NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19. TERAPI LEWAT MEMBUAT PASTA

..."Di antara aroma rempah dan luka yang belum sembuh, dua jiwa belajar: cinta sejati bukan datang untuk menyelamatkan, tapi untuk menyembuhkan."...

...---•---...

"Aku dengar kamu punya koki pribadi sekarang." Suara Rendra dari ruang tamu terdengar santai, tapi ada sesuatu di balik nada itu seperti pisau dibungkus sutra. "Pemenang undian, ya? Menarik sekali. Kamu dulu selalu pilih yang terbaik, sekarang dapat yang... ekonomis."

Pisau Doni turun lebih keras ke talenan. Daun bawang terpotong kasar, tidak sehalus biasanya. Tangannya bergerak mekanis, tapi telinganya menangkap setiap kata dari ruang tamu, kata-kata yang membuat rahangnya mengeras.

"Doni adalah koki yang sangat baik," suara Naira terdengar tegas, membela tanpa ragu. "Lebih baik dari semua koki yang pernah kita punya dulu."

"Oh, 'Doni' sekarang? Sudah panggil nama depan?" Rendra tertawa, suara itu merayap masuk dapur seperti asap. Bulu kuduk Doni berdiri. Ia kenal tawa seperti itu: tawa sebelum sesuatu yang lebih buruk. "Hati-hati, sayang. Jangan sampai kamu salah paham lagi seperti dulu. Ingat sutradara yang kamu pikir peduli, padahal cuma mau pakai kamu buat proyek filmnya?"

Dari sudut mata, Doni melihat Naira menegakkan punggung tidak mundur seinci pun. "Rendra, langsung saja. Kenapa kamu datang ke sini?"

"Aku cuma... tidak tega lihat kamu begini. Sendirian. Menutup diri total." Nada suaranya berubah, melembut seperti madu yang menyembunyikan racun. "Tidak ada yang lihat kamu keluar rumah, tidak ada proyek baru. Aku khawatir kamu... kehilangan arah. Kamu tahu sendiri, kamu butuh seseorang yang bisa jaga kamu, yang mengerti kamu."

"Aku tidak butuh perlindungan dari siapa pun. Apalagi darimu."

"Naira..." Rendra berdiri dari sofa. Doni bisa melihatnya dari celah pintu, langkah demi langkah mendekat ke arah Naira. Setiap gerakan membuat otot bahu Doni menegang. Jari-jarinya melingkar lebih erat di gagang pisau.

"Aku tahu kita berakhir... tidak baik. Dan aku minta maaf untuk itu. Kadang aku kehilangan kontrol, tapi itu karena aku terlalu sayang."

"Kamu kehilangan kontrol setiap kali aku tidak setuju denganmu." Suara Naira bergetar tipis, tapi ia menciptakan jarak, melangkah mundur, menjaga ruang. "Dan aku tidak akan dengarkan kebiasaanmu memutarbalikkan kenyataan lagi. Kamu datang, bilang apa yang mau kamu bilang, lalu pergi. Kita tidak ada hubungan lagi."

Rendra terdiam sesaat. Senyumnya memudar, digantikan sesuatu yang lebih dingin, lebih tajam. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, layarnya menyala. "Baiklah. Kalau kamu mau main keras." Ia menggeser layar, memperlihatkan sekilas foto yang membuat wajah Naira memucat. "Aku masih punya foto-foto waktu kita nikah. Foto-foto yang... tidak akan bagus kalau sampai bocor ke media."

Doni meletakkan pisaunya. Cukup.

"Kamu mengancam aku?" Suara Naira bergetar, tapi nadanya tetap tajam seperti pecahan kaca.

"Aku cuma mengingatkan. Kariermu sudah hancur karena perceraian ini. Aku yang tahan media supaya tidak publikasi hal-hal tertentu. Tapi kalau kamu tidak mau kerja sama, kalau kamu tidak mau tunjukkan hubungan baik di depan publik..." Rendra membiarkan ancamannya menggantung, beban yang tak terucap tapi terasa nyata di udara.

Doni melangkah keluar dari dapur, langkahnya tenang tapi tegas. Ratna yang berdiri di pojok ruang tamu juga bergerak, tapi Doni lebih dulu.

