Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bawa pulang
Saat itu Rami tampak ragu. Wajahnya menunjukkan jelas ia takut sesuatu terjadi pada sahabatnya.
“Aku yakin,” tegas Rora, meski suaranya sedikit bergetar. “Kamu mundur ke belakang, sembunyi di balik pohon itu.” Ia menunjuk sebuah pohon besar tak jauh dari gerbang. “Kalau aku nggak balik dalam tiga puluh menit, kamu pergi dari sini dan minta pertolongan.”
Rami menelan ludah. “Baiklah… hati-hati, Ra.”
Ia lalu menggeser motornya ke balik pohon yang ditunjuk Rora, bersembunyi sambil terus memantau dari kejauhan.
Rora sendiri melangkah mendekati gerbang besar rumah itu. Tak lama kemudian, seorang security muncul dan membuka celah kecil pada daun gerbang.
“Siapa kamu? Ada keperluan apa datang ke sini?” tanyanya datar namun waspada.
“Maaf, Pak. Saya mau menjemput teman saya. Dia… dibawa ke sini oleh seseorang. Dan pemilik rumah ini sendiri yang kasih alamatnya. Ini buktinya.”
Rora menunjukkan ponsel Epi, memperlihatkan pesan alamat yang dikirim.
Security itu mengangguk kecil. “Tunggu sebentar. Saya laporkan dulu ke Tuan Muda.”
“Baik, Pak.”
Security itu berjalan masuk dengan cepat. Rora menunggu, menelan ludah sambil memandangi rumah megah itu.
Tuan muda… orang kaya ini rupanya, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, seorang pemuda keluar. Wajahnya tampan, namun ekspresinya datar dan tatapannya tajam membuat Rora refleks meneguk saliva.
“Siapa?” tanyanya dingin.
“Saya Rora… Sahabat Epi. Saya dapat alamat ini dari seseorang yang kirim ke ponsel Epi.”
Pemuda itu menatapnya sekilas. “Masuklah.”
Rora mengangguk gugup. Ia mengikutinya masuk. Baru hendak membuka pintu menuju kamar, tiba-tiba sebuah suara memanggil.
“Fandi, kamu sama siapa itu?” tanya Kei.
“Dia temannya Epi,” jawab Fandi singkat sambil terus melangkah.
Fandi membuka pintu kamar, dan Rora langsung menyusul masuk. Kei dan Alfin ikut masuk di belakangnya.
Epi terbaring lemah di ranjang, mata terpejam, wajah pucat.
“Ya Tuhan… Epi…” Rora memekik, langsung menghampiri dan duduk di pinggir ranjang. Tangannya gemetar saat menyentuh selimut. “Astaga… apa yang terjadi padamu…” suaranya pecah menahan tangis.
Ia melihat ke arah Fandi, Kei, dan Alfin.
“Terima kasih… terima kasih sudah nolongin dia. Malam itu dia memang pulang telat karena shift malam. Dia sempat kirim pesan… dan suara tembakan itu—astaga—aku panik sekali. Syukur kalian nemu dia. Aku akan bawa—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Fandi langsung memotong dengan suara datar namun tegas.
“Tidak. Dia akan tetap di sini.”
“Hah?”
Rora, Kei, dan Alfin serempak menoleh, terperangah dan tak percaya dengan keputusan Fandi.
Rora berdiri kaku di sisi ranjang, matanya menatap Fandi yang masih menunduk memeriksa kondisi Epi.
“Kenapa? Aku harus membawa dia pulang. Kami bahkan tidak mengenal kalian,” ucapnya tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Fandi mengangkat wajah. Tatapannya datar, tapi dalam.
“Dia masih terluka.”
“Aku bisa membawanya ke rumah sakit. Dia dirawat di sana saja.” Rora tetap bersikeras.
Kei ikut maju, mencoba meredakan ketegangan.
“Sudahlah, Fan. Dia sahabat Epi. Nggak apa-apa kalau mereka mau bawa Epi, apalagi kalau tujuannya ke rumah sakit. Itu lebih baik.”
Hening sejenak.
Fandi menatap wajah Epi—pucat, tak bergerak, keningnya membiru. Ada sesuatu yang menahan langkahnya, seolah tubuhnya menolak membiarkan gadis itu lepas dari matanya.
Akhirnya ia menarik napas panjang.
“Baiklah. Tapi biar aku yang mengantarkan.”
Rora mengangguk cepat. “Iya. Terima kasih.”
