Di tahun 2036, dua agen elit Harzenia Intelligent Association (HIA), Victor dan Sania, mendapatkan tugas khusus yang tak biasa: mudik ke kampung halaman Victor. Awalnya terdengar seperti liburan biasa, namun perjalanan ini penuh kejutan, ketegangan emosional, dan dinamika hubungan yang rumit
Sejak Kekaisaran jatuh hanya mereka God's Knight yang tersisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emperor Zufra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19:Pahlawan dan penebusan
Keesokan Pagi di Distrik Vremia, awan mendung menggantung rendah. Tanah berlumut dan ilalang mengelilingi taman peringatan para pejuang, tempat di mana para agen yang gugur dalam insiden Pulau Orson diabadikan. Batu-batu hitam mengkilap berbaris rapi. Di salah satunya tertulis:
Adolf Eichmann
Agent of IIA — “Freiheit ist alles.” *Kebebasan adalah segalanya.
Satoshi Takamura
Agen of SIA —"和栗さん、いつも大好きです" *Waguri aku akan
selalu mencintaimu.
Vladimir Xyn silitwagi
Agen Of GIA—"Heroji nikad ne umiru, ali ja umirem" *Pahlawan tidak akan pernah mati, kecuali aku.
Victor berdiri mematung di depan batu itu. Rambutnya kini diikat ke belakang, rapi seperti saat pelatihan dulu. Di sisi lain, Sania mengenakan jaket panjang abu tua, berdiri tenang, namun sorot matanya tajam dan dalam.
"Aku belum siap baca semua nama di sini," bisik Victor.
"Aku nggak pernah siap," jawab Sania, matanya tertuju ke nama Xyn dan Takamura. Melihat hal itu Victor lantas berkata "Mereka yang selalu bilang 'kita bakal hidup lebih lama dari musuh kita' Ternyata... sebaliknya mereka mati dulu."
>"Walaupun aku baru bertemu mereka beberapa hari tapi mereka sudah ku anggap seperti Sahabat"
Victor menarik napas panjang, lalu membuka sebuah kapsul kecil dari kantong jaketnya. Di dalamnya ada chip data holografik—rekaman terakhir dari Eichmann, yang dia kirim beberapa jam sebelum tewas.
Mereka menyalakan chip itu. Muncul bayangan Eichmann yang berbicara dengan suara parau namun mantap:
> “Jika kalian mendengar ini, berarti aku tidak kembali. Jangan menangis, jangan meratapi. Menangislah jika kalian lupa apa yang kami perjuangkan. Menangislah jika kalian menyerah sebelum dunia damai. Tapi jika kalian masih berjalan, meski setengah mati... maka aku hidup dalam setiap langkah kalian.”
Hening.
Victor mematikan chip itu. Sania menutup matanya.
"Apa menurutmu... dia percaya kita masih bisa menyelamatkan dunia setelah semua ini?" tanya Sania pelan.
"Aku rasa," jawab Victor, "dia percaya kita bisa menyelamatkan satu sama lain dulu."
Sania mengangguk, lalu mengeluarkan dua lilin kecil dan meletakkannya di depan nama-nama itu. Angin mulai berhembus lembut, membawa aroma bunga malam yang ditanam warga sekitar sebagai bentuk terima kasih.
Setelah upacara hening, mereka berjalan menyusuri gang sempit kota lama. Victor membawa payung transparan. Sania tetap santai menantang gerimis.
"Heh, masih nggak suka payung?" goda Victor.
"Masih nggak suka cowok bawel," balas Sania, namun senyum kecil di wajahnya menghapus kerasnya nada itu.
Mereka mampir ke sebuah kedai kecil bernama “Lumen & Roti”, tempat Jennah dulu suka nongkrong kalau sedang kabur dari pelatihan. Di dinding kedai, tergantung foto-foto lama—termasuk satu yang membuat Sania tertegun.
Foto mereka berenam: Bendi, Jennah, Nari, Sania, Victor dan Pluto. Di bandara. Tertawa. Di hari awal mereka jadi pahlawan di kota.
Sania menatap lama.
"Aku benci kenapa kenangan sehangat ini malah muncul sebelum tragedi." Ucap sania
>"Btw Tu Foto Pluto Merusak pemandangan ae" Ucap Sania
Victor menatap foto itu juga, kemudian berujar, "Tapi... kalau bukan karena tragedi itu, kita nggak akan sedekat ini."
Sania meliriknya tajam. "Berarti harus perang dulu supaya aku sayang kamu, gitu?"
