Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17: Fahri
Andra, dengan langkah tertatih-tatih ia dibantu oleh Mora memasuki rumahnya, ketika pintu dibuka, terlihat Rachel, wanita dewasa itu sedang bersih-bersih ruang tamu.
Rachel menatap melotot ke arah mereka berdua, ia melempar kain lap di tangannya, dengan wajah panik ia mulai melihat tubuh Andra dari atas sampai bawah.
"Ya Tuhan Dra, kamu kenapa kayak gini sayang?" tanya Rachel.
Andra menghela napas, setelah dibawa ke rumah sakit dan melaksanakan pengecekan serta pengobatan, semuanya berjalan sangat cepat. "Aku di jambret sama orang pake motor, pas aku kejer pake Reki, aku ditendang sampe jatoh."
"Ya ampun nak, kenapa dikejar? Kenapa nggak di laporin ke polisi," omel Rachel. "Tangan kamu jadi patah gini kan."
"Tulang rusuk retak dan hampir seluruh badannya memar," timpal Mora dengan nada datar tanpa dosa.
Andra hanya diam dan melirik dengan tajam ke arah Mora, seperti mengatakan. "Bangsat lu!"
Rachel menggeleng-geleng kepala. "Yaudah Mora, kamu bawa Andra ke atas, tante mau masak, abis itu kamu minum obat Dra, udah dikasih kan sama dokter?"
Andra dan Mora pun mengangguk, mereka berjalan menaiki tangga menuju kamar Andra, tidak ada pembicaraan diantara mereka.
Saat sampai dan Mora menutup pintu kamar Andra, Andra akhirnya membuka mulutnya. "Lu kenapa dikasih tau sih mor? Emak gua pasti ngelarang gua kemana-mana sendiri dan nganter jemput gua."
Mora mendudukkan Andra di tepi ranjang. "Biarin," Mora berdiri dan menatap Andra datar. "Ini pelajaran buat lu, supaya nggak ngelakuin hal apapun tanpa mikirin akibatnya."
Mora merunduk menepuk pundak sahabatnya itu. "Lu udah gua anggep saudara gua Dra, dan gua nggak mau saudara gua hidupnya ancur karena cewek. Please, pikirin hidup lu juga Dra, otak lu jangan mikirin Irma mulu."
Andra mengangguk, dari tatapannya terlihat sangat jelas bahwa ia sedang bimbang. Mora menghela napas melihat Andra. "Lu boleh abaikan ucapan ini, dan kejer kakak kelas lu itu."
Mora berjalan keluar dari kamar Andra, meninggalkan Andra yang kini banyak pikiran.
...........
Jam dinding dengan stiker manchester United sudah menunjukkan pukul 3 pagi, dan Andra belum bisa tidur, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Mora tadi.
Pintu kamar Andra terbuka pelan, Alvaro menongolkan setengah kepalanya. "Dra, kamu masih bangun?"
Andra mendudukkan tubuhnya. "Masih, kenapa mas?"
Alvaro terdiam sejenak. "Mas mau ke kuburan Fahri, kamu mau ikut?"
"Kenapa tiba-tiba ziarah mas?" tanya Andra.
"Sekarang tanggal 28 Juli, tanggal ulang tahun Fahri," jawab Alvaro.
Andra menepuk jidat. "Astaga, aku baru inget, aku ikut mas, tunggu bentar," Andra beranjak dari ranjangnya dan berjalan menuju lemari.
Dengan pakaian sederhana, Andra dan Alvaro berangkat ke pemakaman menggunakan mobil.
........
Andra terdiam diterpa angin malam yang terasa dingin, ia terduduk di samping kuburan dengan batu nisan, tertulis disana.
Fahri Al Akbar
bin Raditya Ashauri
Lahir: 28 Juli 1990
Wafat: 15 Agustus 2006
Andra tersenyum kecut. "15 Agustus, sehari sebelum gua ulang tahun, lucu-lucu."
"Jadi keinget..."
Flashback on
Andra, anak berambut hitam dengan pipi putih halus itu berlari dari dapur menuju ruang tamu. Terlihat seorang remaja laki-laki berambut hitam belah tengah, ia setengah tiduran sembari bermain konsol game.
Andra terduduk disamping, ia menggoyangkan tubuh remaja bernama Fahri itu. "Pa! Mas Varo minta isi token."
Fahri menengok sebentar lalu kepalanya kembali ke tv. "Nggak ah, Andra aja yang isi."
Andra menghela napas kesal. "Ish! Aku nggak bisa, ntar meledak, aku gimana?"