Saat Alfin hendak menggendong Epi, Fandi lebih dulu melangkah.
“Biar aku saja. Kalian tetap berjaga di rumah.”
Tanpa menunggu jawaban, ia mengangkat tubuh Epi dengan hati-hati. Kei sempat terbelalak, sementara Alfin hanya mengangguk meski terlihat bingung.
⸻
Di luar, Rora berlari kecil menghampiri Rami yang baru turun dari motor.
“Bagaimana, Ra?” tanya Rami cemas.
“Alhamdulillah, mereka orang baik. Mereka nolong Epi dan mau antar juga.”
“Syukurlah. Kita juga sudah bawa nomor darurat.”
Tak lama, mobil hitam mewah keluar dari gerbang. Rora menegakkan tubuh.
“Kami bawa Epi ke kontrakan dulu ya,” ujarnya pada Fandi.
Fandi hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun.
Rora dan Rami melaju dengan motor, sementara mobil Fandi mengikuti dari belakang—tanpa mereka sadari, sebuah mobil lain menguntit dari kejauhan.
⸻
Perjalanan memakan waktu hampir 35 menit sebelum akhirnya mereka tiba di kontrakan sederhana milik Epi.
Fandi memandangi wajah gadis itu sekali lagi. Ada sesuatu di dadanya yang mengencang.
Ia membuka pintu mobil, membungkuk, lalu mengangkat Epi dengan pelan. Wajah pucat itu, memar di kening… semuanya membuat dadanya terasa sesak.
“Maaf…” bisiknya lirih—entah ditujukan pada siapa.
Ia mengikuti Rora masuk.
“Ini kamar Epi,” ujar Rora sambil membuka pintu.
Fandi mengangguk, lalu membaringkan Epi di ranjang. Rami cepat menarik selimut, menutup tubuh sahabatnya. Dua gadis itu menatap Fandi dengan mata berkaca-kaca.
“Kami nggak tahu harus bilang apa… tapi terima kasih banyak,” ucap Rami lirih.
“Terima kasih sudah repot-repot nganter,” tambah Rora.
Fandi merogoh saku, mengeluarkan sebuah kartu, dan meletakkannya di meja kecil.
“Di situ ada nomor teleponku. Kalau ada sesuatu, hubungi aku.”
Ia berbalik pergi.
Rami mengambil kartu itu. Mata keduanya langsung membelalak.
“Ini… serius? Dia pewaris Dirgantara?” seru Rami terkejut.
“Iya, astaga. Pantas saja banyak yang bilang dia dingin. Kukira cuma rumor,” gumam Rora terpana. “Ternyata dia memang sedingin itu.”
“Hush. Jangan begitu,” tegur Rami. “Wajahnya aja yang dingin. Hatinya baik. Kalau nggak, Epi nggak bakal selamat. Dan dia nggak mungkin nganter kita sejauh ini.”
Rora mengangguk, lalu mereka menutup pintu.
⸻
Tak jauh dari kontrakan itu, dua pria memperhatikan dari dalam sebuah mobil.
“Lihat, Wira. Siapa gadis itu?” tanya Vincent pelan.
“Entahlah. Tapi jelas mereka kenal dengan anak Atha,” jawab Mahawira tanpa melepas pandangan.
Senyum miring muncul di wajah Vincent.
“Sepertinya kita baru saja dapat keberuntungan.”
Mahawira mengernyit. “Keberuntungan apa?”
“Sesuai rencana awalmu. Kita cari masalah, tapi bukan kita yang kena. Fandi harus percaya pelakunya Suryo… lebih tepatnya, anaknya.”
Wira menatap Vincent lebih serius. “Jadi… kau mau culik ketiga gadis itu?”
Vincent mendengus. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Kita cukup sandera gadis yang digendong Fandi tadi. Dua lainnya biarkan. Mereka akan panik… dan pasti minta tolong pada Fandi.”
Senyum Vincent melebar, dingin.
“Kita kirim foto atau video Epi waktu disekap. Fandi pasti datang.”
“Dan…?” Wira menunggu, mulai kesal ketika Vincent terdiam.
Vincent tertawa kecil.
“Dan gadis itu akan bilang kalau semua ini perintah Angga Wijaya. Anak Suryo Wijaya.”
Wira ikut tersenyum puas. “Kau benar. Kalau begitu, ayo temui orang kita. Kita lakukan hari ini. Aku nggak mau nunggu lama.”
Mereka saling pandang, sebuah rencana gelap resmi dimulai.