Victor mendadak gugup. "Maksudku bukan gitu—aku—Cuma mau bilang kalau Perang itu memberikan kita arti beru soal Harapan dan Cinta. "
Sania tertawa pelan. "Aku tahu maksudmu, The Kid."
Setelah pembicaraan yang Singkat tadi Mereka pun duduk, memesan roti madu dan teh herbal. Di luar jendela, dunia tampak tenang—seolah memberkati dua jiwa yang mencoba melanjutkan hidup, satu langkah demi satu.
Di akhir hari, di stasiun bawah tanah tempat agen-agen HIA biasa berangkat, Sania berdiri dengan tas selempang kecil. Ia akan ditugaskan kembali untuk sementara ke markas di utara untuk evaluasi pasca-misi. Victor akan tetap di Vichy, menjadi koordinator teknis pasukan cadangan Mereka berdiri saling berhadapan. Suasana hening. Kereta bersinar pelan di kejauhan.
"Jaga dirimu," ucap Victor, menatap dalam.
"Kau juga," jawab Sania. "Jangan makan mi instan 3 kali sehari. Aku tahu kau gitu."
Victor hanya tersenyum. Sania maju setapak, menatapnya penuh. Hatinya seperti ingin bicara, tapi belum sepenuhnya siap. Lalu…
"Victor."
"Hm?"
"Aku… nanti akan kembali. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai seseorang yang ingin tahu… apakah kamu masih akan menyukaiku meskipun dunia tak lagi di ujung kehancuran."
Victor membeku. Matanya membesar. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Sania sudah masuk ke dalam kereta Dan pintu menutup.
1 minggu setelah Sania bertugas ke markas utara Kota Vichy sedang ramai. Festival Musim Semi digelar kembali untuk pertama kalinya sejak perang. Lampion plasma menggantung di sepanjang jalan pusat kota. Warga tertawa. Anak-anak berlarian. Tapi Victor justru duduk sendirian di balkon apartemennya. Di depannya, secangkir teh mint mulai mendingin.
Di meja, ada surat Bukan email, Bukan pesan sandi, Tapi surat kertas, Ditulis tangan Tulisan tangan Sania.
> "Kalau kau membaca ini sebelum jam 5 sore, jangan ke mana-mana.
Aku akan datang, Tapi kalau setelah jam 5 sore, ya sudah... berarti aku gugup dan batal, Victor melihat jam tangannya. 16:59.
"Dia nggak berubah," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Lalu… bel pintu berbunyi Di dalam apartemen Sania berdiri di depan pintu, masih mengenakan jaket tugas dengan simbol God's Knight yang mulai pudar. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Bukan dari pakaian atau gaya rambutnya. Tapi dari sorot matanya.
Tenang.
"Masih suka baca novel detektif Norwegia di balkon, ya?" sapanya santai.
"Kamu masih suka datang tanpa aba-aba," balas Victor, berdiri kikuk.
Sania masuk. Diam sebentar. Menatap foto-foto yang tergantung di dinding. Salah satunya: mereka berdua tertidur di padang rumput Desa Rowling, kepala Sania bersandar di bahu Victor, dengan latar matahari tenggelam Yang Indah Bak Lukisan Surga yang indah tak bisa dilukiskan oleh tangan manusia.
"Aku rindu momen itu," ucapnya.
Victor menatapnya pelan. "Aku juga."
Beberapa menit berlalu Mereka duduk berseberangan. Awkward. Hening. Teh sudah habis. Tapi tak ada yang berani memulai duluan. Sampai akhirnya Sania berkata:
"Victor… aku sudah lama ingin tanya ini."
"Hm?"
"Apa yang akan kamu lakukan… kalau kamu suka seseorang… tapi tahu kalian punya batasan yang tak bisa diubah?"
Victor menatap mata Sania. Dalam. Jujur.
"Aku akan tetap mencintainya. Tapi diam-diam. Karena mencintai itu bukan soal memiliki. Tapi soal menjaga jarak, agar dia tetap bersinar."
Sania terdiam. Jelas, itu bukan jawaban yang dia harapkan.
"Tapi…" lanjut Victor. "Kalau orang itu memilih mendekat, walaupun tahu aku berbeda, aku akan membuka tangan dan bilang: ‘Selamat datang. Kamu bisa bersandar di sini.’"
Air mata Sania jatuh. Satu tetes. Lalu dua. Tapi senyum terbit di wajahnya.
"Aku capek, Vic."
"Aku tahu."
