“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Yang Menolak Pergi
“Tara! Elo dari mana saja sih? udah jam segini baru nongol!”
Fifi langsung menyerbu dengan pertanyaan begitu Tara muncul dari pintu masuk kamar kost. Ekspresinya penuh rasa ingin tahu. “HP lo juga nggak bisa dihubungi dari tadi. Gue sampai mau nyampperin elo ke kantor, tahu nggak?”
Tara menunduk, melepas sepatunya. “Maaf Fi, tadi aku harus ngerjain laporan untuk meeting pagi. Waktu mau hubungi kamu ponselku lowbat, aku lupa nggak bawa charger,” jawab Tara beralasan. Ia belum berani mengatakan pada Fifi bahwa ia barusaja bersama Alan.
Fifi menghela napas. “Hape jadul lo itu buang aja nggak sih,” celetuk Fifi yang masih terlihat sebal. “Udah soak juga.”
Tara terkekeh pelan. “Nabung dulu nggak sih, baru bisa beli yang agak bagus.”
Fifi manggut-manggut. Tara memang baru terhitung beberapa hari kerja saat masuk periode tutup buku. Paling bulan ini terima gajinya juga nggak seberapa.
“Ya sudah sih, gajian bulan depan saja gue temenin ke konter buat beli hape baru.”
Tara mengangguk, “Baiklah,” sahutnya. “Asal aku nggak dipecat saja,” lanjutnya cukup lirih, seolah ucapan terakhirnya itu ia tujukan pada diri sendiri.
Namun sayangnya ucapan itu tertangkap juga oleh indera pengengaran Fifi yang tajam. “Apa?!” tanyanya seketika sembari menatap Tara tajam. “Elo dipecat?!”
Gadis itu menjulurkan tangan, menarik Tara ke kasur, lalu mendudukkannya di sana. “Kamu ngelakuin apa memangnya sampai dipecat, hm?” tanyanya kemudian menatap Tara penasaran.
“B_bukan begitu, Fi.” Sanggah Tara sembari menggoyang-goyangkan tangan ke kiri dan ke kanan di hadapan Fifi.
“Terus?” desak Fifi.
“Aku... aku tadi asal ngomong saja.”
Krik... krik... krik... krik...
Hening, hanya suara jangkrik yang terdengar di luar sana.
Dari caranya menatap Tara sepertinya Fifi belum percaya sepenuhnya.
“Sungguh, Fi... aku nggak bohong,” imbuh Tara mengangkat satu tangan.
“Yakin? Nggak bohong, kan?” tanya Fifi memastikan.
Dan Tara pun langsung mengangguk, membuat Fifi spontan mengelus dada karena lega.
“Syukur deh kalau gitu. Karena sayang banget kalau Lo sampai keluar dari perusahaan besar seperti itu.”
Tara mengangguk saja, tak menanggapi lebih jauh. Tapi rupanya kekepoan Fifi tak sampai di situ saja. Beberapa detik selanjutnya pertanyaan lain keluar dari mulut gadis itu.
“Terus yang ngantar lo tadi siapa?”
Tara menelan ludah. Ia merasa pasti Fifi melihat dirinya keluar dari mobil Alan tadi.
“I_itu Fi... itu... teman kantor. Teman satu ruangan.”
Mata Fifi Memicing. “Benarkah? Cuma teman satu ruangan?”
Tara mengangguk. Tapi reaksinya itu sepertinya tak serta merta membuat Fifi langsung percaya.
“Temen Lo tajir juga ya,” ujarnya kemudian. “Sekelas staff biasa, naiknya Phantom VIII.”
Glek
Tara menelan ludah lagi. Ia lupa kalau Fifi sekarang seorang sales executive di salah satu showroom mobil mewah di kota itu. Tentu saja dia sudah khatam dengan berbagai jenis dan type mobil.
“M_masa sih?” Tara terlihat gugup. “K_kamu salah lihat kali\, Fi?”
Fifi melirik Tara Lagi dengan tatapan curiga. “Gue nggak mungkin salah, Tara. Gue sempat lihat tadi lo waktu turun dari mobil itu.”
Tara memilih tak menyahut. Dan Fifi pun sepertinya tak menuntut penjelasan lebih jauh lagi setelah itu. Gadis itu menghela napas beberapa saat kemudian sebelum bicara lagi pada Tara.
“Ya udah deh... udah malam, mandi dulu sana gih.”
Tara buru-buru mengangguk. Ia bangkit dan bergegas menyambar handuk, setelah itu ngacir ke kamar mandi daripada harus menghadapi pertanyaan lanjutan dari Fifi yang sudah seperti seorang detektif swasta.
