Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
“Ah Zhu, kau belum memeriksa dengan teliti. Jangan langsung mengatakan seperti itu,” tegur dokter tua itu gugup.
“Kita butuh alat medis untuk memastikan kondisi pelurunya.”
Storm menegakkan tubuh, menatap dokter itu tanpa gentar.
“Kalau pasien dalam kondisi kritis tapi kita masih menunggu persiapan alat,” ucap Storm dingin,
“bukankah sama saja kita membiarkan nyawanya terancam?
Peluru ini memang tidak beracun, tapi kalau dibiarkan terlalu lama… kaki Jenderal Fang bisa lumpuh seumur hidup.”
Bisik-bisik ketakutan terdengar di belakang.
Dokter tua mencoba melawan.
“Ah Zhu… peluru harus dikeluarkan oleh ahli. Operasi tidak bisa asal-asalan.”
“Tentu,” Storm mengangguk pelan, lalu menatap Lucien dengan sorot mata penuh kuasa.
“Karena itu aku butuh kerja sama Jenderal Fang.”
“Katakan saja," jawab Lucien.
Storm menjelaskan tegas, setiap kata terdengar seperti vonis.
“Setelah peluru dikeluarkan, jangan banyak menggerakkan kaki Anda. Anda sangat beruntung memakai sepatu bot—itu yang menyelamatkan tulang Anda dari patah total.
Namun tulang kaki Anda mengalami retakan.
Jadi… Anda harus benar-benar dirawat.”
Storm menatap lurus.
“Selama setengah tahun tidak boleh memaksa berjalan. Selama itu, Anda harus duduk di kursi roda.”
Max langsung melonjak emosi.
“Nona Shu! Kau bercanda? Jenderal adalah panglima perang! Mana mungkin harus menunggu setengah tahun?”
Storm menatap Max seperti menatap anak kecil yang cerewet.
“Aku dokter. Tentu aku lebih tahu darimu.”
Ia melipat tangan.
“Kalau tidak percaya padaku… aku bisa serahkan Jenderalmu kepada dokter lain saja.”
Dokter tua hampir pingsan mendengarnya.
“Ah Zhu! Jangan asal bicara di depan Jenderal!”
Tapi Lucien mengangkat tangan lagi, membuat semua pendebat terdiam.
“Baiklah, Nona Shu.”
Tatapannya kini tajam seperti mata harimau.
“Lakukan operasi untukku. Aku akan bekerja sama denganmu. Tapi… kalau kakiku sampai lumpuh—”
Ia mendekat sedikit.
“Kau harus membayar dengan nyawamu.”
Storm justru tersenyum tipis.
Ia menunduk sedikit, kedua tangannya menyentuh pinggiran kursi roda Lucien, mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa sentimeter.
“Jenderal… tenang saja.”
Suaranya rendah namun menusuk.
“Tapi ingat juga… kalau anda tidak bekerja sama, dan terjadi sesuatu pada kaki anda ... itu bukan tanggung jawabku.”
Ruangan mendadak hening mencekam.
Lucien menatap Storm lama, seolah menilai keberanian perempuan itu.
“Janji jangan pernah diingkari.” katanya akhirnya.
Storm mengangguk.
“Aku tahu… di era ini, janji dianggap seperti hutang yang harus dibayar sampai lunas.”
Lucien tersenyum tipis—senyum berbahaya.
“Bagus. Kalau begitu… aku serahkan kakiku padamu.”
Para tim medis hanya bisa patuh pada perintah sang Jenderal, meskipun wajah mereka jelas menunjukkan keraguan. Ah Zhu memang dokter, tetapi tubuh asli yang kini ditempati Storm belum pernah melakukan operasi tulang seberat ini. Namun setelah melihat bagaimana Storm berbicara dan menantang Jenderal Fang tanpa gentar…
tak satu pun berani membantahnya.
Lucien dipindahkan ke ruang perawatan khusus. Ia berbaring rileks, seperti bukan orang yang sedang terluka parah. Storm berdiri di sisi ranjang, matanya fokus seperti seorang ahli bedah profesional dari masa depan.
Dengan hati-hati, Storm menggunting celana seragam militer di bagian luka agar area operasi terbuka. Para perawat menahan napas melihat tindakan cepatnya.
Ia menyiramkan obat bius cair tradisional ke bagian luka. Cairan bening itu meresap cepat, membuat kulit di sekitar luka terasa mati rasa.
Tak menunggu lama, Storm mengambil alat bedah sederhana—pisau kecil yang tajam, penjepit besi, dan kain steril. Sangat jauh dari peralatan operasi 2025, tapi Storm memegangnya seolah itu adalah instrumen modern.
Dengan gerakan terlatih, ia mulai membuka sedikit bagian luka, mencari posisi peluru.
“Ini pertama bagiku menggunakan alat-alat seperti ini,” batin Storm, jantungnya berdetak cepat.
“Kalau aku gagal… aku bisa mati. Tapi kaki Jenderal Fang lebih penting. Dia adalah pahlawan negara ini. Tugasku menyelamatkan hidup… di masa apa pun aku berada.”
Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Penjepit bergerak pelan, masuk ke dalam luka yang dalam. Suara logam bergesek dengan peluru terdengar samar.
Klik.
Storm menarik napas, lalu—
Perlahan… sangat perlahan… ia mengangkat peluru yang menancap di tulang itu.
Saat peluru akhirnya keluar sepenuhnya, semua dokter dan perawat menahan napas.
Storm menghela napas lega, menatap peluru yang berlumur darah di ujung penjepitnya.
“Cepat hentikan pendarahannya!” perintah Storm tegas pada perawat.
Perawat dan dokter segera bergerak, menekan kain steril dan mempersiapkan ramuan antiseptik.
Storm melangkah mundur sedikit, keringatnya jatuh ke lantai. Namun tatapannya tetap dingin dan profesional—seolah operasi itu hanyalah rutinitas baginya.
"Nona Shu, dengar baik-baik, kalau kakiku sembuh total, aku akan berjanji menikahimu," ucap Lucien tiba-tiba.
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir sang Jenderal, penuh keyakinan dan nada perintah, seolah ia baru saja menyatakan sesuatu yang mutlak akan terjadi. Para suster yang membantu di sisi ranjang sontak terdiam. Tangan mereka yang memegang kain kasa langsung membeku di udara, seakan waktu berhenti sesaat.
Storm yang sedang merapikan alat bedah, menatap Lucien dengan tatapan tajam.
"Sejak kapan aku ingin menikah denganmu? Jenderal Fang, aku tegaskan... aku tidak berminat padamu sama sekali," jawab Storm dengan ceplas ceplos.
Para suster refleks menahan napas. Salah satu dari mereka bahkan sempat menggigit bibir ketakutan. Berani menolak Jenderal di depannya—dan dengan suara sekeras itu—adalah hal yang tak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya.
Lucien terdiam sejenak. Bukan karena tersinggung, tapi karena tak terbiasa ada yang berbicara padanya tanpa rasa takut.
Tatapan mereka bertabrakan, dingin, keras, dan sama-sama tidak mau mundur.