KEKUATAN NAGA KENAPA BISA ADA DI TANGAN BOCAH INI? PLOT TWIST-NYA: DIA BISA KUASAI SEMUA ELEMEN!
Bayangin: di dunia Aethoria yang isinya cuma soal kekuatan elemen, ada Vincent Kai, cowok misterius dari Suku Naga, yang diam-diam punya cheat code paling gila. Dia bukan cuma kuat, tapi Juga Overpower—dia bisa ngendaliin semua elemen! Rahasia ini harus dia sembunyikan dalam-dalam biar dunia enggak chaos.
Masalahnya, dunia fantasi mana yang damai terus?
Datanglah Ash Falnes Phoenix, dengan ambisinya yang setinggi langit, ingin membuat Aethoria tunduk di bawah kakinya. Rencana jahat Ash ini jelas mengancam keseimbangan Antara Suku Starlight, Aquaria, Terra, Sylvan, Aeolus, dan lainnya.
Ini bukan lagi sekadar petualangan biasa, ini pertaruhan hidup-mati yang penuh intrik, pengkhianatan, dan epic battle.
Vincent sekarang dihadapkan pada pilihan paling berat: terus hide and seek dengan kekuatannya sambil melihat dunia hancur, atau come out dan terima takdirnya?
Status : Daily Update
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zan Apexion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: UJIAN KETIGA INI KEYAKINAN PALSU? Atau Kunci Kemenangan?
Preview Bab Sebelumnya:
Lila melangkah maju, matanya yang tajam memandang Silas. "Mengapa ada ujian lagi? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lila, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu.
Silas hanya menggelengkan kepala.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan nya," katanya.
"Kalian harus segera memulai ujian. Jangan sia-siakan waktu."
Dengan itu, Silas menghilang dalam sekejap, meninggalkan Vincent dan Lila yang masih bingung serta tidak percaya. Mereka saling menatap, lalu menghela napas.
"Ayo, kita mulai dan lalui bersama," kata Vincent dengan suara yang tegas.
Lila mengangguk, dan mereka berdua bersiap untuk menghadapi ujian yang tidak terduga.
Bab 13: UJIAN KETIGA INI KEYAKINAN PALSU? Atau Kunci Kemenangan?
tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar lagi, suara gemuruh yang keras terdengar dari kejauhan. Vincent dan Lila saling menatap, mereka tahu bahwa ini adalah pertanda dimulainya ujian.
BUMMM! DRRRUMMM!
Tiba-tiba, dinding batu besar muncul di depan mereka, dari celah tanah dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat, menyemburkan debu tebal dan kerikil panas yang menyengat kulit. Dinding itu hitam kelam, diselimuti lumut purba, dan tingginya menjulang ke langit, memblokir jalan ke arah utara sepenuhnya.
Kemudian, Udara di sekitar dinding mendadak menjadi panas membara. Di atas permukaan batu yang kasar dan dingin itu, terdapat tulisan kuno yang terbakar dengan api yang sangat menyala.
Api itu bukan api biasa. Ia adalah api yang berwarna ungu pekat dan memancarkan panas dengan suhu ekstrem.
Lila menutup mulutnya dengan tangan, menunjukkan ekspresi takut dan kesulitan berbicara karena melihat pemandangan ini. kemudian, Vincent mengulurkan tangan untuk melindungi wajah Lila dari panas, sementara ia memfokuskan mata, berusaha membaca tulisan itu.
huruf-huruf itu terdiri dari sebuah kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat yang tulisannya terbakar oleh nyala api, adapun isi tulisan di atas dinding batu itu, yakni :
"KUNCI UNTUK MEMBUKA JALAN INI ADALAH: PENGORBANAN. PILIHAN ADA DI KAMU, KEMBALI ATAU MAJU. JIKA TIDAK, JIWAMU AKAN DIMAKAN OLEH API INI!"
Dengan demikian, Ujian ketiga Resmi dimulai.
Merespon hal itu mereka saling menatap satu sama lain, dan tahu bahwa ujian ini akan sangat sulit. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lila.