"Maaf mengganggu," ucapnya dengan nada sopan yang terlatih, tapi matanya langsung menemukan Naira, memastikan ia baik-baik saja. "Nona Naira, saya perlu konfirmasi menu makan malam. Ada perubahan kebutuhan diet yang perlu saya tahu sekarang?"

Rendra menoleh, menatap Doni dari ujung rambut sampai kaki, seperti menilai sesuatu yang tidak layak diperhatikan. "Ah, ini dia koki ekonomis itu. Tidak tahu sopan santun, ya, memotong pembicaraan orang?"

"Saya cuma jalankan tugas. Pastikan klien saya makan dengan baik dan tepat waktu." Doni menatap balik tanpa mundur, bahunya tegak. "Dan sepertinya sekarang waktu yang pas untuk Nona Naira istirahat dari obrolan yang... melelahkan."

Naira langsung menangkap jalan keluar yang Doni buka. "Iya, Doni. Mari kita bahas di dapur. Maaf, Rendra, sepertinya kamu harus pergi. Aku ada hal penting yang tidak bisa ditunda."

"Hal penting dengan koki?" Rendra tertawa tapi kali ini tidak ada humor di sana. "Prioritas yang menarik."

"Lebih menarik daripada buang waktu dengan orang yang ancam aku pakai foto-foto lama." Naira berjalan melewati Rendra tanpa menoleh, kepalanya tegak meski tangannya gemetar. "Ratna, tolong antar Pak Rendra keluar."

Rendra terpaku, wajahnya memerah. Rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol. "Kamu akan menyesal, Naira. Aku jamin."

"Satu-satunya hal yang aku sesali... adalah terlalu lama percaya kamu bisa berubah." Naira berhenti di ambang pintu dapur, menatapnya terakhir kali, mata yang dulu penuh ketakutan, kini hanya kosong untuk lelaki ini. "Dan Rendra, kalau kamu berani hubungi aku lagi atau datang ke sini, aku akan lapor polisi. Aku punya bukti. Aku punya saksi. Kamu tidak bisa manipulasi aku lagi."

Ia masuk ke dapur, dan Doni mengikuti, menutup pintu di belakang mereka. Lewat kaca, mereka melihat Ratna tegas mengantar Rendra keluar. Langkah lelaki itu berat, penuh amarah tertahan.

Begitu suara mobilnya menjauh, deru mesin yang meredup menjadi sunyi, lutut Naira menyerah duluan. Tubuhnya condong ke depan, kehilangan sumbu. Doni bereaksi tanpa pikir, lengannya melingkar, menopang sebelum ia menyentuh lantai. Ia menuntun Naira ke kursi, tubuh perempuan itu gemetar seperti daun di angin November.

Sekilas, bau cologne Rendra masih menempel samar pedas, menyesakkan, memori yang tidak diundang. Tapi Doni lebih dekat sekarang, membawa aroma dapur: basil segar, kayu talenan, kehangatan rempah yang menenangkan. Naira menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan sesuatu yang aman.

"Aku di sini. Kamu aman. Dia sudah pergi." Doni berlutut di depannya, menggenggam tangan Naira yang dingin, dingin seperti es, seperti semua darah di tubuhnya lari ke tempat lain. "Kamu luar biasa tadi. Kamu tidak mundur. Kamu tidak biarkan dia pegang kendali."

"Aku masih takut... masih gemetar." Naira menangis, tapi bukan tangis kalah. Tangis lega. Tangis kemenangan kecil atas monster yang akhirnya ia usir. "Tapi aku lakukan. Aku bilang tidak. Aku usir dia."

"Kamu lakukan, dan aku bangga sekali."

Mereka diam beberapa menit. Naira menangis dalam pelukan Doni, melepaskan ketegangan yang menumpuk, tangis yang seharusnya keluar sejak lama. Perlahan napasnya kembali teratur, gemetar tubuhnya mereda.

"Terima kasih," bisiknya. "Untuk datang di waktu yang tepat. Untuk kasih aku jalan keluar."

"Kapan pun. Selalu." Doni menyeka air mata di pipinya dengan lembut gerakan pelan, hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang berharga dan rapuh. Gerakan kecil itu membuat keduanya terdiam, menyadari betapa dekat mereka, betapa nyata hubungan ini di luar label profesional.