"Aku... capek berpura-pura kuat, berpura-pura benci, berpura-pura tak peduli. Aku hanya ingin... sesekali merasa aman."
Victor bergerak pelan. Duduk di sampingnya.
"Kalau begitu, jangan pura-pura lagi."
Sania menoleh. Dan tanpa aba-aba, ia menyandarkan kepalanya di bahu Victor. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya hening… dan dada yang terasa lebih ringan Di luar jendela Hujan tampak hendak turun…tapi tak jadi Seolah langit tahu: dua hati akhirnya saling Melengkapi satu sama lain.
Malam sudah jatuh Victor dan Sania masih duduk di balkon, ditemani bintang-bintang yang mulai muncul. Angin malam menggerakkan tirai perlahan, seolah ikut mendengarkan apa yang tidak diucapkan.
Sania menatap langit. “Kalau tidak ada perang... mungkin hidup kita akan berbeda.”
“Kalau tidak ada perang... mungkin kita tidak akan pernah bertemu,” jawab Victor pelan.
Sania mengangguk pelan. “Dan mungkin... aku tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya diselamatkan, dimarahi, ditertawakan, dan... dicintai dalam diam.”
Victor menoleh. “Aku tidak pernah bilang aku—”
Sania menatapnya, mata berkaca. “Tapi aku tahu.”
Senyap.
Tak ada yang harus dijelaskan. Tak ada deklarasi. Tak ada “aku cinta kamu” seperti di drama-drama. Hanya saling tahu... dan itu cukup.
Beberapa hari kemudian Sania berdiri di depan markas HIA, membawa koper kecil Victor menghampiri dari belakang, menyerahkan sesuatu — kompas kecil dari perak, yang dulu pernah mereka temukan di reruntuhan kota Loja.
“Aku ingat kamu yang pertama kali nemu ini,” ucap Sania.
“Sekarang giliran kamu yang simpan. Kalau kamu tersesat... aku harap itu bisa bantu kamu kembali.”
Sania menerima kompas itu. Tersenyum.
“Kalau aku nggak kembali dalam 6 bulan, kamu bakal nyusul?”
Victor menjawab, “Nggak.”
Sania kaget. Tapi sebelum sempat bicara, Victor melanjutkan, “Kalau kamu nggak kembali... aku bakal datang lebih cepat dari itu.”
Sania terdiam. Lalu tertawa kecil, sembari menyeka air mata yang tak bisa ia tahan.
“Janji?” tanyanya.
Victor hanya mengangguk. Tak berkata apa pun.
Tapi di antara mereka… janji itu sudah lebih dari cukup.
Sania masuk ke dalam pesawat angkut milik HIA, lambat laun menjauh dari markas.
Victor menatap langit. Kompas cadangan di tangannya bergetar sedikit—entah karena angin, atau karena hatinya sendiri.
Lalu dia tersenyum. Bukan senyum senang. Tapi senyum... yang menyimpan harapan.
> Dan begitulah. Jeda sementara, bukan akhir.
Karena cinta yang tumbuh dari luka... tak pernah benar-benar pergi.
Hanya menunggu waktu untuk mekar sempurna.
Langit Vichy hari itu berwarna keemasan. Awan tipis bergulung di angkasa, melayang tenang seolah lupa bahwa dunia sempat di ambang kehancuran. Di salah satu balkon apartemen lantai 9 yang menghadap Sungai Liria, Sania duduk menyender di kursi besi dengan tangan menahan dagu. Di depannya, segelas teh melati yang sudah dingin sejak dua puluh menit lalu.
Langkah kaki dari dalam ruangan mendekat. Victor keluar dengan hoodie abu-abu dan secangkir kopi di tangan.
"Aku buatkan yang tanpa gula, sesuai selera orang tua," kata Victor setengah bercanda, menaruh cangkir di sebelah Sania.
Sania menoleh, menahan senyum. "Heh, tumben kamu nggak nyindir."
"Capek nyindir kamu terus," Victor duduk di sampingnya, memandang langit. "Lagian... kalau terus-terusan nyindir, takutnya nanti malah kangen kalau kamu pergi."
Sania terdiam, Beberapa bulan berlalu sejak kejadian di Pulau Orson. Dunia kembali sunyi, meski belum sepenuhnya pulih. Banyak kota masih dihantui trauma, tapi kehidupan perlahan bangkit. Termasuk mereka.
"Aliansi nawarin aku jadi pengajar di akademi intelijen," ucap Victor, masih menatap langit.
"Bagus dong," jawab Sania pelan.
