Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 MSUM
"Pak Leonardo, ini wedang jahenya sudah jadi," ucap Alia pelan, sambil membawa secangkir teh hangat ke ruang tamu.
Ia melihat Leonardo masih tertidur lelap di sofa. Wajahnya tampak tenang, namun ada jejak kelelahan yang jelas terlihat dari garis matanya yang memerah dan napasnya yang dalam.
"Pak, bangun… minum dulu tehnya, biar tubuh Bapak hangat," ujar Alia lagi, kali ini dengan sedikit menggoyangkan bahunya.
Leonardo hanya menggeliat pelan dan menggumam, "Em… em…" lalu kembali terlelap.
Alia menghela napas panjang. "Astaga, susah sekali membangunkannya. Mungkin dia benar-benar kelelahan."
Ia menatap wajah Leonardo sejenak, merasa iba. Lalu meletakkan teh itu di meja dan bergumam pelan, "Yasudah, kalau begitu nggak usah dibangunin… biar istirahat."
Alia pun membungkuk, membenarkan posisi tidur Leonardo dengan hati-hati. Ia meraih bantal kecil lalu meletakkannya di bawah kepala pria itu. Kemudian, dengan lembut, ia menyelimuti tubuh Leonardo menggunakan selimut tipis yang tergantung di sandaran sofa.
"Selamat tidur, Pak… semoga mimpi Bapak indah malam ini," bisiknya lirih.
Saat Alia hendak berbalik dan pergi menuju pintu, tiba-tiba tangan Leonardo terangkat pelan dan menggenggam pergelangan tangan Alia. Gadis itu terkejut, menoleh cepat.
"Pak?" tanyanya dengan suara bergetar.
Namun Leonardo tidak membuka mata. Ia hanya bergumam dalam igauannya, "Jangan pergi… jangan tinggalkan aku sendirian… ibu jangan pergi...
Alia terpaku. Matanya membelalak pelan. Ia baru menyadari bahwa sosok dingin dan berwibawa seperti Leonardo, menyimpan luka yang dalam dan kesepian yang menyiksa.
____
"Ibu… jangan pergi…"
Suara lirih itu kembali terdengar. Leonardo mengigau dalam tidur, nadanya penuh kepedihan. Tangan besarnya menggenggam erat pergelangan tangan Alia, seakan tak ingin ia menghilang dari sisinya.
Alia terpaku. Tatapannya mengarah lurus ke wajah Leonardo yang tenang dalam tidurnya, namun tampak terluka dari dalam.
"Setauku Orang tua Pak Leonardo meninggal saat beliau masih kecil…" gumam Alia pelan. "Dan beliau dibesarkan oleh kakeknya… Tapi sekarang kakeknya juga sudah tiada… Pasti beliau sangat kesepian, dan sangat rindu keluarganya."
Tiba-tiba, genggaman Leonardo semakin erat.
"Eeem… Em…"
Alia tersentak kecil, lalu tersenyum samar. Ia membisikkan lembut, "Baiklah… saya tidak akan pergi, Pak. Jadi, tidurlah dengan nyenyak, oke?"
Waktu berlalu. Malam merambat sunyi, dan akhirnya Alia pun tertidur di sisi sofa, bersandar dengan posisi yang tak nyaman—namun hatinya sedikit hangat, entah mengapa.
____
Pagi mulai menyapa. Sinar matahari menyusup malu-malu dari celah gorden apartemen. Diiringi suara burung dan deru samar kendaraan dari jalanan kota.
"Hoaaam… hoam…"
Alia menggeliat kecil. Matanya masih terpejam, lalu ia mengerutkan dahi.
"Huh? Apa ini… kok keras banget? Perasaan bantal gulingku nggak sekeras ini deh…"
Dengan tangan setengah malas, ia meraba sisi tubuhnya—keras, hangat, dan…
"Eh…?" Matanya langsung terbuka lebar.
"ASTAGA!" jeritnya dalam hati.
Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang saat melihat… Leonardo! Pria itu masih terlelap, tidur hanya beberapa jengkal darinya, di sofa panjang yang semalam mereka tempati bersama.
Alia memandang sekeliling. Kemudian ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sambil memproses semuanya.
"Oke… tarik napas, Alia. Tarik napas… jangan panik." Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri pelan.
Potongan kejadian semalam mulai terputar di kepalanya—Leonardo yang mabuk, igauan rindu tentang ibunya, genggaman tangan, dan akhirnya… ia tertidur karena kelelahan.
"Yaa Tuhan… semoga dia nggak salah paham," gumamnya pelan sambil mengintip wajah Leonardo yang masih terlelap.
Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Alia mencoba bangkit dari sisi sofa. Ia menoleh sejenak ke arah Leonardo yang masih terlelap, memastikan genggamannya sudah terlepas. Setelah itu, dengan langkah perlahan, ia menyusuri ruang tamu dan membuka pintu apartemen dengan sangat hati-hati.
“Akhirnya… selamat,” bisik Alia pelan sambil menutup pintu dari luar, lalu menghela napas lega. “Astaga… jantungku rasanya mau copot semalaman.”
