Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan
Kata Fandi penuh penekanan, lalu ia menghempaskan Sila dengan kasar ke lantai. Gadis itu terhuyung, wajahnya pucat ketakutan.
Sementara itu Alfin dan Kei langsung bergerak ke arah Epi yang tampak begitu ketakutan, tubuhnya limbung dan keningnya membiru.
“Hei Sila! Kau pergi dari sini! Dasar pembuat onar!” bentak Kei, matanya membara marah.
Alfin sudah membuka pintu lebar-lebar.
“Kau lebih baik pergi sebelum Fandi benar-benar membunuhmu.” suaranya datar, tapi ancaman itu jelas sekali. Ia pun tampak muak pada Sila.
“Aku akan pergi!” teriak Sila sembari menunjuk Epi dengan penuh kebencian. “Dan aku pastikan wanita j*lang itu mati di tanganku!”
“Brengsek!”umpat Fandi hendak maju, tapi Alfin menahan bahunya.
“Sudah. Biarkan dia pergi. Kalau dia berulah, kita punya alasan resmi untuk menghabisinya.” kata Alfin tenang tapi dingin.
Kei kembali ke sisi Epi.
“Lihat… keningmu, Pi. Biru keunguan dan berdarah…” ucap Kei, wajahnya ikut meringis.
Fandi segera mendekat. Tatapannya langsung mengeras saat melihat kening Epi yang lebam. Gadis itu tampak lemah, gemetar hebat, hampir jatuh andai Kei tidak menopang.
Alfin berlari keluar memanggil tim medis yang memang berjaga di rumah itu.
“Dasar sialan memang Sila itu!” umpat Kei. “Aku yakin dia akan lapor pada paman, Fan. Dia pasti provokasi, dilebih-lebihkan.”
Fandi mengepalkan rahang. Tatapannya ke arah pintu seperti ingin menghabisi sesuatu.
“Jika malam ini dia datang mengadu pada ayah hanya untuk memancing keributan…” suara Fandi turun menjadi sangat dingin.
“…maka aku pastikan aku membunuhnya malam ini juga. Aku tidak peduli dia siapa.”
Di sisi lain — Sila
Sila mengemudi sambil menghentak setir, wajahnya merah menahan amarah dan rasa sakit.
“Dasar brengsek! Aku akan membunuh wanita j*lang itu! Aku akan lapor pada Papa! Fandi menyakitiku—biar Papa datangi paman Atha dan lihat bagaimana mereka dibalas!” teriaknya sambil menancap gas.
Tak lama kemudian ia tiba di rumah, langsung berlari masuk sambil menangis keras. Kedua orang tuanya terkejut melihat putri mereka berlumur emosi dan bibir berdarah.
“Sayang, ada apa? Mengapa kamu menangis?” tanya papanya panik.
“Ya ampun, bibirmu kenapa begitu?” tanya mamanya histeris.
“Kak Fandi, Ma…” isaknya. “Dia menampar aku… hanya untuk membela wanita malam itu!”
“Apa?!” teriak keduanya bersamaan.
“Papa! Fandi sudah terlalu lancang! Ini tak bisa dibiarkan. Kita harus datangi Bang Atha! Anak itu harus dihukum!” kata mamanya geram.
“Iya! Kita pergi sekarang! Kurang ajar sekali anak itu menyakiti putriku!” sahut papanya penuh kemarahan.
Mereka pun masuk mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju rumah utama Dirgantara.
Sementara itu — Rumah Utama Dirgantara
“Arvino. Zayn.” panggil Atha dengan suara berat.
“Iya, Tuan.” jawab keduanya serempak.
“Bagaimana dengan kasus kematian Hans? Apakah polisi sudah mulai menyelidikinya?” tanya Atha duduk tegak, nada suaranya tenang tapi tajam.
“Tidak, Tuan,” jawab Arvino. “Kasusnya ditutup. Disiarkan sebagai kecelakaan murni. Padahal anak Pak Hans bersikeras bahwa itu pembunuhan berencana.”
Atha menyipit. “Lalu? Apa kalian sudah mencari tahu siapa dalangnya?”
“Sudah, Tuan.” Arvino menelan ludah. “Dan… Tuan muda Fandi juga sudah bergerak. Dia mengintai mereka. Dari gerak-geriknya… seolah hanya menunggu waktu menyerang. Dan untuk pelakunya—ya—empat kubu itu, Tuan.”
Atha menghela napas panjang. “Benarkah Fandi sudah mencari tahu?”