"Kamu nggak apa-apa lah, kan Gervasius Andara Germanota superhero papa," Fahri menghentikan permainan, lalu ia menggendong Andra keluar rumah.
Fahri berhenti di teras rumah, ia menurunkan Andra, lalu menarik dua bangku dan menyusunnya ke bawah instalasi listrik yang dihimpit diantara rak sepatu menggantung.
Fahri menggendong Andra dan menaruhnya diatas bangku. "Kan disitu ada angka-angka, pencet sesuai yang ada dikertas, kalo ada angka yang nggak muncul, pencet sekali lagi."
Andra mengangguk dan melalukan hal yang instruksi Fahri. "Udah nih pa, pencet yang tanda panah?" ia menengok ke belakang, bingung, bagaimana tidak? Fahri sudah berada beberapa langkah dari rumah.
Fahri menutup kuping, dan terlihat juga seorang kakek yang berjalan pelan namun wajahnya terlihat panik, Fahri menangguk pelan, Andra tanpa mengalihkan pandangan ia memencet tombol tadi.
Tiiiiit
Kakek-kakek tersebut berlari kencang meninggalkan Fahri yang tertawa terbahak-bahak, Andra yang bingung hanya bisa menatapnya aneh. “Papa kenapa?”
Sembari tertawa, Fahri berjalan menghampiri Andra dan menuruninya. “Ngerjain kakek-kakek tadi, dia pasti ngira kamu lagi hidup in bom.”
“Papa ngerjailin kakek itu?” tanya Andra dan dijawab anggukan oleh Fahri, Andra menatap Fahri kesal. “Ish papaa, mas Varo bilang gak boleh jailin orang tua.”
Fahri menggendong Andra. “Boleh kok jailin orang tua, asalkan nggak boleh nyakitin,” ia menyentuh hidung Andra. “Dengerin papa, kamu boleh jailin siapa pun, asalkan tau waktu dan pikirin dulu dampaknya.”
Flashback off
Andra mengangguk pelan. “Iya pa…” ia mengelus pelan batu nisan marmer itu.
“Dra,” Andra menengok, Alvaro menepuk pundaknya dan duduk disamping Andra, tangan kirinya memegang piring kecil yang diatasnya terdapat kue blackforest dengan angka lilin 28.
“Bunganya sama kamu kan?” tanya Alvaro dan dijawab oleh Andra dengan mengambil plastik berisi bunga kenanga dan buket bunga mawar berukuran medium.
Andra menaruh buket itu diatas kuburan Fahri, melihat itu Alvaro mengeluarkan korek dan menyalakan lilin. “Halo Ri, gimana disana? Terangkan?”
“Halo pa, maaf Andra cuma dateng beberapa kali dalam setahun, makasih ya udah ngajarin aku yang baik,” Andra menaburkan bunga kenanga diatas kuburan Fahri.
Alvaro dan Andra memegang piring. “Selamat ulang tahun Ri/pa,” secara berbarengan mereka meniup lilin hingga apinya mati.
Mereka mengobrol sebentar. “Yuk, kita balik ya ri,” Alvaro berdiri dan menarik pundak Andra.
Namun Andra melepaskan tangan Alvaro. “Mas Varo tunggu di mobil aja, ada yang mau aku omongin sama papa.”
Alvaro mengangguk, sebelum air matanya hampir jatuh ia berjalan meninggalkan Andra.
Andra mengeluarkan dua batang rokok dari saku jaketnya, keduanya ia bakar, satu ia hisap dan satunya ditaruh disamping batu nisan Fahri.
“Pa… dulu papa bilang, kalau aku udah besar dan menemukan cinta sejati, aku harus perjuangin wanita itu, tapi…” Andra menggantungkan ucapannya. “Aku terlalu fokus sama wanita itu sampai aku lupa kesehatan aku sendiri.”
“Walaupun begitu… aku merasa bersalah, dia nggak bahagia sama pasangannya, atau lebih tepatnya terpaksa,” air mata Andra perlahan turun dan membasahi pipinya. “Dan aku kasihan sama mama, dia orang yang paling khawatir sama keadaanku.”
Andra mengusap air matanya, ia menjatuhkan rokok di batu nisan tadi dan menginjaknya hingga baranya mati. “Aku pergi dulu ya, kasian mas Varo udah nungguin.”
Andra berbalik badan, lalu berjalan meninggalkan kuburan Fahri. Namun langkahnya terhenti, ia menengok ke kuburan Fahri. “Tunggu kita semua di pintu surga ya pa.”
Andra kembali berjalan, ia menghembuskan napas lelah dan menatap langit malam. “Ya Tuhan… berikanlah hamba petunjuk.”