Sementara itu, beberapa menit setelah Alia pergi, Leonardo perlahan membuka matanya. Ia meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar.
“Hoam… hoam…” gumamnya. “Tidurku nyenyak sekali rasanya…”
Ia mengusap wajahnya dan menatap langit-langit dengan tatapan kosong sejenak. Namun, wajahnya perlahan berubah. Ada sesuatu yang muncul dalam benaknya.
“Tunggu… semalam aku mimpi apa ya?” pikirnya. “Rasanya seperti… aku tidak tidur sendiri.”
Bayangan samar seorang perempuan duduk di sisinya, menggenggam tangannya, menatapnya dengan tatapan hangat—semuanya datang bertubi-tubi seperti fragmen mimpi.
Beberapa saat kemudian, Leonardo masuk ke kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, menyapu sisa kantuk dan kelelahan dari semalam. Uap tipis mengepul di sekitarnya. Tubuhnya yang tinggi dan tegap perlahan terlihat di balik cermin berembun.
Otot-ototnya yang keras terbentuk sempurna, mencerminkan kedisiplinan dan gaya hidup teratur. Garis-garis tajam di bahunya, dada bidang, dan lengan berotot membuat sosoknya tampak maskulin dan kuat.
____
Sesampainya di apartemennya, Alia segera melepas sepatu dan berjalan cepat menuju kamar anak-anaknya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar dan tersenyum melihat kedua buah hatinya yang masih terlelap di tempat tidur.
"Muach, muach..." Alia mengecup satu per satu kening anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. "Sayang... ayo bangun, ini sudah pagi."
Alya menggeliat pelan, lalu membuka matanya setengah sadar. "Mama..." gumamnya manja.
"Ayo bangun. Iya, iya... segera mandi, ya? Mama mau masak dulu buat kalian," ucap Alia sambil membelai rambut Arel yang juga mulai membuka matanya.
"Baik, Mama," jawab mereka bersamaan, meski masih dengan nada malas-malasan.
Alia tersenyum lalu berjalan ke dapur. Sambil menyalakan kompor, ia membuka lemari bumbu, mengambil bahan-bahan untuk membuat sarapan. Suara gemericik air dari panci yang mulai mendidih menemani pikirannya yang mulai melayang kembali ke malam sebelumnya.
"Setelah mabuk karena minum... makan bubur pasti bisa bantu lebih baik, kan?" gumamnya sambil mengaduk perlahan.
Ia lalu memutuskan untuk memasak dua jenis hidangan pagi itu—satu untuk anak-anak, dan satu lagi untuk seseorang yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal... Leonardo
Dengan cekatan, Alia menumis bawang putih dan jahe, menambahkan kaldu ayam ke dalam panci. Ia menyiapkan bubur ayam hangat dengan irisan tipis daging, seledri, dan sedikit kecap asin. Ia juga membuat telur orak-arik dan potongan buah segar untuk anak-anaknya.
Setelah selesai memasak, Alia menuangkan bubur ayam hangat ke dalam termos makanan. Ia membungkusnya dengan rapi menggunakan tas kain kecil berwarna pastel, lalu melirik ke arah kamar mandi.
"Mumpung anak-anak masih mandi... aku antar bubur ini dulu ke apartemen Pak Leonardo," gumamnya pelan, berusaha terdengar santai meski hatinya berdebar.
Alia mengambil bubur itu dan segera melangkah keluar. Tangannya menggenggam erat tas makanan itu saat ia berdiri di depan pintu apartemen Leonardo. Ia menekan tombol interkom.
"Permisi, Pak... saya Alia. Saya membawakan bubur untuk Anda..."
Ia menunggu beberapa detik, namun tidak ada suara maupun respon dari dalam. Alisnya mengerut. "Orangnya ke mana, ya? Kok tidak menjawab?"
Matanya melirik ke keypad pintu otomatis. Sesaat, ia ragu.
"Apa aku langsung masuk saja, ya...? Tapi..." Ia menunduk sejenak, lalu menghela napas.
"Ah, untung saja semalam Pak Leonardo memberitahuku PIN apartemennya. Pasti tidak apa-apa, kan? Aku cuma mau memberikannya bubur..."
Dengan hati-hati, Alia menekan PIN yang ia ingat. Suara "klik" terdengar dari pintu. Ia pun mendorongnya pelan dan melangkah masuk.
"Permisi Pak ... saya membawa bubu—"
Alia langsung terdiam di ambang pintu ruang tengah. Matanya membelalak saat pandangannya langsung tertuju pada sosok Leonardo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, dan tubuhnya hanya dibalut handuk kecil di pinggang—lebih mirip boxer pendek yang memperlihatkan hampir seluruh bagian tubuhnya. Otot-otot dada dan perut Leonardo tampak tegas dan maskulin, glistening karena sisa uap air dari kamar mandi.
Alia menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya memerah seketika. "Astaga! Pak... maaf! Saya... saya tidak melihat apa-apa