"Tapi aku tolak."
Sania menoleh cepat. "Kenapa?"
Victor tidak langsung menjawab. Dia hanya menghela napas. Matanya sedikit menyipit karena cahaya senja yang menerpa wajahnya. "Aku... ingin nyari tahu apa lagi yang tersisa buatku, selain cuma jadi alat negara."
Sania tertawa kecil. "Wah, filsuf mendadak kau selalu begitu tidak pernah berubah ya."
Mereka tertawa sejenak. Hening kembali menyapa mereka, tapi hening yang hangat—bukan canggung. Hening seperti dua orang yang tak butuh banyak kata untuk merasa nyaman.
"Aku... akan pergi beberapa bulan ke utara," ucap Sania akhirnya. "Ada tugas dari pusat SIA. Mereka masih menelusuri jejak sisa dari keluarga Nerva dan mungkin aku akan mempelajari apa yang terjadi Saat kudeta dlu."
Victor menunduk sedikit, lalu mengangguk pelan. "Kamu akan baik-baik saja?"
Sania menoleh, lalu berkata pelan. "Nggak tahu. Tapi aku harap kamu tetap di sini... nungguin aku pulang hehehe."
Victor menggenggam cangkirnya erat. Ada ribuan kata di dalam dadanya, tapi hanya satu yang akhirnya keluar.
"Aku akan tunggu sampai kapanpun."
Sania menatapnya, lalu berdiri pelan. "Kamu tahu kan... aku beda sama kamu."
Victor menoleh, tatapannya dalam. "Kamu manusia. Itu cukup."
Sania menahan napas, kemudian tersenyum tipis. "Dasar bodoh." Lalu dia masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Victor di balkon—sendiri, tapi tak lagi kesepian.
Seminggu kemudian
Di terminal keberangkatan bandara Internasional Harzenia, Sania berdiri dengan pakaian hitam khas agennya, membawa satu koper dan tas selempang. Victor datang dengan langkah cepat, membawa satu kotak kecil.
"Nih," katanya, menyerahkan kotak itu. "Buat di perjalanan."
Sania membukanya. Di dalamnya ada roti isi yang sudah dibungkus rapi dan secarik catatan:
"Kalau kamu lapar, ingat ini dari orang yang selalu nyindir kamu, tapi diam-diam nyayangin kamu."
Sania tersenyum. Matanya memerah.
"Victor..." ucapnya pelan.
"Aku tahu," sahut Victor. "Nggak perlu bilang apa-apa sekarang."
Sania memeluknya. Sebentar, tapi hangat.
"Kalau aku pulang nanti... mungkin aku bakal bilang sesuatu yang selama ini kutahan," bisik Sania.
Victor hanya mengangguk dan di momen setelah itu sesuatu yang tak terduga terjadi setelah itu.
"Mungkin kelamaan kalau nunggu aku pulang.....kalau kau mau akan ku kasih..."
*Muach suara Sania mencium bibir Victor
"Sania!?"
"orang di stasiun itu benar kita adalah Pasangan, aku Cinta kau Victor!" ucap Sania dengan pipi memerah
>"mau kah kau menikahi ku dan jadi Pasangan ku Victor?"
"Harusnya, aku yang bilang Seperti itu Sania, Dasar kau ini" ucap nya dengan Kata tertutup dan senyum tipis
di momen itu mereka saling Bertatap-tatapan sebelum Sania Kembali memeluk Victor Dengan Gembira mendengar kabar itu
Ternyata dua jiwa yang awalnya Gk bisa akur kek anjing dan kucing akhirnya luluh juga Dan kemudian saling mencintai satu sama lainnya Di kala author Novel ini Jomblo.
Mata Sania pun berkaca-kaca sembari memeluk Victor dengan erat
>"AAA!!, aku mencintaimu Victor"
"Iya aku tau"
ucap Victor sambil meneteskan air mata Penuh Cinta
"Janji kan Untuk selamanya?" ucap Sania
>"Cintaku.. "
"Sampai Kapanpun Itu asal bersamamu"
Mereka pun kembali Berciuman mesra Di Lorong Bandara Sebelum keberangkatan Sania Pergi ke Markas HIA di negara Bagian Benalux.
Setelah itu Mereka pun berpisah di momen itu Pesawat Sania lepas landas menuju utara. Victor berdiri lama di tempat yang sama, memandang ke arah langit, tempat pesawat itu perlahan menghilang di awan yang Tinggi.
Bersambung...
.hai salam kenal/Good/
bab nya panjang sekali