“Iya, Tuan,” sahut Zayn menambahkan. “Hari itu, saat saya ke lokasi untuk mengambil rekaman CCTV di jalur tersembunyi, Kei dan Alfin sudah ada di sana. Mereka merencanakan pembalasan. Dan… anak Pak Hans datang sendiri meminta bantuan.”
Atha hanya mengangguk tipis. “Pantau terus, Zayn.”
“Baik, Tuan.”
Zayn ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Satu lagi, Tuan. Saat pembunuhan Pak Hans… ada saksi mata seorang wanita muda. Informasi ini saya dapat dari Alfin.”
Atha langsung menatap tajam. “Benarkah? Di mana saksi itu sekarang?”
“Dia berada di rumah Tuan Muda Fandi,” jawab Zayn. “Malam itu dia terlihat oleh para pelaku, lalu dikejar. Kaki dan punggungnya terkena tembakan. Mereka ingin menghabisinya karena takut dia buka suara. Bahkan dia sempat ditabrak lari. Kebetulan Tuan Muda ada di sekitar lokasi dan membawanya.”
Atha memejamkan mata sejenak. “Baiklah, Zayn. Pastikan semuanya tetap dalam pengawasan.”
“Baik, Tuan.”
⸻
Rumah Fandi
Epi sudah selesai diobati. Gadis itu akhirnya terlelap, walaupun tubuhnya masih gemetar. Fandi berdiri di samping ranjang, matanya gelap.
“Keluar kalian. Istirahat.” suaranya datar.
“Baik,” jawab Alfin, diikuti Kei yang masih sesekali melirik Epi cemas sebelum keduanya keluar.
Ketika kamar menjadi sunyi, Fandi menghela napas berat. Ia berjalan ke arah jendela.
Hah… kenapa hatiku sesak seperti ini? Kenapa melihat gadis itu terluka… aku merasa marah sekali…?
Ponsel Epi tiba-tiba berdering.
Triing… Triing…
Nama Rora tertera di layar. Fandi menatapnya lama.
Apa aku jawab saja? Temannya pasti khawatir. Dan aku… harus pastikan dia tidak pulang dulu. Kalau aku biarkan, dia bisa mati lebih cepat.
“Hah… sial. Kenapa aku peduli? Aku bahkan tak tahu siapa dia…”
Triing… Triing…
Fandi mengangkatnya.
“Halo…?” suara perempuan dari seberang telfon.
Fandi tetap diam.
“Halo, Epi? Kamu di mana? Kenapa gak pulang? Apa yang terjadi?” desak suara itu—Rora.
“Dia di rumahku,” jawab Fandi akhirnya.
“Siapa kau?” nada Rora langsung berubah sinis.
“Aku yang menolongnya. Dia baik-baik saja. Tapi belum bisa pulang. Dia masih dalam incaran.”
“Apa maksudmu? Incaran apa?”
Tuuuut.
Fandi memutus telepon tanpa ragu.
Triing… Triing…
Ponsel kembali berbunyi. Fandi menolak, lalu mematikannya total.
Ia berjalan kembali ke ranjang Epi. Tangannya terangkat hendak mengelus kepala gadis itu… namun berhenti di udara.
Sial… ada apa denganku…?
⸻
Beberapa menit sebelumnya — Kontrakan Rora & Rami
Rora mondar-mandir gelisah. “Gimana ini? Epi udah berapa hari gak pulang?”
“Iya, coba telepon lagi. Siapa tahu diangkat.” kata Rami.
Rora menekan panggilan—berulang kali—sampai akhirnya tersambung.
“Halo?” Rora memanggil, tapi hanya hening.
“Halo, Epi? Kamu di mana? Apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja? Desak rora
“Dia di rumahku.” suara lelaki masuk.
Rora dan Rami langsung saling pandang.
“Siapa kau?!” tanya Rora tajam.
“Aku menolongnya. Dia tidak bisa pulang karena sedang dalam incaran.”
“Apa maksudmu—”
Tuuut.
Telepon terputus.
“Ram… dia dimatiin! Gimana kalau Epi diapa-apain?!” panik Rora.
“Coba kirim pesan. Minta alamat,” saran Rami.
“Oke, oke…” Rora mengetik cepat.
Begitulah awal pertama kali Rora menelpon—dan Fandi yang mengangkatnya.
⸻
Rumah Utama Dirgantara
Tiiin! Tiiin!
Suara klakson keras dari depan rumah, disusul teriakan seseorang yang tak sabar.
Atha mengerutkan kening. “Siapa itu? Siapa yang membuat keributan?”Tanya atha tampak terganggu keributan diluar