I Ketut Arjuna Wiwaha — atau Arjun, begitu orang-orang memanggilnya — pernah jatuh dalam perasaan yang salah. Cinta terlarang yang membuatnya kehilangan arah, membuat jiwanya hancur dalam diam.
Namun, saat ia hampir menyerah pada takdir, hadir seorang gadis bernama Saniscara, yang datang bukan hanya membawa senyum, tapi juga warna yang perlahan memperbaiki luka-lukanya.
Tapi apakah Saniscara benar-benar gadis yang tepat untuknya?
Atau justru Arjun yang harus belajar bahwa tidak semua yang indah bisa dimiliki?
Dia yang sempurna untuk diriku yang biasa.
— I Ketut Arjuna Wiwaha
Kisah cinta pemuda-pemudi Bali yang biasa terjadi di masyarakat.
Yuk mampir dulu kesini kalau mau tau tentang para pemuda-pemudi yang mengalami cinta terlarang, bukan soal perbedaan ekonomi tapi perbedaan kasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15.

Kak Ras menatapku curiga, ah tidak bagaimana ini ? Apa aku harus menceritakan semuanya pada mereka? Aku berjalan menuju kamarku, pulang dari kontes itu benar sangat melelahkan hari ini.
Masih menunjukkan pukul 21.25 lumayan malam ternyata. Hari ini benar-benar merindukan sosok bunda. Aku lemah karena bunda sekarang.
Kak Ras datang ke kamarku dan berjalan menuju meja belajarku tempat aku duduk sekarang.
"Sanis, kamu tau apa yang aku takutkan selain kehilangan Bunda?" tanya kak Ras padaku. Aku menggeleng sambil menundukkan kepala.
"Aku takut kehilangan kamu Sanis." jawabnya pelan, aku menatap mata kak Ras dan tidak sama sekali ada kebohongan disana.
Aku memeluk tubuh kekar pria ini, aku menyayanginya sebagai kakakku. "Ya Sanis, kita keluarga dan kamu tau? Aku berhak tau masalahmu." lanjutnya lagi , memang dia juga harus tau tentang aku. Lagi pula aku blm menceritakan tentang diriku kepada kak Ras. Sedangkan Dita bahagia ketika tau kak Ras adalah kakaknya dan dia juga anak yang cerewet, katanya kak Raspati suka itu.
"Kamu waktu itu pulang dengan Pak Iyan?" tanya kak Ras padaku yang menatapku serius, aku mengangguk padanya. Aku masih ragu ini arah pembicaraannya kemana sebenarnya.
"Dita cerita sama aku kalau kamu itu pulang dengan basah kuyup, padahal gak hujan, Wayan juga gak tau kenapa kamu basah kuyup dan satu lagi kamu juga gak mau kasik tau dia masalahmu."
Aku menduga jika ini akan terjadi nanti, Dita akan mengatakannya pada kak Ras. Wajar saja sih, bagaimanapun juga mereka juga akan tau.
"Hmm sebenarnya akuu ... -" aku sangat ragu mengatakannya pada kak Ras.
"Ayolah Sanis." Mohon kak Ras padaku walaupun dia tau, jika aku enggan untuk menceritakan tentang ini padanya.
Aku tetap diam dan tak ingin menyakiti kak Ras dengan seseorang yang melakukan itu padaku.
"Cim, Sanis! Ayoo makan!?" Syukurlah kak Luna datang dan memanggil kami untuk makan malam. Kak Luna dan Kak Raspati baru datang dari tempat kerja sebagai dokter di rumah sakit dan pulang lumayan malam dan Dita sudah tidur sejak tadi.
"Mungkin besok ya, kita bahas ini.", kak Ras mencium keningku dan pergi ke dapur untuk memenuhi panggilan kak Luna.
Berusaha memejamkan mata aku tak bisa tidur malam ini. Aku harus bagaimana sekarang, lalu Juna ? Apa yang dia pikirkan saat ini ? Apa dia akan membenciku?
Aku menatap layar ponselku yang berdering, tengah malam.
Arjun's calling....
Aku dengan cepat pergi ke balkon untuk mengangkat telepon darinya. Aku masih ragu untuk bicara padanya. Aku menangis jika seperti ini bagaimana aku mengatakannya.
"Halo Sanis Lo baik-baik aja kan?"
Suara Juna terdengar dari sebrang sana, suaranya parau dan bernada khawatir. Aku ingat tadi aku menghindar darinya, aku enggan bicara dengannya juga.
"Iya Juna, gue dah di rumah."
Aku menjawab dengan tenang agar ia tak curiga isi hatiku ini.
"Apa yang lo lakuin Nis? kenapa Dinda yang ke babak final? Ada apa dengan Lo ?"
Sudah kuduga Juna menyadarinya bahwa ada sesuatu antara aku dan Dinda. Aku menggeleng sambil menundukkan kepalaku, aku mulai terisak sekarang.