"Doni," suara Naira pelan, "tadi kamu bilang kita akan bicara soal... perasaan, kalau aku bisa hadapi hari ini."

"Kamu bukan cuma hadapi. Kamu menang."

"Jadi kita bisa bicara sekarang?"

Doni menatap wajahnya terluka tapi kuat, mata berair tapi penuh tekad, bibir gemetar tapi tersenyum. Ia tahu, dengan pasti yang menakutkan sekaligus melegakan, bahwa ia sudah jatuh. Sudah menyeberang batas yang tidak seharusnya.

Memori Sari muncul sekilas, senyumnya yang dulu hangat, sekarang hanya bayangan kabur yang tidak lagi menyakitkan. Tiga tahun. Tiga tahun ia pikir tidak ada yang bisa menggeser tempat itu. Tapi Naira... Naira bukan pengganti. Naira adalah halaman baru yang tidak pernah ia kira bisa ia buka.

Tapi ia tidak takut lagi.

"Ya," jawabnya, "kita bisa bicara. Tapi tidak sekarang. Sekarang kita akan masak."

Naira mengernyit bingung. "Masak? Sekarang?"

"Sekarang." Doni berdiri, menarik Naira berdiri juga, tangannya masih hangat di tangan perempuan itu. "Terapi terbaik setelah konfrontasi adalah pakai tangan. Kebetulan aku belum ajari kamu bikin pasta dari awal."

"Pasta? Yang dari tepung dan telur itu?"

"Betul. Prosesnya butuh tenaga, tapi hasilnya memuaskan. Cocok buat salurkan sisa adrenalin." Doni mengambil apron, memberikannya pada Naira. "Percayalah, ini akan bantu."

Naira tersenyum kecil, senyum pertama setelah badai. "Sesi terapi ala Koki Doni?"

"Lebih efektif dari psikolog, dan hasilnya bisa dimakan."

...---•---...

Mereka berdiri di meja dapur dengan bahan di depan: tepung, telur, minyak zaitun, garam. Doni membentuk gunung tepung di atas meja marmer permukaan dingin kontras dengan kehangatan tangannya. Ia membuat cekungan di tengah, seperti sumur kecil yang menunggu diisi.

"Ini namanya metode sumur," jelasnya sambil memecahkan telur ke tengah. Kuning telur jatuh sempurna, mengkilat di bawah lampu dapur. "Telur di dalam, tepung di luar. Pelan-pelan kita campur sampai jadi adonan."

Naira menatap dengan fokus, alisnya sedikit mengkerut. "Itu tidak tumpah?"

"Kalau hati-hati, tidak. Tapi kalau tumpah juga tidak apa. Masak itu bukan soal sempurna, tapi soal proses." Doni mulai mencampur tepung dan telur dengan garpu, gerakannya berirama, melingkar perlahan, menarik tepung dari tepi ke dalam. "Coba kamu di sisi ini. Pelan saja."

Naira meniru gerakannya. Awalnya canggung, tepung berantakan sedikit, putih halus beterbangan, menempel di ujung jarinya. Tapi perlahan ia menemukan ritme. Mereka bekerja dari dua sisi, tepung dan telur menyatu jadi adonan kasar yang mulai menyatu.

"Sekarang pakai tangan. Uleni." Doni mencontohkan, tangannya tenggelam dalam adonan. "Dorong, lipat, putar seperempat, ulangi. Sekitar sepuluh menit sampai halus dan elastis."

"Sepuluh menit?!" Naira mencoba dan langsung merasa adonan keras, seperti tanah liat yang belum lembut. "Ini olahraga."

"Betul. Makanya bagus untuk lepas ketegangan." Doni tersenyum. "Bayangkan semua amarah dan ketakutan. Salurkan ke adonan."

Naira mulai menguleni lebih kuat. Dorong, lipat, putar. Keringat muncul di dahinya tipis, berkilat di bawah cahaya tapi ia tidak berhenti. Wajahnya fokus, bibir sedikit terbuka, napas mulai berat.

"Itu dia. Rasakan bedanya? Sekarang lebih halus?"

"Iya!" Naira tertawa kecil, napasnya tersengal tapi ada kegembiraan di sana. "Lebih lembut, tidak berantakan. Kayak... hidup."