Vincent memandang dengan teliti dinding batu itu, lalu tersenyum. "Aku rasa aku tahu apa yang harus kita lakukan," ucap Vincent.
Vincent memandang Lila dengan mata yang penuh dengan tekad. "Kita harus maju," katanya, suaranya terdengar tegas dan dingin. "Kita tidak bisa kembali sekarang."
"Kembali berarti menerima kekalahan dan pasti gagal." ucap Vincent.
Lila menatap Vincent dengan mata yang penuh dengan ketakutan sekaligus mencengkeram lengan Vincent.
"Tapi, apa yang harus kita korbankan?" tanya Lila pada Vincent.
"Kita harus mengorbankan sesuatu yang berharga bagi kita." ucap vincent
Lila memandang Vincent dengan mata yang penuh dengan pertanyaan. "Apa itu?" tanyanya.
Vincent tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah lebih dekat, panas api kini membakar tepi jubahnya. Ia mengangkat tangan nya, kemudian, dengan lembut memegang tangan Lila. Genggaman itu bukan sekadar sentuhan, melainkan janji, ikatan yang tak terpisahkan.
"Ayo, kita lakukan ini bersama," kata Vincent pada Lila.
Mereka saling menatap. Dalam keheningan singkat itu, semua ketakutan, semua keraguan, dan semua kemungkinan pahit hilang seketika. Yang tersisa hanyalah keyakinan diantara mereka.
Mereka berdua mengangguk, tahu bahwa mereka harus melakukan ini jika ingin melanjutkan perjalanan mereka.
BLARRR!!
Tiba-tiba, api di sekitar mereka mulai membesar tak terkendali, Dinding batu bergetar hebat. Suara gemuruh menjadi lebih keras, seperti jeritan yang memekakkan telinga. muncul api ungu yang menciptakan pusaran panas dan hampir mustahil untuk didekati.
"Pilih sekarang juga, Vincent dan Lila!" teriak suara yang tidak terlihat.
"Waktu mu sudah habis, jika tidak memilih apapun, maka jiwamu yang akan kuambil" ucap entitas yang mengerikan itu.
Vincent dan Lila saling menatap, lalu mengangguk. "Kita maju!" teriak Vincent. suaranya serak namun penuh kuasa, menantang kobaran api ungu itu.
Dengan Vincent yang menggenggam Tangan Lila Dengan Erat, Mereka berdua melangkah maju langsung menuju dinding batu yang diselimuti api ungu. Kemudian, saat seluruh badan mereka menyentuh area disekitar batu yang terbakar itu, alih-alih merasakan panas yang membakar, yang terjadi adalah ledakan cahaya putih murni yang membutakan. Cahaya itu memutus semua suara, memadamkan semua warna.
Ketika pandangan mereka kembali jernih, dinding api telah menghilang. Di depan mereka, bukan lagi jalan setapak, melainkan jurang yang dalam dan gelap, dan di atasnya, ada sebuah jembatan kristal yang rapuh, menunggu untuk diseberangi.
Di sisi lain, terlihat Vincent dan Lila berdiri di tepi jurang, tangan mereka masih saling menggenggam. Mereka telah melakukan pengorbanan besar dengan memilih untuk maju bersama, meninggalkan kesempatan untuk memilih salah satu dari mereka. Ternyata, jawaban itu adalah solusi yang tepat, karena ikatan kesetiaan dan kepercayaan yang kuat di antara mereka menjadi kunci keberhasilan. Ini menunjukkan bahwa solusi yang tepat seringkali terletak pada hal yang sederhana, namun tidak semua orang mampu mencapainya.
Setelah kejadian yang mereka lewati itu, mereka tidak bisa bersantai. Karena, di depan mereka terlihat Jurang luas sejauh mana mata memandang dan jurang ini bernama Jurang Gema: sebuah celah tak berdasar dimana dibawah nya diselimuti oleh kabut hitam pekat yang tidak memantulkan cahaya, seolah-olah jurang itu menelan segalanya. Dari kedalaman jurang, terdengar bisikan-bisikan dingin dan hampa—bukan suara yang jelas, melainkan gema dari penyesalan dan ketakutan yang pernah dirasakan oleh semua makhluk hidup.
