga belum sempat kuambil…” Rami panik.
Suara dobrakan terus terdengar.
“HP Epi! Cari HP Epi!” kata Rami cepat.
Rora berdiri, mencari di sekitar ranjang — sprei, bantal, laci kecil.
“Nggak ada, Ram! Apa orang tadi nggak ngasih balik HP-nya?!” Rora makin panik.
“Duh… gimana dong…” Rami berkata dengan suara gemetar.
BRAAAAAK!!
Pintu depan akhirnya jebol.
Rora dan Rami saling menatap—pucat, ketakutan.
“Cari seluruh ruangan!” teriak seorang pria dari luar.
Suara langkah kaki berat terdengar mendekat.
⸻
Di dalam kamar…
“Krek… krek… KRAK!”
Seseorang mencoba menjebol pintu kamar.
“Kita gimana ini…” bisik Rami, nyaris menangis.
“Pasrah aja, Ram…” Rora menutup mulutnya, air mata jatuh deras. Epi masih tertidur lemah, tak tahu apa pun.
BRAK! BRAK! BRAAAK!
DUARR!!
Pintu kamar terbuka menghantam dinding. Debu bertebangan.
Lima lelaki bertubuh besar berdiri di depan pintu. Tatapan mereka tajam, dingin, seperti predator menemukan mangsanya.
Mereka melangkah masuk.
Tatapan mereka langsung menuju Epi.
“Itu dia. Bawa,” ucap salah satu dari mereka datar sambil menunjuk Epi.
“Siap,” jawab empat lelaki lainnya serempak.
Rora dan Rami spontan berlari, memeluk tubuh Epi untuk melindunginya.
“Jangan!!!”
Namun dua lelaki langsung menarik keduanya kasar dan menghempaskan mereka ke lantai.
Dua lainnya mengangkat Epi tanpa ragu.
Sebelum pergi, salah satu pria mendekat dan menyampaikan pesan:
“Kalau kalian ingin gadis ini hidup, suruh Fandi datang menyelamatkannya. Di Gedung Walet, Ruko B, Wilayah A. Ini perintah dari bos kami… Angga Wijaya.”
Mereka pergi begitu saja, membawa Epi keluar.
Pintu kontrakan kembali berdebum.
Rora menangis keras. “G-gimana ini, Ram…”
“Ya Allah, Epi… siapa lagi Fandi itu…” Rami terduduk tak berdaya.
“Kita harus lapor polisi, Ram!” Rora panik.
“Gimana caranya, Ra?! Kau tahu polisi gerak kalau ada uang! Keburu Epi… Ya Allah, aku nggak tahu lagi harus apa…” Rami memukul lantai frustrasi.
“Ini Fandi siapa lagi?!” Rora mengusap wajahnya.
Tiba-tiba Rami berhenti, menoleh pelan pada Rora.
“Ra… apa Fandi yang nolong Epi waktu itu? Bukannya dia juga Fandi?”
“Nanti salah orang lagi. Terlalu banyak nama Fandi. Lagian mereka cuma bilang ‘Fandi’, bukan Dirgantara…”
Rami menggeleng keras. “Ra! Tapi dia bilang, kalau ada apa-apa, hubungi dia. Gimanapun, itu satu-satunya orang yang bisa bantu kita sekarang!”
“Benar juga… ayo, Ram. Di mana kartu tanda pengenal yang Fandi kasih waktu itu? Cepat kita hubungi dia.”
Suara Rora bergetar, kakinya bahkan masih lemas karena shock.
Mereka langsung menuju kamar Rami. Dengan tangan gemetar, Rami mengaduk tumpukan barang di laci, sampai akhirnya menemukan kartu kecil itu.
“Ini dia! Cepat, telepon!” ucap Rora panik.
Jari Rami berusaha menekan nomor itu, tapi beberapa kali hampir terpeleset karena gugup. Ponsel bersandar di telinganya, dan…
“Tuut… tuut… tuut…”
Hening.
Sunyi.
Seolah dunia menahan napas, berharap seseorang di ujung sana menjawab.
Namun tak ada jawaban.
Rami menelan ludah, lalu mencoba lagi—lebih cepat, lebih cemas.
“Tuut… tuut… tuut…”
Masih sama.
Tidak ada yang mengangkat.
“Ra… nggak diangkat. Gimana ini?” suara Rami pecah, hampir menangis.
Rora memegang lengannya, meski dirinya sendiri sama ketakutannya.
“Kalau gitu… kita langsung ke sana aja. Kita cari dia.”
Rami mengangguk cepat, tak punya pilihan lain. Meski tangan mereka gemetar, mereka tetap bergerak. Mereka keluar dari kontrakan yang masih berantakan akibat pembobolan barusan, menuju motor yang terparkir di depan.
Rora naik duluan, duduk sambil memeluk tasnya erat.
Rami men-starter motor dengan tangan bergetar.
“Ya Allah… semoga kita nggak terlambat,” gumam Rora sambil menahan air mata.
Motor itu pun melaju menembus gelapnya malam, meninggalkan kontrakan, membawa dua gadis yang kini diselimuti kecemasan… dan satu harapan tipis untuk menyelamatkan Epi.