"Karena kamu membentuk gluten. Protein dalam tepung saling terhubung, jadi elastis." Doni terus bekerja dengan gerakan mantap, otot lengannya bergerak stabil. "Ini meditasi. Fokusnya cuma di tangan dan adonan. Tidak ada yang lain."

Mereka bekerja dalam diam beberapa menit, hanya terdengar napas mereka yang saling bersahutan dan suara lembut adonan dipukul ke meja thud, thud, thud ritme yang menenangkan. Lalu Naira tertawa-tawa yang lebih lepas kali ini.

"Kenapa?" tanya Doni, tangannya tidak berhenti bergerak.

"Aku baru sadar. Setengah jam lalu aku hadapi mantan suami yang suka menyakiti. Sekarang aku di dapur bikin pasta sambil keringetan. Hidup ini aneh."

"Hidup penuh plot twist. Tapi yang penting, kita pilih fokus ke bagian mana." Doni menepuk adonannya terakhir kali, puas dengan tekstur yang lembut dan elastis di tangannya. "Dan kamu pilih bikin sesuatu yang indah, bukan nangis karena orang yang tidak pantas."

Naira menatap Doni, matanya lembut tapi dalam, ada sesuatu di sana yang tidak terucap. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."

"Tidak selalu. Tapi untuk kamu, kata-kata datang lebih mudah."

Mereka terdiam. Sesuatu mengisi udara di antara mereka, hangat, tidak bernama, tapi nyata seperti aroma tepung dan telur yang menyelimuti dapur. Naira lebih dulu memecahnya, kembali ke adonan.

"Adonanku sudah halus. Sekarang apa?"

"Sekarang kita istirahatkan. Bungkus plastik, diamkan tiga puluh menit. Glutennya perlu relaks."

Setelah adonan dibungkus dan disimpan, mereka berdiri di wastafel, mencuci tangan berdampingan. Air dingin membilas tepung dari sela-sela jari. Bahu mereka bersentuhan hangat, nyaman, seperti hal paling alami di dunia.

"Tiga puluh menit," kata Naira sambil mengeringkan tangan, lap dapur kasar di kulitnya. "Kita ngapain sambil nunggu?"

"Bikin saus. Mau belajar carbonara klasik? Yang asli, bukan yang pakai krim."

"Orang Indo bikin carbonara pakai krim?"

"Sayangnya iya. Padahal yang asli cuma kuning telur, keju, beef bacon dan air pasta. Sederhana, tapi tekniknya yang penting." Doni menyiapkan bahan bacon tebal yang masih dingin dari kulkas, keju Parmigiano yang keras, telur segar. "Pelajaran hidup juga: hal terbaik sering kali sederhana, cuma butuh eksekusi yang tepat."

Naira duduk di meja dapur, memperhatikan tangan Doni bekerja, memotong bacon jadi potongan kecil, memisahkan kuning telur dengan presisi. Ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. Tidak lagi sekadar klien melihat koki, tapi lebih dalam dari itu.

Doni memanaskan wajan, dan bacon mulai mendesis aroma gurih menyebar, asap tipis naik, bunyi keripik bacon yang menyenangkan. Naira menarik napas dalam.

"Wanginya..." katanya pelan. "Enak sekali."

"Tunggu sampai kita campur dengan keju. Itu baru surga." Doni tersenyum, tapi ada kegelisahan kecil di balik senyumnya seperti ia menunggu sesuatu.

"Doni," suara Naira pelan tapi jelas, memotong suara desis wajan. "Boleh tanya sesuatu yang pribadi?"

Doni memutar bacon di wajan, tidak menatapnya. "Tentu."

"Kapan terakhir kali kamu... dekat dengan seseorang? Maksud aku, sejak Sari?"

...---•---...

...Bersambung...

1
Ikhlas M
Loh Naira, jangan banyak makan-makan yang pedes ya nanti sakit perut. Kasian perutnya
Ikhlas M
Bisa jadi rujukan nih buat si Doni ketika dia ingin makanan sesuatu yang dingin
Ikhlas M
Pinter banget sih kamu Don. Aku jadi terkesan banget sama chef terbaik kayak kamu
Ikhlas M
Akhirnya dia mau makan juga. Terbaik banget sih kamu Don. Chef paling the best se jagat raya
Ikhlas M
betul banget. Memang makanan lokal juga gak kalah hebatnya di bandingan makanan luar
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!