"Nis? Halo Lo masih di sana kan ya?"Juna mungkin mendengar aku sedang menangis, air mataku kini tak bisa di bendung lagi.
"Iya Juna, gue sebenernya ....." aku ragu dan aku tidak akan membuat Juna kesal dengan Dinda.
"Sanis lo harus bilang ke gue kalau Dinda yang buat Lo mundur ?" Sekali lagi ia mengulangi pertanyaannya itu. Aku tak ingin mengatakannya sekarang.
"Maaf Juna, gue gak bisa jelasin sekarang." jawabku dan mengakhiri percakapan kami di telepon itu.
Juna tetap mendesakku agar mengatakan jika memang itu benar, tapi aku enggan mengakui itu. Aku kembali ke kamar untuk menenangkan hati dan pikiranku.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bangun dan berniat untuk pergi ke sekolah sendiri, Aku sarapan pagi dengan roti dan juga susu. Dita sudah pergi dengan kak Luna dan aku akan pergi dengan kak Ras.
"Kak ayok kita berangkat," ajakku yang mengunyah lalu meminum susu segar itu.
Kak Ras datang dan mengusap sudut bibirku ini dengan tisunya yang di bawa setiap hari.
"Sanis, di tunggu Arjuna." Sungguh aku kaget dengan kedatangan Arjuna ? Kak Ras mendorong punggungku keluar. Aku hanya diam di depan Juna yang menunggu penjelasanku.
"Setelah jam pulang sekolah Lo ikut gue ya." ucap Juna padaku yang menatapku datar, aku tidak suka Juna yang hari ini.
Apa Juna tau tentang rencana Dinda?
Aku berjalan menuju ruangan taksu club' yang sudah ada pak Iyan mempersilahkan aku untuk duduk.
Juna hanya diam saja, tak bicara padaku sama sekali. Ia membawa buku gambarnya yang penuh dengan lukisannya itu. Ouh iya aku juga mau menyetorkan kepada pak Iyan sekarang.
Juna mengajakku ke tempat itu lagi untuk membicarakan tentang pameran seni rupa nanti.
"Nis, kita ketemu di bawah pohon mangga di belakang kelas taksu club." ucap Juna padaku dan berlalu dari hadapanku menuju studio tari.
Sekolah kami lumayan luas dengan berbasis seni tradisional dan walaupun ini SMA, namun membedakannya dari sekolah lain yaitu dengan cara mengumpulkan semua seniman disini. Ada yang spesial dari sekolah kami yaitu menampung kegiatan seni di daerah Bali.
"Ara!?" aku memanggil Ara yang sejak tadi menatapku, namun ia berlari menjauh seakan tak ingin dekat denganku lagi, aku mengejar Ara.
"Ara, Lo kenapa ?" tanyaku padanya Ara hanya menatapku dan tak menjawabku. Wajahnya terlihat sendu tak biasanya seperti ini.
Ia menggeleng sambil tersenyum lalu bergegas begitu saja, aku heran dengan sikapnya itu.
.................
Sri menarikku ke dekat pohon mangga yang rindang di belakang studio tari. Ia menatapku dengan kesal berharap ia akan tau masalahku ini, biasanya cuma dia yang bisa membantuku dan memecahkan masalahku ini, jika sangkut pautnya di sekolah.
"Gue nungguin Lo ceritain semuanya. Gue kesel sama Lo." ucapnya padaku yang duduk di sebelahku. Aku hanya diam saja, ia menghela nafas gusar.
"Gue tau Sanis, dia pasti ngancam Lo dari dulu memang gue sudah tau. Tapi Lo cuma diem padahal gue nungguin Lo bilang ke gue....-" Sri memegang kedua bahuku dan menatapku dengan serius kali ini.
Aku tertegun mendengar pernyataan dari Sri dia tau kalau aku punya masalah dengan Dinda, namun aku tak tau dia seteliti itu padaku.
"Gue nungguin cerita masalah Lo selama ini. "
Aku tetap menggelengkan kepalaku dan tetap menolak untuk menceritakan tentang dirinya dan juga Dinda. Aku berdiri dari tempat dudukku, karena hatiku ini ingin menahan pukulan dari masa lalu hingga sekarang.
"Nanti juga Lo tau sendiri, karena ini urusan gue Ri, gue tau yang mana harus orang lain tau dan yang orang lain gak boleh tau Ri. Jadi maaf, gue gak bisa kasik tau sekarang."
Jelasku pada sahabatku ini, mungkin kecewa dengan jawabanku sekarang. Dia mengenalku sejak SMP dulu, ia tau semuanya tapi sekarang mengapa aku tidak ingin ia tau tentang ini. Sri menganggukan kepalanya memelukku erat, aku menyalurkan semua perasaanku padanya.
