Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Umar duduk di kursi pengemudi mobil mewah itu, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir tanpa henti. Campuran rasa cemas dan gembira menyeruak di dadanya. Beberapa hari cuti sudah diambil khusus untuk momen penting ini, melamar Nay, wanita yang telah lama ia puja. Di mobil sebelah, Nay tampak serius menatap jalan, sesekali menghela napas panjang sambil memegang erat tasnya.
"Kita hampir sampai, Umar," suara Nay membuatnya tersadar. Tapi dalam benaknya, pertanyaan mengganjal,
"Apakah orang tua Nay bisa menerima aku?" gumamnya pelan.
Mereka beriringan mengendarai dua mobil mewah menuju Palembang, kampung halaman Nay. Umar teringat bagaimana orang tuanya di Semarang sudah berharap pernikahan ini bisa terjadi sesegera mungkin, meski dengan cara sederhana, ijab Kabul dulu, lalu pesta di tahun depan. Mungkin ini solusi terbaik untuk menjembatani jarak di antara keluarga mereka. Di balik senyum tipisnya, Umar menguatkan hati, berharap semua berjalan lancar dan cita-cita mereka segera terwujud.
Umar menarik napas dalam-dalam, berharap segala sesuatunya berjalan mulus sesuai rencana. Hatinya dan Nay teranyam doa, memohon restu Sang Maha Pengasih serta berkah dari kedua orang tua mereka agar cinta tulus ini mampu mengalahkan segala rintangan.
Perjalanan ke Palembang ternyata lebih singkat dari bayangan mereka. Jalan tol yang lengang membuat Umar dan Nay bisa duduk santai, sesekali saling bertukar senyum gugup. Saat mobil melaju memasuki kompleks rumah Nay, dada Umar terasa sesak, tapi ada kehangatan yang tak terlukiskan.
Nay sudah memberi tahu keluarganya bahwa dia akan membawa Umar berkunjung, membuatnya campur aduk antara malu-malu dan bangga. Di saat yang sama, senyum Nay yang malu-malu dan pegangan tangan mereka yang erat memberi tanda bahwa ini awal baru yang penuh harapan.
Umar mengamati dengan seksama setiap persiapan yang dilakukan orang tua Nay. Pak Usman sibuk merapikan seserahan di atas meja, sementara Bu Rokaya berulang kali memastikan semua barang sudah lengkap.
Ada ketulusan yang terlihat di wajah mereka, membuat hati Umar hangat dan penuh rasa syukur. Dia tersenyum tipis, menyesap makna bahwa dirinya benar-benar diterima dalam keluarga ini. Pak Usman menarik napas panjang, matanya memandang seserahan yang sederhana tapi sarat makna.
“Semoga pertemuan ini membawa kebahagiaan untuk kita semua,” pikirnya lirih.
Di sisi lain, Bu Rokaya menyeka peluh di keningnya, berharap hati mereka kuat menjalani proses ini dengan ikhlas dan penuh berkah. Di balik kelelahan itu, mereka berdua merenung, bertanya pada diri sendiri, apakah sudah cukup baik untuk menjadi bagian keluarga Nay. Senyum Umar yang tulus seolah jadi jawaban paling hangat dari doa-doa mereka.
Nay merasakan detak jantungnya berdegup cepat saat memperkenalkan orang tua Umar dan Umar sendiri ke keluarga besarnya. Tangan-tangannya terasa dingin meski wajahnya berusaha menampilkan senyum hangat. Di ruang tamu, suara-suara pelan bercampur tawa ringan terdengar, tapi hati Nay tetap tegang.
“Nyawa ini rasanya mau copot aja pas ngenalin mereka ke Ayah sama Ibu,” gumamnya dalam hati, napasnya sedikit tercekat. Meski begitu, matanya berbinar saat melihat sambutan hangat dari keluarga Nay. Ia teringat nasihat orang tuanya yang menyarankan untuk santai dulu, tak langsung membahas topik berat soal lamaran.
Tiba-tiba, orang tua Umar memecah suasana dengan kalimat lugas, “Kami datang untuk melamar putri Anda.” Suasana berubah, detik-detik itu seperti berhenti.
Wajah Nay membeku sejenak, lalu senyum tak bisa disembunyikan lagi mekar di bibirnya. “Ini benar-benar kejutan,” pikir Nay sambil menahan bahagia yang menggelegak di dadanya.
Dia berdiri terpaku, seolah-olah seluruh dunia melayang di bawah kakinya. Jantungnya berdegup cepat, tapi di dalam hatinya, ada keraguan yang belum hilang. Apakah dia benar-benar siap menyambut perubahan besar ini? Pak Rahmat menarik nafas panjang, wajahnya menegang saat berkata dengan nada serius,
"Sebagai orang tua Nay, kami hanya bisa memberikan restu untuk putri kami." Matanya menatap dalam ke arah Nay.
"Aku tahu Pak Usman, Bu Rokaya, dan Umar sudah menyampaikan niat mereka kepada Nay. Istri dan aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya. Tapi, pada akhirnya, keputusan ada di tangan Nay sendiri. Dialah yang akan menjalani hidup bersama calon suaminya."
Mendengar itu, Umar melepaskan napas lega, bahunya merosot seperti beban berat yang akhirnya hilang. Hatinya bergetar, namun ia tahu ini bukan saatnya memaksakan kehendak.
Rasa cemas dan gugup yang dulu membelenggu hati Umar perlahan mencair saat senyum hangat dari keluarga Nay menyambut niatnya. Ia bisa merasakan getaran bahagia yang merambat di dadanya, seolah beban berat perlahan terangkat. Orang tua Umar saling tukar pandang, mata mereka memancarkan kelegaan yang tak terucap setelah pembicaraan lamaran itu berjalan lancar.
Ketika suasana berubah menjadi santai, tawa kecil mulai mengisi ruang makan yang hangat. Meja makan malam penuh dengan piring-piring berisi hidangan yang menggoda selera, namun yang lebih menggoda adalah cerita-cerita ringan dan candaan yang meluncur lepas antar keduanya.
Kelelahan perjalanan dari Semarang ke Palembang seolah terlupakan, digantikan oleh keakraban yang mengalir alami, seakan mereka telah saling mengenal jauh sebelum pertemuan ini.
"Kalau begitu, lusa kita akan melangsungkan pernikahan Umar dan Nay ya?" ujar orang tua Umar, yang kemudian disetujui oleh orang tua Nay dengan senyuman lebar.
Umar sendiri merasa sangat beruntung bisa menikahi gadis baik hati seperti Nay. Orang tua Nay pun menyerahkan putrinya pada Umar, yang kelak akan menjadi suaminya.
Umar menatap wajah ibu Nay dengan penuh hormat.
"Jagalah Nay sebaik mungkin, Nak. Dia akan jadi istrimu nanti. Di perantauan, kamu yang bertanggung jawab melindungi dan merawatnya," suara ibu Nay terdengar tegas tapi hangat. Umar mengangguk mantap, bibirnya tersungging senyum tulus.
"Insyaallah, Bu. Saya akan menjaga Nay dan melindunginya," jawab Umar dengan yakin, hatinya bergetar oleh tekad. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri,
“Saya akan menjaga Nay sebaik mungkin, tak akan mengecewakan keluarganya. Hidup baru ini mungkin penuh tantangan, tapi dengan cinta dan dukungan, kami pasti bisa melewatinya. Nay adalah tambatan hatiku. Aku harus jadi pilar yang kuat untuk kami berdua.”
Tiba-tiba suara ibu Nay memecah suasana.
"Nay, ambilkan makan buat calon suamimu! Dari tadi Umar belum sentuh makanan yang sudah disiapkan," perintahnya sambil tersenyum hangat.
Nay segera bergegas mengambil piring, hati kecilnya berdebar, sambil memilih makanan yang paling disukai Umar dan dirinya sendiri.
Umar menatap piring itu, merasa dihargai sekaligus terharu oleh perhatian sederhana yang penuh makna.
"Kamu juga makan dong, Nay,"
Umar tersenyum sambil mengulurkan piring berisi nasi lengkap dengan lauk-pauk. Nay meraih gelas berisi minuman hangat buatan ibunya, campuran gula merah, jahe, kunyit, dan kencur. Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat gelas itu.
"Nanti dulu, Mas. Aku minum ini dulu biar hilang masuk anginnya," jawab Nay lirih, pipinya terasa hangat, tapi aku nggak yakin itu karena masuk angin atau gugup duduk bersebelahan di meja makan keluarga.
Tanganku lemah sekali, hampir tak sanggup mengangkat sendok, sementara mataku sesekali menatap piring tanpa berani menyendok satu suapan pun.
Umar menatap Nay dengan mata penuh keberanian, lalu tanpa ragu mengambil sendok dari piring di depannya. Di tengah riuh kecil keluarga kami dan keluarga Nay yang tengah bercengkerama, ia dengan cekatan menyuapi Nay. Wajah Nay tiba-tiba membara, pipinya memerah saat tatapan semua orang terarah ke mereka.
"Eh, ini kan momen kita, ya?" bisik Nay dalam hati, terkejut dan malu sekaligus. Namun di balik itu, ada setitik bahagia yang mulai menyusup.
Sementara itu, keluarga dari kedua belah pihak hanya bisa tersenyum, senyum yang sulit ditafsirkan, antara restu dan keheranan atas keberanian anak muda yang sedang dimabuk asmara. Napas Nay terasa lebih cepat, tangannya bergetar halus, campuran gugup dan haru mengisi dadanya.
"Lusa mereka akan menikah, kok," gumam salah satu paman dengan senyum bangga.
Rencana pesta besar di Semarang tahun depan pun sudah menggantung di benak semua orang, jadi kini tinggal menunggu waktu untuk mengikat janji sehidup-semati.