Sementara itu, di atas kegelapan itu Melayang sebuah Jembatan Kristal. Jembatan itu struktur tidak lah kokoh; ia terbuat dari kristal es yang sangat tipis dan bening, seolah-olah tampak seperti jaring laba-laba raksasa yang rapuh. Setiap sentuhan akan membuatnya berbunyi nyaring seperti pecahan kaca yang akan semakin pecah. jika, tidak disentuh dengan hati-hati, Cahaya dingin yang samar-samar memancar dari kristal itu, memperjelas betapa rapuh dan tidak stabilnya pijakan yang harus mereka lewati.
Kemudian, terlihat Vincent dan Lila berdiri di tepian, tangan mereka masih saling menggenggam erat, kehangatan tangan mereka satu-satunya penghangat di tengah hawa dingin yang menusuk tulang.
"Jembatan yang bagus," bisik Vincent mencoba menyembunyikan rasa takut dalam dirinya dengan berpura-pura percaya diri. Lalu, Matanya mengamati struktur itu, mencoba menghitung berapa banyak berat yang bisa ditanggung jembatan itu.
Sementara itu, Lila memandangi kristal itu, lalu menunduk untuk melihat jurang di bawah. Bayangan hitam tampak muncul cepat sesekali dari kabut, diikuti oleh suara-suara aneh.
"LANGKAH YANG SALAH, KERAPUHAN HATI, AKAN MEMECAHKAN JEMBATAN INI. SATU JIWAKU CUKUP UNTUK JATUH, TETAPI JIWA LAIN HARUS TERUS MELANGKAH."
Suara tanpa wujud yang sama, kini terdengar juga mengucapkan kata yang sama, meskipun lebih tenang akan tetapi lebih mengancam dari sebelumnya.
"Mereka ingin kita melepaskan pegangan," kata Lila, suaranya pelan dan penuh emosi. "Mereka ingin kita melangkah sendiri, karena jika kita jatuh bersama..."
"Jika kita jatuh bersama, kita berdua akan hilang," Vincent menyelesaikan dan melanjutkan kalimat dari ucapan Lila, dengan suaranya yang berat. Ia menarik napas, lalu memandang Lila.
"Tapi kita sudah memutuskan untuk maju bersama. Kita mengorbankan pilihan kita sebelumnya dan berhasil selamat. Sekarang, dengan keputusan yang sama kita harus membuktikan bahwa jalan ini pasti benar dan keputusan kita pastilah tepat." ucap vincent dengan tegas.
Lalu, Vincent melepaskan genggaman nya sebentar. Lila seketika merasa takut dan disaat yang sama sedikit ragu.
"Kita akan melangkah dengan hati-hati dan harus fokus penuh tanpa kesalahan, kita harus saling percaya satu sama lain meskipun kita tidak saling menggenggam," kata Vincent, suaranya menjadi panduan di tengah rasa ketakutan yang menyelimuti.
"Setiap langkah harus pasti. Tidak ada keraguan, tidak ada penyesalan. Setiap langkah harus sebesar keyakinan kita pada satu sama lain." ucap Vincent lagi dengan tegas.
Kemudian, Dengan hati-hati Vincent mengangkat kaki kanannya dan meletakkannya di atas kristal pertama.
Ting!
Kristal itu merespon dengan bunyi, suara yang tajam dan menakutkan, seperti jarum yang menembus keheningan. Kristal di bawah kaki Vincent menjadi sedikit meredup, seolah energinya terkuras.
Lila menahan napasnya. Vincent menatapnya, memberi isyarat agar dia mengikuti. Dengan Mengumpulkan keberanian nya yang tersisa, Lila melangkah. Kakinya terasa seperti memijak es yang sangat-sangat tipis dan bisa pecah kapan saja, dan kristal di bawahnya merespon dengan getaran yang membuat jantung berdebar kencang. Hal ini dikarenakan bahaya dan resikonya yang mematikan. Disisi lain, Lila tidak lagi memegang tangan Vincent, tetapi pandangan mereka terkunci erat, menjadi satu-satunya jaminan keselamatan mereka.
