NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana jahat

Mahawira terkekeh sambil duduk seenaknya di sofa Vincent.

“Kau kalau hanya cari masalah, lebih baik pulang saja, Wira…” desis Vincent jengkel.

“Hahaha… kau seperti wanita datang bulan. Emosian sekali,” ejek Mahawira tanpa rasa takut.

Vincent mendengus tajam.

“Kau pulang saja kalau tidak ada urusan penting.”

“Hahaha… aku kesini mau menanyakan satu hal. Kau masih memburu anak si Atha itu atau tidak?” tanya Mahawira santai, tapi matanya menelikung penuh perhitungan.

“Hah. Iya. Tapi anak buah yang kukirim belum kembali. Itu yang membuatku pusing.”

Nada Vincent berat, kesal.

Mahawira mengangkat alis.

“Untuk apa kau memikirkan mereka? Kalau mereka tidak pulang… tentu kau tahu mereka sudah dihabisi anak si Atha itu.”

“Sial… aku tidak peduli lokasi itu. Aku hanya ingin memberi anak itu pelajaran. Benar-benar sifatnya sama seperti si Atha…” Vincent memukul meja kecil di sampingnya.

“Yah… wajar. Dia memang anak Atha.”

Mahawira bersandar santai. “Aku juga datang karena mau membahas anak itu.”

Vincent menatapnya.

“Apa yang ingin kau bahas?”

“Aku curiga dia tahu kalau aku yang membunuh Hans,” jawab Mahawira pelan, tapi jelas.

Vincent mengerutkan dahi.

“Kenapa kau berpikir begitu? Apa dia melihatmu?”

“Tidak. Dia tidak melihat aku membunuh Hans.”

Mahawira memainkan cangkir di meja.

“Hanya saja… saat pemakaman Hans, dia terus melihatku dan Suryo. Tatapannya… sangat tajam. Seolah dia tahu sesuatu.”

Vincent mendelik marah.

“Kau ini bodoh! Untuk apa datang ke pemakaman? Harusnya kau tidak usah muncul di sana!”

“Aku hanya ingin memastikan. Itu saja.” Mahawira mengangkat bahu.

Vincent menghela napas berat.

“Lalu apa yang ingin kau lakukan kalau anak itu benar-benar mencurigai dirimu?”

“Nah… itu yang sedang kupikirkan.”

Mahawira menautkan jari-jarinya.

“Aku tidak bisa langsung menyerang. Dia pasti punya pasukan tersembunyi seperti ayahnya. Atha memang gila dalam hal itu.”

Vincent mengangguk cepat.

“Kau benar. Lihat saja pasukanku—tidak ada satu pun yang kembali. Pasti sudah dihabisi anak itu.”

Mahawira mengetukkan jarinya ke meja.

“Tapi apa dia sehebat itu? Kau mengirim pasukan banyak bukan?” tanyanya agak meremehkan.

“Dan yang kulihat… dia tidak selalu dikawal. Kadang tidak ada pasukan dari belakang yang mengikuti.”

Vincent mendengus sinis.

“Itu karena kau bodoh membaca situasi.”

Mahawira menaikkan alis, menunggu.

Vincent mencondongkan tubuh, suaranya merendah—dingin, licik.

“Pasukan anak itu… bukan seperti pasukan mahal yang biasa kau bayar. Mereka tidak terlihat. Mereka tidak selalu berdiri di belakangnya. Tapi mereka ada. Di mana pun dia berada.”

Mahawira terdiam sejenak, ekspresinya berubah.

Vincent melanjutkan,

“Dan justru kalau kau tidak melihat mereka… itu artinya mereka sedang mengincar seseorang.”

Mahawira menegang kecil.

“Kau maksud… mengincar aku?”

Vincent menyeringai tipis.

“Kau bilang tatapan anak itu tajam padamu dan Suryo kan? Itu saja sudah cukup.”

Ruangan langsung terasa lebih dingin.

Mahawira menepis tegangnya dengan tawa kecil, tapi suaranya tidak selonggar tadi.

“Hahaha… jadi menurutmu sekarang aku dalam daftar incarannya?”

Vincent mengangguk pelan.

“Kalau benar begitu… maka kau dan aku sedang duduk di atas bom waktu.”

“Aku rasa dua ajudannya selalu mengikuti anak itu. Mereka terlihat seperti pemuda biasa, tapi jelas bukan orang sembarangan. Mereka pasti punya kemampuan,” gumam Vincent sambil mengetukkan jarinya di meja.

Mahawira mengangkat alis. “Kalau begitu… bagaimana kalau kita satukan pasukan? Sehebat apa pun mereka bertiga, kalau diserbu ratusan orang—mereka tetap akan tumbang.”

