Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Perasaan yang di kenal
“Tidak apa-apa, Tuan selalu benar.” Senyum Jeff mengembang tipis, meski terdengar sangat pasrah. Pria itu tahu bahwa membantah CEO-nya hanya akan mengundang amarah yang tidak perlu. Ia menarik napas panjang namun tetap menjaga ekspresinya seprofesional mungkin.
“Sudahlah. Aku ingin pulang,” ucap Alaska pendek sambil berdiri dari kursinya, mengambil jarak seolah udara di ruangan itu sudah terlalu berat.
“Baiklah, akan saya antarkan Tuan,” jawab Jeff, masih berusaha tersenyum meskipun hatinya mulai lelah menghadapi emosi tak menentu bosnya itu hari ini.
“Ya, siapa lagi kalau bukan kau yang mengantarkanku?” ketus Alaska sambil menyambar jasnya dan langsung melangkah keluar ruangan. Suaranya memotong udara seperti pisau tumpul yang tetap menyakitkan.
Seharusnya pria itu tidak banyak bicara hari ini, batin Jeff masam. Setidaknya diam itu lebih baik. Karena setiap kali aku buka mulut, dia langsung menyerang balik. Tapi begitulah atasan: selalu benar.
Jeff hanya bisa memasang wajah pasrah sambil merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Hari ini adalah salah satu hari terpanas dalam kariernya bersama Alaska.
Mereka turun melalui koridor panjang perusahaan Arnolda yang diterangi lampu-lampu putih modern. Setiap langkah Alaska bergema tegas, diikuti langkah Jeff yang sedikit terburu agar tidak tertinggal.
“Tuan, nanti malam Tuan Lukas akan mengadakan acara di sebuah club. Beliau mengundang Anda,” ujar Jeff sambil menyelaraskan langkah.
Alaska tetap diam. Langkahnya memasuki lift khusus petinggi perusahaan tanpa memberi respons apa pun. Jeff bahkan tak berani menatap wajah CEO-nya lewat pantulan pintu lift yang mengkilap. Pria itu memang paling malas datang ke club malam keramaian, suara bising, bau alkohol semua itu bukan tempatnya.
Axel pun dulu sama. Tuan Axel, ayah Alaska, selalu mengajarinya menghindari tempat-tempat seperti itu kecuali untuk urusan bisnis penting. Dan ternyata Alaska menerapkan hal yang sama.
Lift berbunyi pelan ketika sampai di lantai bawah. Pintu terbuka, memperlihatkan lobby luas perusahaan Arnolda yang elegan. Satpam segera memberi hormat.
“Sore Pak CEO, hati-hati di jalan,” sapa satpam dengan hormat.
“Tuan Dean juga akan ada di sana. Beliau datang kemarin untuk meeting dengan Tuan Luis. Besok Tuan Alferoz akan kembali,” sambung Jeff menjelaskan.
Alaska menghela napas berat dan menghentikan langkahnya sesaat.
“Hah… sial. Jika bukan karena Dean, aku tidak akan datang. Kau jemput aku nanti malam. Aku akan tidur dulu sebelum ke sana,” jawab Alaska akhirnya, baru menanggapi informasi itu.
“Baik Tuan,” Jeff tersenyum lega.
Baru dijawab. Tadi diam kayak ngomong sama patung, batin Jeff.
Mereka akhirnya keluar menuju halaman depan perusahaan. Mobil hitam keluarga Arnolda melaju perlahan menembus keramaian ibu kota yang mulai padat oleh jam pulang kantor. Klakson bersahut-sahutan, kendaraan menumpuk, matahari sore membakar aspal dengan warna jingga yang menyilaukan.
Di sisi lain kota, pada saat yang sama…
Arum berjalan di tepi trotoar sambil membawa dua kantung plastik besar dari swalayan. Gadis itu berkeringat karena teriknya matahari sore. Dia baru saja pulang dari membeli bahan makanan yang diminta Dian.
“Kak Dian suruh naik taksi online sih… tapi aku kan nggak punya ponsel buat pesannya. Apa dia lupa?” gumamnya sambil meringis. “Yaudah sih. Lagi pula dekat. Sayang kalau habisin duit.”
Arum menghentikan langkahnya sejenak, memandangi deretan mobil yang mengular panjang.
“Wih… macet banget. Semua jenis mobil ada di sini. Bahkan motor juga.” Dia menggeleng takjub melihat macet khas ibu kota.
