Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pawang Baru Desa
Perjalanan kembali ke Desa Raga Pati adalah sebuah perjalanan yang sunyi. Setelah melarikan diri dari hutan, Bian dan Tiara berjalan kaki, menjauh dari ingar-bingar kota, kembali ke jalanan pedesaan yang mereka tinggalkan dalam kepanikan. Di belakang mereka, Kepala Desa Rahmat telah ditangkap oleh petugas kehutanan yang menemukan insiden di Gua Bunga Abadi ,dengan cerita yang dikarang oleh Jaga untuk menutupi kebenaran supranatural.
Mereka berjalan beriringan dengan Jaga. Pria besar itu, yang kini tidak lagi bisu, berjalan dengan langkah lambat dan penuh kewibawaan.
"Jaga, apa artinya tulisan itu?" tanya Bian, suaranya lelah. "Pawang Baru. Apakah kami sekarang terikat pada desa itu?"
Jaga berhenti, menatap cakrawala di mana matahari mulai terbit, memancarkan cahaya keemasan ke Desa Raga Pati di kejauhan.
"Kalian tidak terikat, Nak Bian," jawab Jaga, suaranya serak tetapi tegas. "Kalian telah memutus Kutukan Sumpah Mbah Pawiro dan membebaskan Arwah Sari. Tetapi dengan memusnahkan Lilin Hitam, kalian telah menciptakan kekosongan. Kekosongan itu selalu menarik kekuatan. Kalian, dengan darah Pranoto dan keberanian Nona Tiara, telah mengisi kekosongan itu."
"Jadi, kami adalah Pawang?" Tiara merasa cemas.
"Kalian adalah Pelindung Baru," koreksi Jaga. "Mbah Pawiro meninggalkan jejak, yang disebutnya 'Pawang Baru'. Itu adalah tantangan terakhirnya. Dia meramalkan bahwa entitas kegelapan lain akan tertarik pada energi yang dilepaskan saat Kutukannya hancur."
Jaga memimpin mereka menaiki bukit. Di bawah mereka, Desa Raga Pati terlihat damai. Rumah-rumah kayu itu tidak lagi diselimuti kabut tebal. Jendela-jendela yang tadinya tertutup rapat kini terbuka. Anak-anak bermain di lapangan.
"Sepertinya... desa itu sudah kembali normal," kata Bian, merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Berkat kalian," ujar Jaga, mengangguk. "Tanpa Kutukan, Desa Raga Pati adalah desa yang indah. Tetapi ia memiliki sejarah yang kelam, dan sejarah itu memanggil."
Saat mereka memasuki desa, sambutan yang mereka terima mengejutkan. Warga desa tidak lari ketakutan atau menuduh mereka. Sebaliknya, mereka menyambut Bian dan Tiara dengan senyuman dan pandangan hormat.
"Tuan Bian, Nona Tiara," seorang wanita tua menyambut mereka di gerbang desa, wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya hangat. "Terima kasih. Kami merasakan... kedamaian."
Mereka menuju ke rumah warisan Kakek Pranoto. Rumah itu kini tampak berbeda. Jendela-jendelanya terbuka, lantai marmernya bersinar, dan yang paling penting, tidak ada lagi hawa dingin yang menusuk atau bayangan yang mengawasi.
Jaga mengantar mereka hingga ke pintu depan. "Kutukan telah pergi. Kalian aman di rumah ini."
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Jaga?" tanya Bian.
"Aku? Aku adalah penjaga yang jujur. Tugasku sudah selesai," jawab Jaga, matanya memancarkan kesedihan. "Aku harus membawa jenazah rekan-rekanku kembali ke desa mereka. Dan memastikan kebenaran tentang Mbah Pawiro tidak merusak ketenangan yang baru ini."
Jaga menunjuk ke lemari ukir besar. "Pintu logam itu kini hanya pintu. Kuncinya sudah dihancurkan. Kalian bebas di sini."
Jaga berbalik, meninggalkan mereka untuk menghadapi takdir baru mereka.