“Kau punya rencana jelas?” tanya Vincent tatapan dingin.

“Tentu,” jawab Mahawira menyeringai. “Untuk melemahkannya, kita harus menculik seseorang yang paling dekat dengannya.”

Vincent mendengus. “Siapa? Tidak mungkin. Pasukan kita bahkan tidak akan sempat melewati gerbang. Sniper Dirgantara saja sudah bisa menghabisi mereka dari jarak jauh.”

Mahawira mengernyit. “Dari mana kau tahu mereka punya sniper?”

“Dari Hanuraska,” jawab Vincent malas. “Dia pernah bermasalah dengan Atha.”

“Kapan? Kenapa aku tidak tahu?” tanya Mahawira kaget.

“Beberapa bulan lalu. Soal tanah yang dibeli Atha. Hanuraska ingin merebutnya, tapi ditolak. Lalu dia kirim pasukan. Tapi belum sampai gerbang, ban mobil mereka ditembak. Setelah itu langsung disambut granat. Tidak sampai lima menit… habis.”

Mahawira terpaku. “Dan kau masih berani cari masalah dengan anaknya? Sama pula soal tanah?”

Vincent berdalih, “Atha dan anaknya berbeda. Mereka tidak tinggal bersama.”

Mahawira menatapnya seperti menilai kebodohan. “Kau ini kurang akal? Atha saja begitu menyeramkan—anaknya pasti jauh lebih ekstrem. Tidak mungkin dia tidak dilatih.”

Vincent balas ketus, “Dan apa bedanya dengan dirimu? Kau juga berencana menyandera keluarga mereka untuk melemahkan anak itu.”

Mahawira terdiam. Kalis suara Vincent terasa seperti tamparan.

“Lalu bagaimana sekarang?” desah Mahawira. “Kau tahu, jika dia mengetahui pembunuhan Hans, bukan hanya aku yang jadi target. Kita semua. Ini rencana bersama.”

“Kau juga harusnya waspada,” balas Vincent. “Dan kenapa Hans yang kau bunuh? Kau tahu Atha sangat dekat dengannya. Kalau bukan anaknya yang bergerak, Atha sendiri bisa turun tangan.”

Mahawira menggeram. “Hans yang mencari masalah. Malam itu dia dirawat di RS-ku. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas dia masuk ke ruang bawah tanah. Dia tahu barang apa yang kita simpan di sana. Tidak ada pilihan selain membunuhnya.”

Vincent menyandarkan tubuh. “Lebih baik kita rapatkan ini di markas.”

“Tidak perlu,” bantah Mahawira cepat. “Suryo tidak akan mau ikut. Dia selalu cuci tangan, apalagi kalau itu berarti bermasalah dengan Dirgantara.”

Vincent mendecak. “Si tua bangka itu memang menyebalkan. Urusan berat selalu dia lempar. Untungnya saja yang dia mau.”

“Aku juga muak,” Mahawira ikut mendengus. “Apalagi anaknya—Angga itu. Sombong, tak punya sopan.”

Vincent ikut menimpali, “Suryo saja begitu. Wajar anaknya sama. Kalau aku lihat Angga, rasanya ingin mematahkan hidungnya.”

Tiba-tiba Mahawira tersenyum miring. Senyum licik.

Vincent langsung waspada. “Kenapa? Apa kau kesurupan setan sampai senyum-senyum sendiri begitu?”

Mahawira bersandar sambil mengangkat dagu. “Bagaimana kalau… kita adu domba anak Suryo itu dengan anak Atha? Keduanya keras kepala, sama-sama berbahaya. Sepertinya cocok.”

Vincent menyipitkan mata tajam. “Dan bagaimana caramu mengadu domba mereka? Anak Atha itu terlalu cerdas. Dan kau bahkan tidak akrab dengannya.”

“Kau jangan membandingkan anak Atha dengan anak Suryo. Aku memang tidak menyukai Dirgantara, tapi kalau harus jujur—Angga tidak ada apa-apanya. Kemampuan bertarung saja tidak punya. Dia hanya mengandalkan pasukan dan main keroyokan,” ujar Vincent meremehkan.

“Kau benar,” sambung Mahawira. “Angga tidak punya kemampuan apa pun. Sangat mudah bagi Fandi untuk membunuhnya. Dan aku rasa, kalau anak Atha itu terus berkembang… dia akan jauh lebih mengerikan daripada ayahnya sendiri.”

Vincent mengangkat alis. “Lalu apa rencanamu?”

