"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 18
...Aku tidak akan mengatakannya kalau tidak yakin bahwa kamu adalah jawabannya....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
POV Tiara
Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang aku dengar. "Apa yang kamu katakan?" tanyaku, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Senja menatapku dengan mata yang penuh cinta. "Aku mencintaimu, Mutiara Anindhita. Aku telah mencintaimu sejak lama, bahkan jauh sebelum aku pertama kali membaca tulisanmu."
Aku merasa seperti ada yang menghantam kepalaku dengan palu. Aku tidak percaya Senja ternyata memiliki perasaan seperti itu terhadapku.
"Maksudmu?" tanyaku, dengan suara yang penuh kebingungan dan masih sangat terkejut. "Aku tidak mengerti. Kita baru saling mengenal 3 bulan terakhir, bagaimana bisa kamu berkata seperti itu?"
Senja tersenyum, dengan senyum yang membuatku mulai merasa tidak nyaman. "Sepertinya kamu sudah lupa aku, tapi aku tidak pernah melupakanmu," katanya, dengan suara yang rendah. "Aku ke toilet sebentar." Dia kemudian bangkit dari duduknya. "Oh ya, mengenai pernyataan cintaku barusan, aku tidak memerlukan jawaban apa pun darimu. Aku memang hanya ingin mengungkapkannya saja agar hatiku lebih lega, apalagi aku tahu sekarang kamu masih berstatus istri orang." Setelah mengatakan kalimat itu, dia akhirnya melangkah pergi meninggalkanku sendirian karena Reyhan belum juga kembali.
Aku menatap Senja dengan mata yang penuh kebingungan. Memangnya sejak kapan dia mengenalku? Mengapa dia tiba-tiba menyatakan cinta di saat seperti ini? Berbagai pertanyaan muncul memenuhi kepalaku.
Aku mencoba mengingat-ingat, apakah aku pernah bertemu dengan Senja sebelumnya? Jika iya, mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun tentangnya.
.
.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
.
.
POV Senja
Aku menghela napas setelah membasuh wajahku dengan air. Aku menatap lekat pantulan wajahku di cermin, lalu tersenyum. "Aku bangga padamu," kataku pada diri sendiri. Akhirnya, kata itu bisa terlontar juga setelah sekian lama kutahan-tahan gejolaknya.
Aku masih belum percaya bahwa aku bisa menyatakan perasaanku pada Tiara secepat ini, rasanya seperti mimpi. "Aku mencintaimu, Mutiara Anindhita." Aaakh... aku telah menahan perasaan itu sejak lama, dan akhirnya aku bisa melepaskannya. Kini hatiku terasa jauh lebih ringan, seperti kehilangan beban muatan berbobot tinggi.
Aku mencoba mengingat-ingat reaksi Tiara saat aku mengatakannya. Dia terlihat sangat terkejut. Entah nanti dia akan marah padaku atau tidak, akan membenciku atau tidak. Pokoknya, aku sudah bertekad mengejar cintanya tanpa kenal kata menyerah. Toh sekarang belang suaminya sudah ketahuan juga. Bodoh sekali jika dia masih mau memberi kesempatan kedua untuk pria seperti itu.
Karena sejatinya, selingkuh itu adalah penyakit, satu-satunya yang bisa mengobati adalah liang lahat.
Bisa jadi, hari ini pelaku sadar dan berjanji tidak akan mengulangi, tapi cepat atau lambat dia pasti akan kembali melakukan kesalahan yang sama.
Tiba-tiba ingatanku terbang ke masa lalu, tepatnya 20 tahun silam. Saat itu aku sudah berusia 15 tahun, dan Tiara baru berusia 11 tahun.
Flash back on
"Bang Jaja, Bang Jaja... minta tolong ambilin layangan aku lagi dong. Aku gak bisa manjat...."
Aku mendengus kesal lalu menatap gadis kecil yang merengek itu dengan tajam. "Ngerepotin banget sih," kataku marah. Bukan apanya, sejak pagi sudah hampir 10 kali aku memanjat pohon mangga yang ada di halaman rumah kakek-neneknya, hanya untuk mengambilkan layangannya yang tersangkut.
"Ini, layangan kamu, lain kali aku gak mau lagi manjat pohon mangga buat kamu," kataku, menyerahkan layangan yang baru saja aku ambil. Meski sudah aku omeli berkali-kali, tapi dia hanya tersenyum padaku. Manis sih, tapi nyebelin. Ditambah kulitnya yang terlihat gelap akibat terbakar sinar matahari. "Lagian, anak perempuan kok main layangan, main boneka barbie sana, di dalam rumah, biar kulitmu gak gosong."
Karena tidak mau lagi disuruh memanjat, aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, menyusul kakekku yang sedang mengobrol dengan kakeknya Tiara.
"Kek, pulang yuk. Aku bosan di sini terus," bisikku pada Kakek yang duduk sendirian di ruang tamu. Entah sang empunya rumah pergi ke mana, aku pun tak tahu.
"Sebentar dulu. Masih ada hal penting yang ingin kami bicarakan," balas Kakek ikut berbisik. Tak lama kemudian, Kakeknya Tiara keluar dan duduk kembali bersama kami, sambil membawa sebuah keris di tangannya.
"Lihat, keris ini bagus, bukan?" Kek Mahmud, kakeknya Tiara memberikan salah satu koleksi kerisnya kepada kakekku.
"Wah, bagus sekali. Dari mana kamu mendapatkannya, Mud? Aku sudah lama mencari yang seperti ini, tapi tidak pernah menemukannya di mana pun."
"Itu hadiah dari temanku yang pandai besi, tapi orangnya sudah meninggal bulan lalu," kata Kek Mahmud.
Kakek terus memeriksa benda tersebut sambil membolak-balikkannya. "Mud," panggil Kakek kemudian.
"Iya, kenapa?"
"Apa cucumu sudah dijodohkan dengan seseorang?"
"Maksudmu Tiara?"
Kakekku mengangguk. "Kalau belum, aku ingin menjodohkannya dengan Senja, cucuku. Saat nanti mereka sama-sama dewasa, ayo kita nikahkan mereka. Kita berbesan." Kakekku lalu tertawa, yang langsung mendapat tatapan tajam dariku.
.
.
*Note: Sorry pendek, Otor lagi sibuk banget🤧🙏🏼