Bian dan Tiara masuk ke dalam rumah. Rasanya seperti masuk ke rumah baru. Mereka naik ke kamar tidur, tempat cermin itu pecah. Cermin di sana telah diganti, dan tidak ada lagi sisa-sisa rambut hitam atau noda darah.
"Kita harus pergi dari sini, Bian," kata Tiara, memeluk Bian erat. "Kita sudah mengakhiri ini. Kita bisa kembali ke kota, ke kehidupan kita."
Bian menatap keluar jendela. Pandangannya jatuh ke halaman belakang rumah, tempat sumur tua berada. Sumur itu tampak normal, tetapi Bian merasakan ada sesuatu yang memanggilnya.
"Aku tidak tahu, Tiara," ujar Bian, dengan suara rendah. "Jaga bilang ada hal lain yang menanti kita. Dan aku merasa... bahwa ini belum berakhir."
Bian berjalan ke dapur, mengambil air minum, dan melihat ke luar jendela.
Di halaman, di tepi sumur tua, seorang anak kecil sedang bermain. Anak itu tidak bermain dengan bola atau mainan, tetapi dengan segenggam debu hitam yang ia biarkan terbang tertiup angin.
Bian keluar. Ia menghampiri anak itu.
"Hai, Nak. Apa yang kamu lakukan?"
Anak itu menoleh. Matanya besar dan hitam, dan ia tersenyum lebar.
"Aku? Aku sedang menyambut sesuatu yang baru, Tuan," jawab anak itu, suaranya riang.
"Debu apa itu?" tanya Bian, melihat ke tangan anak itu.
Anak itu tertawa, lalu menaburkan debu hitam itu ke udara.
"Ini sisa-sisa dari sesaji. Dari yang lama. Yang sekarang sudah pergi."
Bian merasakan hawa dingin yang menusuk. Debu itu terasa familiar. Itu adalah sisa-sisa dari asap Mbah Pawiro yang hancur di Gua Bunga Abadi.
Tiba-tiba, anak itu berhenti bermain. Ia menatap ke arah gerbang desa. Ia tidak lagi tersenyum.
"Mereka sudah datang," bisik anak itu, matanya melebar karena takut. "Yang lebih tua. Yang lebih kuat."
"Siapa?" desak Bian.
Anak itu menoleh ke arah Bian, ekspresinya kembali berubah menjadi riang. "Selamat datang di Desa Raga Pati, Pawang Baru."
Anak itu berlari pergi, menghilang di antara pepohonan.
Bian berdiri membeku, menatap ke arah yang ditunjuk anak itu.
Di gerbang desa, ia melihat iring-iringan kendaraan mewah, kontras dengan kesederhanaan Desa Raga Pati. Beberapa pria berjas hitam keluar dari mobil, wajah mereka tegang dan serius. Mereka tidak tampak seperti pengikut Mbah Pawiro. Mereka tampak seperti orang kota yang memiliki kekuasaan.
Mereka berjalan ke arah rumah warisan Kakek Pranoto.
Di depan rombongan itu, berjalan seorang wanita tua dengan penampilan yang sangat berkelas, tetapi wajahnya dingin dan dipenuhi bekas luka lama.
Wanita itu berhenti di depan gerbang, matanya yang tajam menatap Bian.
"Aku tahu kau sudah kembali, cucu Pranoto," suara wanita itu, berat dan otoritatif, menusuk udara. "Aku adalah Adik Mbah Pawiro. Kami adalah keluarga Pawang yang sesungguhnya di sini."
Wanita itu tersenyum tipis. "Mbah Pawiro hanyalah anak kecil yang bermain api. Aku adalah orang yang menciptakan api itu. Dan sekarang kau telah membunuh kakakku, aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami."
Wanita itu menunjuk ke rumah warisan. "Rumah ini adalah Gerbang ke sumber kekuasaan kami. Dan kau, sebagai Pawang Baru, telah membukanya untukku."
Bian menatapnya. Dia membebaskan Desa Raga Pati dari satu kutukan, hanya untuk menyerahkannya kepada musuh yang jauh lebih kuat dan terorganisir. Perannya sebagai Pawang Baru baru saja dimulai.
nggak usah ajalah.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"