Sementara itu di tempat berbeda, Alan yang sejak beberapa saat lalu telah mematikan mesin mobilnya di garasi mobil kediaman Hardinata, masih duduk diam di balik kemudi. Bayangan akan perbincangannya dengan Tara tadi kembali menyeruak diingatannya.
Tangan pria itu lalu terulur, mengeluarkan kotak biru tua kecil yang tadi diberikan Tara dari saku jasnya. Ia lalu membukanya.
Alan terdiam lama begitu melihat dua cincin beda warna yang tergeletak di dalam kotak itu.
Lira... Tara...
Dua nama itu berputar di kepalanya. Ia masih ingat bagaimana Lira menatapnya dengan mata berbinar dan penuh harap saat dirinya menyematkan slaah satu dari cincin itu di jari manisnya tiga tahun lalu di upacara pernikahan mereka yang megah, disaksikan ratusan tamu undangan dari kalangan pengusaha papan atas dan selebritas ternama.
Lalu... ingatannya bergulir pada kejadian satu tahun lalu, saat dirinya menyematkan cincin yang lain di kotak itu di jari manis Tara, cincin yang selama ini tidak pernah lepas dari jari tengah kirinya. Cincin peninggalan Lidya, ibunda tercintanya.
Bukan karena cinta Alan melakukan itu, tapi karena sebuah keterpaksaan. Ia ingat bagaimana air mata Tara jatuh saat ia melakukan prosesi itu, bukan karena haru. Tapi karena takut dengan mata-mata warga desa yang berkerumun di sekitar mereka yang seolah hendak menguliti keduanya.
Alan menutup mata sejenak, bayangan akan kejadian di pinggiran hutan desa Cimara waktu itu kembali terulang. Saat dirinya barusaja membuka mata untuk pertama kalinya setelah pingsan entah berapa lama. Meski samar, ia bisa melihat wajah gadis dengan rambut berantakan mencoba memberinya napas buatan.
Sentuhan bibir itu, lembut tapi penuh ketakutan.
Alan membuka matanya perlahan. “Tara...” bisiknya lirih.
Ia menatap cincin-cincin itu sekali lagi sebelum dengan napas yang sedikit berat menutup kotaknya. Ada perasaan aneh bergolak di dadanya yang sulit untuk ia jelaskan dengan kata-kata.
Alan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, matanya kemudian memejam kembali. Untuk beberapa lama ia membiarkan malam dan kesunyian di kabin menelan seluruh pikirannya.
Saat akhirnya Alan telah kembali bersama Lira di kamar utama kediaman Hardinata malam itu, nyatanya bayangan akan Tara tak benar-benar bisa terhapus dari pikiran Alan.
Bahkan sentuhan dan senyum Lira yang tengah mencumbuinya perlahan memudar, tergantikan oleh bayangan lain. Tara dengan rambut berantakan, pipi tercoreng lumpur basah, dan tangan yang gemetar berusaha menghidupkannya kembali di pinggiran hutan. Nafas yang dulu terasa getir, tapi juga... hangat. Ia akui itu.
Alan mati-matian menepis bayangan itu. Ia memejamkan mata, mencoba fokus pada sosok yang kini tengah memperlakukannya dengan begitu mesra, pada kehangatan nyata yang ada di hadapannya. Tapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas wajah itu muncul, membuat jantung Alan berdegup tak beraturan.
Ia membenci ini, membenci dirinya karena membiarkan bayangan Tara muncul di momen manis saat dirinya bersama Lira.
“Persetan,” umpatnya dalam hati, dan tanpa sadar mengeraskan rahangnya.
Namun tetap saja bayangan itu tak mau pergi. Seolah telah menempel kuat di dasar pikirannya. Bahkan sentuhan Lira yang biasanya langsung mampu membangkitkan hasratnya, kali ini benar-benar tak berarti apa-apa.
Alan membuka mata, menatap langit-langit kamarnya. Wajah Lira yang hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya entah kenapa terasa begitu jauh.
Alan kembali mengumpat dalam hati, “Kenapa kau harus muncul lagi di hidupku, Tara.”
“Mas kenapa?” tanya Lira yang seolah menyadari ada yang berbeda dari suaminya.
Alan menggeleng cepat. “Tidak, Sayang. Mas hanya sedikit lelah.”
Lira menatap suaminya lekat-lekat, seolah mencoba membaca pikiran Alan. Ada sesuatu yang berbeda, ia tahu itu.
Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Alan lebih dulu menariknya mendekat.
Pria itu dengan cepat menyambar bibir Lira, ia ingin menenggelamkan diri dalam kehangatan istri yang selama ini begitu dicintainya. Ia memperlakukan Lira dengan gairah yang malam ini entah kenapa terasa asing bagi dirinya sendiri, bukan karena cinta, melainkan karena keputusasaan untuk menepis bayangan yang menolak pergi.
Tara.