Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dasar mesum
“Aku tidak mau ikut! Kamu… mesum!” teriak Epi, tubuhnya gemetar namun tetap mencoba menatap Fandi.
Fandi mendengus pendek, mendekat lagi hingga napasnya menyentuh wajah gadis itu.
“Lalu kenapa kalau aku mesum? Hmm?”
Epi langsung mendorong dadanya keras, walau tubuh Fandi sama sekali tidak bergeser.
“Jangan dekat-dekat aku! Dasar pria mesum!” teriaknya panik, hendak berlari—
Namun tangan Fandi jauh lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan Epi dan menahannya erat.
“Kamu ini keras kepala sekali…” bisik Fandi dingin di telinganya. “Kau sedang dalam incaran.”
“Aku tidak peduli!” Epi menatap tajam walau suaranya bergetar.
Kemudian ia menoleh, melihat jalan kosong, dan berteriak sekuat tenaga.
“Tolong!! Tolooong!! Tolong!!”
Fandi menariknya kembali, wajahnya tetap datar.
“Kamu mau teriak sampai suara habis pun tidak ada yang akan dengar. Ini jauh dari keramaian.”
Ia menarik Epi lebih dekat, mendekapnya—gadis itu meronta keras, tapi pelukan Fandi terlalu kuat.
“Dengar…” Fandi menahan kedua pipinya dengan lembut, suaranya turun menjadi sangat pelan.
“Tetaplah bersamaku sampai semua beres. Aku yang akan mengantar kamu pulang. Aku janji.”
Epi berhenti meronta. Tubuhnya melemah. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Fandi—apakah bohong, apakah jebakan, apakah ia bisa percaya?
“Aku… janji mengantarmu pulang.”
Fandi mengulang dengan suara rendah.
Lalu tanpa memberi waktu, ia kembali menunduk dan mengecup bibir Epi lagi.
Ciuman itu dalam. Lama.
Dan kali ini… terjadi sesuatu yang tidak ia duga.
Epi membuka sedikit akses—dan membalas.
Halus. Ragu. Tapi membalas.
Ciuman mereka makin dalam, makin lama, hingga akhirnya keduanya terpaksa berpisah karena kehabisan napas. Keduanya tersengal.
“Ikut aku, ya…” suara Fandi melembut lagi, hampir seperti permintaan.
Epi terdiam lama.
Sangat lama.
Lalu akhirnya… ia mengangguk pelan.
Fandi tampak lega.
Ia langsung membuka pintu mobil dan membantu gadis itu masuk dengan hati-hati.
Hanya lima menit kemudian mereka sudah tiba di rumah Fandi. Ia membimbing Epi masuk, membuka pintu kamarnya, dan membantu gadis itu berbaring. Gerakannya sangat berbeda—tenang, sabar, hati-hati.
“Istirahatlah. Tidur,” ucapnya pelan sambil mengusap pipi Epi… dan rambut gadis itu.
Epi tertidur sangat cepat.
Fandi berdiri menatapnya lama, lalu menyentuh bibirnya sendiri pelan.
“Ada apa dengan diriku…” gumamnya. Sebuah senyum samar muncul tanpa ia sadari.
Ia segera keluar, masuk ke mobil, dan melaju kembali ke restoran.
⸻
Sesampainya di sana, Kei dan Alfin langsung menatap tajam.
“Kamu dari mana, Fan?” tanya Alfin curiga.
“Ada sesuatu yang harus ku selesaikan,” jawab Fandi, duduk di kursi belakang.
“Apa sudah beres?” tanya Alfin lagi.
“Sudah.”
Jawabannya singkat, dingin.
Kei merengut kesal.
“Kau ini main tinggal saja…”
BUGH!
“Aarrgh! Kenapa pukul kepala aku!” Kei mengerang kesal.
Alfin melotot, “Kan Fandi bilang ada urusan! Kau tidak dengar?!”
Ia masuk ke jok pengemudi dan langsung melajukan mobil meninggalkan restoran.
⸻
Sementara itu, di sebuah rumah mewah…
Seorang pria paruh baya duduk dengan wajah masam, rahangnya mengeras.
“Dasar sial… kenapa anak tengik itu masih hidup? Itu artinya anak buahku kalah. Sial!” umpat Vincent.
Tok tok tok.
“Masuk,” geramnya.
Ajudan masuk dan menunduk hormat.
“Tuan, Mahawira ingin bertemu anda.”
“Suruh masuk.”
Pintu terbuka. Mahawira masuk sambil tersenyum sinis.
“Vincent,” katanya santai. “Wajah muram begitu… seperti orang tidak punya uang saja .”