Mahawira menautkan jari. “Bagaimana kalau kita pakai pembunuh bayaran? Kita arahkan pembunuh itu seolah mendapat perintah dari anak Suryo. Kalau situasi semakin panas, kita tinggal kabur ke luar negeri. Biarkan Suryo yang ditelan masalah. Toh anaknya memang menyebalkan, meski awalnya kita yang mengadu.”

Vincent tertawa pendek. “Kau licik… tapi aku suka. Hahaha. Kapan mulai?”

“Kita cari pembunuh bayaran dulu,” jawab Mahawira santai.

Mobil melaju cepat. Fandi memandang keluar jendela, hingga matanya menangkap penjual brownies di pinggir jalan.

“STOP.”

Cyiittt!

Alfin mengerem mendadak. Kei langsung terjungkal dan menghantam jok depan.

“Arrrgh! Kau ini bilang dulu kalau mau rem! Kepalaku sakit!” marah Kei.

“Dasar bodoh, kenapa tidak pakai sabuk pengaman?” balas Alfin ketus.

Sementara itu Fandi sudah turun dari mobil tanpa menoleh. Ia masuk ke toko brownies. Kei dan Alfin saling pandang, heran.

“Tumben manusia es itu beli yang manis-manis,” gumam Kei tidak percaya.

“Entahlah…” kata Alfin, meski ia juga penasaran.

Tak lama kemudian Fandi keluar sambil membawa sekotak brownies. Ia masuk mobil, meletakkannya di kursi samping.

Alfin kembali melaju.

“Kau beli brownies? Biasanya kau benci makanan manis,” komentar Kei.

“Bukan untuk aku,” jawab Fandi datar.

“Lalu untuk siapa?” tanya Kei.

Fandi tidak menjawab sampai mereka tiba di rumah Kei 30 menit kemudian. Kei menyipitkan mata saat melihat mobil yang terparkir.

“Bukannya itu mobil Sila, si anak gila itu?” tanya Kei.

“Sepertinya iya,” jawab Alfin.

Fandi langsung masuk rumah tanpa sepatah kata. Kei dan Alfin buru-buruh mengejarnya.

Di dalam kamar Epi

“Kau siapa?! Kenapa kau bisa ada di sini?!” teriak Sila sambil menarik rambut Epi kuat-kuat hingga gadis itu mendongak kesakitan.

“A-aku… aku bukan siapa-siapa, Kak… aku bangun tahu-tahu sudah di sini…” jawab Epi sambil menangis.

“Hah! Pembohong! Kau pasti jel*ng yang menggoda Fandi! Dasar wanita gatal!”

PLAAK! PLAAK!

Dua tamparan keras mendarat di pipi Epi. Belum cukup, Sila menyeretnya turun dari ranjang sambil menarik rambutnya.

DUK! DUK! DUK!

Kepala Epi dibenturkan ke pinggir ranjang. Gadis itu meringis, menekan dahinya yang mulai panas dan berdenyut.

“Dasar jel*ng penggoda!!” teriak Sila.

Suara benturan itu cukup keras hingga terdengar di luar.

Fandi berhenti. Menoleh. Rahangnya mengeras.

Tanpa pikir panjang—

CEKLEK!

“SILA!!!” suara Fandi meledak.

PLAAK! PLAAK!

Fandi menarik Sila dan menamparnya keras. Bibir Sila pecah berlumur darah.

“Apa yang kau lakukan, hah?! Dasar brengsek!” teriak Fandi dengan wajah merah penuh amarah.

Tubuh Sila gemetar ketakutan.

“Kau… membela wanita malam itu?” hina Sila. “Berapa murah bayaran perempuan ini? Sampai-sampai kau bela mati-matian, hah?! Dasar jel*ng—”

PLAAAAKKK!!!

Tamparan dari Fandi jauh lebih keras.

“Kau sudah lancang! Berani sekali menghina dia!” bentak Fandi.

SRIIING—

Katana Fandi terhunus. Alfin dan Kei terkejut, tapi belum sempat menahan—

SREEETTT—

“Aaaarrrghh!!” Sila menjerit ketika ujung katana menggores wajahnya.

“Pergi dari sini,” desis Fandi dingin. “Sekali lagi kau datang dan cari masalah di rumahku… aku pastikan kau mati.”

“Aku akan membalas kalian!! Aku akan bunuh perempuan j*langmu itu!” teriak Sila histeris.

Fandi langsung maju, mencengkeram dagu Sila hingga rahangnya nyaris patah.

“Sentuh dia…” ucap Fandi perlahan, tatapannya gelap dan mematikan.

“…dan aku pastikan kau dan keluargamu menghilang dari dunia ini tanpa suara.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!