Mereka pun mulai melangkah, langkah demi langkah pada satu waktu. Setiap ting kristal yang rapuh di bawah mereka penuh bahaya dan resiko yang sangat tinggi. Disisi lain, Jurang di bawah mereka memanggil dengan bisikan-bisikan ketakutan yang semakin keras, mencoba meracuni pikiran mereka.
Gagal... kamu akan gagal lagi...
Dia akan jatuh, dan itu salahmu... Ucap suara-suara aneh itu.
Mereka terus melangkah maju, menjauh dari tepi, masuk lebih dalam melintasi jurang itu dengan jembatan kristal yang rapuh. dari semua hal itu yang mereka miliki hanyalah Tekad dan keteguhan hati serta rasa saling percaya yang sangat besar diantara mereka.
Kemudian, Vincent dan Lila telah berhasil mencapai sepertiga perjalanan melintasi Jurang Gema. Mereka melangkah dengan perlahan dan penuh perhitungan. Meskipun terpisah sejauh beberapa langkah di atas jembatan kristal yang sempit itu, pandangan mata mereka tetap terjalin, menjadi tali tak terlihat seolah mengantikan genggaman tangan mereka tadi.
Tiba-tiba, dari kedalaman jurang, kabut hitam mulai menyelimuti area disekitar mereka, membentuk pusaran yang menarik udara ke bawah. Suhu mendadak turun drastis, menyebabkan suhu menjadi sangat ekstrim dan dibawah jurang apapun yang menyentuhnya akan membeku seketika.
Dari kedalaman jurang terdengar suara,
"Kau melangkah terlalu hati-hati, Vincent," bisik suara itu, mengarah langsung ke benak Vincent.
"Ketakutanmu mengkhianati keyakinan kalian berdua!" ucapnya mengoda Vincent.
Tepat setelah bisikan itu, kristal di bawah kaki kanan Vincent yang baru saja ia lewati, tidak hanya berdentang, tetapi mengeluarkan suara retakan yang tajam dan tampak mengerikan.
Lila tersentak, matanya melebar karena ngeri. ia melihatnya—retakan setipis benang laba-laba, namun retakan itu seluasnya sepanjang telapak kaki, menjalar di permukaan kristal es itu. hal ini Membuat Jembatan itu melengkung ke bawah sedikit di tempat Vincent berpijak saat ini.
Disisi lain, Vincent merasakan pijakannya goyah. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah nya keseluruh tubuh. Ia tahu, satu gerakan panik saja, seluruh kristal di bawahnya akan pecah seperti pecahan kaca.
"Jangan bergerak!" teriak Lila, suaranya dipenuhi ketakutan murni.
Di tengah kepanikan itu, kabut hitam di bawahnya tiba-tiba membentuk bayangan besar dan buram yang tampak seperti cakar raksasa, mencoba meraih ke atas. Bisikan-bisikan penyesalan di jurang berubah menjadi tawa yang jahat yang sangat mengerikan.
Vincent memejamkan mata sesaat. Ia harus mengatasi bukan hanya kerapuhan kristal, tapi juga kestabilan pikirannya sendiri. Rasa takut dan keyakinan yang dapat dikhianti. Menggoda Vincent untuk mengorbankan pilihan nya tentang maju bersama.
Di tengah situasi pikiran nya yang bergejolak, Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Vincent membuka matanya. Ia tidak memindahkan kakinya, tetapi sebaliknya, ia menginjak kristal yang retak itu dengan lebih mantap, memusatkan berat badannya dengan keyakinan penuh.
KRAK!
Retakan itu menyebar, namun—ajaibnya—tidak pecah. Kristal di bawahnya bergetar hebat, lalu memancarkan cahaya biru dingin yang singkat.
"Kau gila!" teriak suara tanpa wujud itu, suaranya menunjukkan bahwa ia terkejut.
"Aku percaya padanya!" balas Vincent dengan lantang, menatap Lila. Wajahnya pucat, tetapi matanya bersinar dengan intensitas yang menantang.