Tanpa Arum sadari, tepat di jalur padat itu, Alaska sedang duduk di dalam mobilnya. Pria itu menatap ke samping untuk menghindari cahaya matahari yang terlalu terang. Namun saat tatapannya sekilas menyapu trotoar, sesuatu membuat jantungnya berhenti sejenak.
Siluet seorang gadis.
Kaos oblong sederhana, celana tartan berwarna krem, dan dua kantung plastik besar di tangan kecilnya.
Matanya membelalak.
“Arum?” gumam Alaska terkejut.
“Ada apa, Tuan?” tanya Jeff sambil melajukan mobil karena lampu hijau menyala.
“Jeff, berhenti,” kata Alaska tiba-tiba tegang.
“Tuan? Tidak bisa berhenti mendadak di—”
“Aku bilang berhenti, Jeff!” bentak Alaska.
“Maaf, Tuan, tapi di sini tidak boleh—”
“Aku bilang berhenti!” suara Alaska membelah seluruh kabin mobil.
Refleks Jeff menginjak rem keras. Mobil berhenti tepat di tepi jalan, membuat beberapa mobil di belakang mereka langsung membunyikan klakson panjang.
Alaska tak peduli. Dia langsung keluar dengan cepat dan menatap ke perempatan. Namun ketika ia mencari siluet itu, tidak ada siapa pun. Hanya seorang siswi SMA sedang menunggu angkot.
Sosok Arum menghilang seolah diawasi oleh takdir yang iseng.
Tin tin tin!!
“WOI!! LU KIRA JALANAN PUNYA BOKAP LU, HA?! JANGAN BIKIN MACET!!” teriak seorang pengendara dari belakang.
Jeff panik.
“Haduh Tuan Alaska! Apaan lagi sih ini…” gumamnya dengan suara hampir pecah.
Alaska memicingkan mata, memandangi area trotoar yang kini kosong.
“Sudahlah. Mungkin hanya firasatku,” gumamnya lalu masuk kembali ke dalam mobil.
“EMANG ANJ!!!” teriak pengendara lain.
Jeff hampir menangis karena stres.
Mobil kembali melaju pelan. Jeff mengusap keringat yang menetes di pelipisnya. Dia tak sanggup membayangkan apa jadinya kalau pengendara tadi mengenali Alaska dan membuat masalah.
“Tuan… sebenarnya ada apa sih? Saya kaget dimarahin orang-orang,” ujar Jeff memecah keheningan.
“Tidak apa-apa,” jawab Alaska dingin.
Bilang nggak apa-apa setelah aku hampir dikeroyok… batin Jeff sambil menyunggingkan senyum pahit.
Yang tidak disadari Alaska: dia tidak salah lihat.
Arum memang ada di sana.
Saat Alaska menatap ke arah trotoar, Arum menunduk karena kelelahan. Tapi begitu gadis itu merasa barang belanjaannya semakin berat, ia melirik deretan ojek di belakang mobil Alaska ojek yang ikut berhenti karena lampu merah.
“Mang, anterin ke dalam perumahan sana. Lima ribu ya, dekat kok,” ujar Arum sopan.
“Astaga, Neng… ini Jakarta, bukan desa. Lima ribu dapat apa? Jalan kaki aja,” jawab tukang ojek.
“Yaudah… sepuluh ribu deh. Deket kok, itu di sana,” Arum menunjuk.
“Yaudah deh boleh… untung Neng-nya cantik,” tukang ojek setuju.
Arum naik ke motor. Sebelum ojek melaju, dia sempat melirik ke barisan mobil.
Sebenarnya dia sempat melihat sosok yang sangat familiar.
Tapi dia menggeleng.
“Kok aku malah kepikiran guru nyebelin itu ya? Pasti dia senang aku nggak masuk sekolah lagi. Ish… kalau aku masih sekolah, aku kerjain dia sampai dia minggat dari sekolah,” gumamnya sambil memeluk kantung plastik barang belanjaan.
“Padahal baru beberapa kali ngerjainnya… apa teman-teman rindu aku nggak ya? Tapi jarak dari sini lumayan jauh. Harus berangkat pagi banget. Pulangnya juga beberapa jam. Nggak punya nomor mereka juga… gimana mau ngabarin?”
Arum menatap langit yang berubah jingga, matanya sayu.
“Semoga kalian baik-baik aja, ya… Ibu dan Bayu juga pasti udah bahagia sekarang.”
...----------------...
Bantu dukung author dengan meninggalkan komentar kalian. Feedback kalian sangat membangun untuk bab selanjutnya!