"Okey, kalau itu yang membuat lo nyaman dengan memendam semua masalah Lo dan ada saatnya semuanya akan terungkap."
Aku menatap seseorang yang di sebrang sana, dia tersenyum licik ke arahku dari jauh aku bisa merasakan aura negatif dari gadis itu. Sepertinya ia punya rencana lain kali ini.
"Srik Lo ngapain disini? tuh di panggil sama ketua paduan suara." ucap Juna yang meminta agar Sri beranjak dari tempatnya. Sri menatapku dan masih berharap jika aku akan menceritakan semua padanya.
"Tapi Juna, gue belum yakin kalau dia kalah dengan sia-sia. Dan gue juga yakin ada sesuatu diantara mereka Juna." ucap Sri pada Juna yang menganggukan kepalanya setuju, tapi mereka menjauh dariku dan terlihat berbisik disana.
"Ayoo Sanis kita ke tempat biasa ya." Ajak Juna yang menarik tanganku ini. Seperti biasanya kita duduk di tempat bernama jineng itu.
"Nis, gue yakin ini adalah hal yang paling Lo inginkan." ucap Juna padaku yang menunjukkan lukisannya. Aku tersenyum padanya. Wajahnya terlihat serius sekarang, sudahlah aku mengikuti semua alurnya saja.
"Lo tau gue gagal, membuat Lo maju ke babak final jegeg bagus waktu itu." tuturnya padaku yang menundukkan kepalanya.
"Enggak Juna Lo gak salah, gue gak apa-apa kok dan selama ada pengalaman untuk mengikuti hal yang baru." jawabku santai sambil tersenyum pada Juna yang memegang bahunya.
"Enggak Sanis, harusnya kita gak usah ikut seleksi dan harusnya ini gak terjadi." tukas Juna masih menunduk, entah apa yang ia tahu tentang aku dan Dinda waktu itu.
"Udahlah Juna gak usah dipikirin lagi," aku berdiri dan mengajak Juna pulang agar bisa menenangkan dirinya.
.......
Aku terus memandangi langit yang penuh bintang, entah di mana sang rembulan sekarang ini. Seharusnya aku tidak di luar rumah, apalagi di balkon kamarku. Nanti liat yang aneh-aneh jam segini.
"Jangan di luar nanti di culik looh." suara khas itu terdengar manis di telingaku. Aku menoleh ke belakang dan duduk di sebelah Kak Ras.
"Nis, besok kita jenguk bunda hayook." ajak kak Ras padaku yang menatapnya dengan nanar. Ia memelukku dengan hangat.
"Nis, kamu lihat bintang yang paling terang disana?" tanya kak Ras, aku melihat bintang yang paling terang. Yap, dia sendirian disana. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Biasanya dia sama bulan gak sendirian, dan kamu tau kak Ras selalu menatap bintang itu biar gak sendirian. Kalau bulan gak ada seperti hari ini." Aku tersenyum tipis dan memandang wajah kak Ras yang manis matanya sedang tertuju pada bintang itu, malam-malam begini bikin lumer dia.
"Aku merasa ada ikatan dengan bintang itu, apa dia mama? Jika iya aku akan bernyanyi disini menyampaikan rasa rindu pada mama." jelas kak Ras padaku yang menatapku, " sekarang ada dua gadis manis yang selalu membuat aku terhibur, jadi aku tak perlu lagi bernyanyi untuknya. Mama mengatakan jika ia bahagia kalau aku bahagia." Aku mengangguk dan memeluk tubuh kekar pria ini.
"Lupakan masalahmu dan fokus pada tujuanmu, kemarin kak Ras terbawa emosi. Kau mempunyai masalah di sekolah, dan kakak percaya jika kamu bisa menyelesaikannya. Jika kamu butuh saran katakan saja padaku." Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, pria ini benar-benar mengubah semuanya. Semoga akan terus seperti ini.
"Ayok, besok sore kita jenguk bunda dan besok katanya mau ke pameran seni rupa bukan?" tanya kak Ras padaku. Aku tau siapa yang memberi taunya pasti pak Iyan.
"Pasti pak Iyan yang kasik tau kan ya?" tebakku di balas dengan gelengan kepala darinya.
"Loh siapa?" tanyaku lagi padanya, kak Ras hanya tertawa kecil dan masuk ke dalam kamarnya. Aku merasa kesal karena itu, aku memutuskan untuk pergi tidur.
Aku mendengar suara handphoneku yang berbunyi bertubi-tubi, rasanya malas sekali jika melihat notifikasinya. Aku menebak-nebak siapa yang mengirim pesan spam.
Arjun : P (10)
Gak jauh dari angka sepuluh
Ara : P (3)
Tumben nih bocah spam begini
Taksu club' : Pak Iyan : untuk besok ....(12)
...................
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung