Keira hanya ingin mengejutkan pacarnya di Italia, tapi justru dialah yang dikejutkan. Dikhianati di negeri asing, Keira nekat melampiaskan rasa sakit dengan cara yang gila memesan seorang gigolo. Sayangnya, ia salah kamar. Dan pria yang menatapnya di ranjang… bukan siapa-siapa, melainkan CEO termuda di Eropa, Dean Alferoz
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Sakit
“Aduh cape banget, tapi seru,” gumam Keira memegang lehernya yang terasa sakit. Otot-ototnya seperti menegang setelah beberapa jam duduk menghadapi tumpukan dokumen yang bahkan belum ia pahami seluruhnya. Hari pertama memang tak pernah mudah, tapi tetap saja ada rasa bangga yang menggelitik dadanya dia akhirnya bekerja di perusahaan besar, di luar negeri pula.
“Duh mau ajakin Nichole beli kopi ke bawah tapi tu anak kemana coba,” gumam gadis itu menengok kanan dan kiri, memiringkan tubuh sedikit dengan harapan melihat poni hijau terang yang tadi menemaninya sepanjang pagi.
Sudah jam istirahat makan siang dan suasana lantai marketing mulai lebih santai. Beberapa karyawan berdiri sambil meregangkan punggung, beberapa lagi sibuk makan bekal, dan sebagian lain langsung pergi keluar untuk mengisi waktu istirahat. Kei sebenarnya ingin makan bersama seseorang agar tidak terlihat kesepian, tapi Nichole menghilang entah ke mana, Welly jelas bukan pilihan, dan karyawan lain rasanya terlalu serius untuk ia ganggu.
“Sudahlah sendiri aja deh,” putusnya sambil menghela napas.
Keira memencet tombol lift menuju lantai dasar. Di dalam lift, dia berdiri bersama beberapa karyawan lain yang sepertinya berasal dari divisi berbeda mungkin keuangan, mungkin legal, mungkin R&D. Setiap orang sibuk dengan dunia mereka sendiri, ada yang menatap ponsel, ada yang menahan menguap, ada yang memasang wajah datar khas pekerja kantoran yang sudah terbiasa dengan ritme cepat perusahaan besar.
Kei melirik sekilas papan informasi yang menempel di dinding lift. Perusahaan ini benar-benar besar; ratusan karyawan tersebar di berbagai lantai dan bidang, mulai dari fashion, kosmetik, F&B, hingga teknologi. Semuanya berada di bawah nama besar Alferoz. Makin dia melihat luasnya struktur perusahaan ini, makin ia sadar betapa kecilnya kemungkinan untuk bertemu Dean secara tidak sengaja.
“Ga ada Dean. Dia divisi apa sih? Bidang apa juga?” gumam Keira sambil berjalan pelan begitu pintu lift terbuka. “Aku baru tau tadi ternyata aku di bidang Fashion, ya gapapa lah… perusahaan segede ini mau ngarep kenal satu sama lain gimana. Hafal tim divisi sendiri aja udah bagus.”
Ia melangkah keluar gedung melalui pintu putar kaca yang otomatis berputar begitu tubuhnya masuk. Udara Roma menyambutnya dengan aroma jalanan kota, perpaduan kopi, roti panggang, dan sedikit angin dingin yang menyegarkan. Tidak seburuk yang ia sangka; bahkan polusi di kota ini pun terasa lebih lembut dibanding kemacetan Indonesia.
“Ternyata Roma memang sangat indah, bahkan polusi di sini sangat baik,” gumam gadis itu sambil tersenyum, menikmati suasana kota yang begitu berbeda dari rumahnya.
Keira masuk ke sebuah kafe kecil di dekat kantor. Tempatnya hangat, wangi espresso terasa kuat, dan banyak karyawan dari berbagai gedung di sekitar duduk sambil membuka laptop atau berbicara dengan suara rendah. Ia memesan kopi dingin, lalu sambil menunggu ia membaca menu memerhatikan perbedaan bahasa Italia dan Inggris sambil berusaha memahami satu per satu.
“Tapi sepertinya aku memang harus belajar bahasa Italia,” gumamnya pelan, matanya memandangi barista yang sibuk. “Suami ku orang Italia… tapi bagaimana kalau dia menemukan wanita lain? Percuma aku belajar bahasa Italia, di nikahi saja sudah beruntung…”
Bayangan itu menyentak dadanya, membuatnya menunduk.
“Maaf nona Keira pesanan anda,” ucap pelayan dengan ramah.
“Ah maafkan saya, terimakasih,” jawab Kei buru-buru sambil menerima kopi dengan kedua tangan.
Begitu ia berbalik, *BRUK!* seseorang menabraknya cukup keras hingga kopi dingin itu tumpah ke blouse-nya. Cairan dingin menyerap cepat ke kain dan membuatnya menggigil.
“Maafkan saya nona, maafkan saya. Saya akan mengganti kopi dan biaya laundry anda,” ucap pria itu panik menggunakan bahasa Italia.
Kei berhenti bernapas sesaat. Suara itu… dia mengenalnya. Dengan perlahan, ia mendongak. Begitu wajah pria itu terlihat jelas, dunia Kei seperti berhenti.
“KEIRA?!!” teriak Tom dengan kaget.
Pelayan kafe buru-buru membantu Kei berdiri, menyodorkan tisu. “Nona, apa anda baik-baik saja? Ini nona tisu.”
“Terimakasih, tidak masalah, aku akan membersihkan nya sendiri,” ucap Kei ramah tapi jelas ingin pergi secepat mungkin.
Ia langsung melangkah keluar kafe dengan cepat hampir berlari. Namun Tom tidak tinggal diam. Dengan panik, pria itu mengejar Kei dan menangkap pergelangan tangannya sebelum gadis itu berhasil kabur.
“Kei kenapa kau ada di Roma?” tanya Tom dengan napas tersengal, wajahnya pucat.
“Lepaskan,” ujar Kei dingin, mencoba menarik tangannya.
“Jawab dulu Kei. Kenapa kau ada di Roma? Bukankah baru seminggu yang lalu setelah kita bertemu kau ada di Indonesia?”
“Lepaskan aku TOM! Itu tidak ada urusannya denganmu mau di sudut mana pun aku di dunia ini, sudah tidak ada lagi urusannya denganmu!” teriak Kei penuh emosi.
Tom menahan pergelangan tangan itu lebih erat, wajahnya seperti seseorang yang baru kehilangan arah hidup. “Kei… dengarkan aku dulu. Aku memang sudah memutuskan hubungan kita tapi ternyata aku aku benar-benar menyesal.”
Kei hanya menunduk. Tangisnya hampir pecah, tapi ia berusaha keras menahan.
Tom menarik napas panjang, lalu mulai bicara dengan suara bergetar sebuah suara yang tak pernah Kei dengar dari pria itu sebelumnya.
“Kei, wanita itu bernama Elara. Anak salah satu donatur kampus. Dia menyukaiku… aku sudah bilang aku punya pacar dan aku sangat mencintai mu.”
Kei membeku.
“Beasiswa-ku tiba-tiba dihentikan sepihak… karena Elara. Dia bilang akan mengembalikan semuanya dengan syarat aku menjadi… teman tidurnya. Aku bilang aku punya kamu. Aku menolak. Tapi kemudian—”
Suara Tom pecah.
“—bunda sakit, Kei. Biayanya besar. Aku tidak bisa membiarkan bunda jatuh miskin hanya demi ego ku…”
Kei merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Napasnya tercekat.
“HARUSNYA KAU BERCERITA KEPADAKU TOM! KENAPA KAU BARU MENGATAKANNYA SEKARANG!” teriak Kei, air matanya akhirnya jatuh.
“Maafkan aku, Kei… aku gila, aku bodoh…” suara Tom semakin serak. “Tapi tujuh tahun itu bukan waktu yang singkat. I still love you, Kei. Even now.”
Tanpa menunggu jawaban, Tom memeluk Keira dari belakang. Pelukan itu gemetar, seperti seseorang yang baru tersadar kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Kei berdiri kaku, air mata jatuh tanpa henti. Luka lama yang ingin ia kubur dalam sekejap kembali terbuka.
Dan pada saat itu
Dari kejauhan, dua pria baru berjalan melewati kafe: Dean dan Mathew.
Mathew mengerutkan dahi, memperlambat langkah. “Tuan… bukannya itu nona Kei? Dan… mantan pacarnya?”
Dean berhenti.
Matanya langsung menatap dua sosok itu Keira yang terisak… dipeluk pria lain.
Rahangnya mengeras.
Tatapan itu tak bisa dibaca.
Tapi satu hal jelas:
Emosi yang ia tahan sejak menikahi Keira perlahan bangkit ke permukaan.
...----------------...
Halo reader! Jangan lupa vote cerita ini untuk bantu novel ini terus berkembang. Terima kasih banyak!
lagi manja kepada istri
sadar gak tuch
kalau suaminya CEO...
lanjut Thor ceritanya
di tunggu updatenya
aku sudah mampir ya🙏