Lila mengerti. Vincent mengorbankan naluri pertahanannya untuk mengambil risiko, membuktikan bahwa keyakinan mereka lebih kuat daripada kerapuhan kristal tersebut.
Melihat tekad Vincent, Lila mengambil napas, menguatkan dirinya. Ia mengambil langkah berikutnya, melangkah sedikit lebih cepat dari sebelumnya, menyeimbangkan risiko dengan keberanian.
Ting! Ting! Dua langkah cepat, ringan, dan tanpa keraguan.
Jembatan kristal itu merespons. Retakan di bawah kaki Vincent tidak lagi menyebar, dan jembatan itu perlahan kembali stabil. Mereka telah lolos dari ambang kematian. Jurang di bawah mereka masih terlihat mengerikan, tapi kini mereka merasa seperti tantangan ini bisa mereka selesaikan, dan ini bukan lagi takdir mengerikan yang tak terhindarkan.
Dengan keberanian yang terpancar dari jiwa mereka, Vincent dan Lila melangkah maju pada sebuah jembatan kristal yang menjulang tinggi di atas Jurang Gema. Setiap langkah mereka dipenuhi tekad, seolah-olah mereka sedang menaklukkan ketakutan-nya sendiri. Suara-suara mengerikan dari dalam jurang berhenti secara tiba-tiba, meninggalkan keheningan yang menakutkan.
Mereka saling menatap, dan tidak menceritakan apa-apa. hal ini menunjukkan bahwa mereka telah melewati titik balik, dan perjalanan mereka selanjutnya akan segera memasuki fase baru.
Dengan langkah yang mantap, mereka terus maju, meninggalkan jembatan Kristal dibelakang mereka. Di depan mereka terbentang jalan baru, penuh dengan misteri dan tantangan yang belum terpecahkan. Mereka siap menghadapinya, bersama-sama dan dengan hati yang kuat. Akhirnya, setelah melewati berbagai rintangan, ujung jembatan kristal itu pun terlihat.
Di sana, di sisi lain jurang, bukan dataran luas atau jalan setapak yang aman yang mereka temukan, melainkan Gerbang Batu Hitam yang sangat besar, dengan ukiran simbol-simbol kuno yang tidak dikenal menghiasi permukaannya. Gerbang itu tampak kuno dan misterius, seolah-olah telah berdiri selama berabad-abad, menunggu kedatangan mereka.
Yang tidak mereka sangka, Gerbang Batu Hitam itu sendiri ternyata juga sebuah rintangan yang mematikan. Dan yang lebih mengejutkan, di depan gerbang itu berdiri sesosok Penjaga Gerbang itu biasa disebut Stone warden dan juga memiliki julukan yakni: The Gatekeeper.
The Gatekeeper itu bukanlah makhluk hidup, melainkan patung raksasa setinggi tiga meter yang terbuat dari batu basal yang berwarna hitam pekat. Tubuhnya dihiasi dengan ukiran rumit yang menyerupai bahasa kuno atau rune. Kedua matanya terbuat dari safir berwarna kuning yang berkilauan, memancarkan aura dingin dan kosong. Di tangannya, patung itu memegang pedang besar tanpa sarung, dengan bilah yang tampak terbuat dari batu obsidian—material yang sama dengan lingkungan sekitar. Penampilan patung ini tampak mengancam, seolah-olah siap menghancurkan siapa pun yang berani mendekat.
Sosok Penjaga Gerbang itu berdiri tegak, matanya yang tajam memancarkan aura mengerikan. Tubuhnya yang besar dan kuat diliputi oleh aura mistis yang dapat dirasakan oleh Vincent dan Lila. Mereka bisa merasakan energi kuat yang terpancar dari sosok itu, membuat mereka tidak bisa meremehkan.
Penjaga Gerbang itu tidak bergerak, namun kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat Vincent dan Lila merasa terintimidasi. Mereka tahu bahwa mereka harus siap untuk menghadapi tantangan yang lebih berat dari sebelumnya dan ini sungguh hal yang berbeda dari apa yang mereka kira sebelumnya. Dengan napas dalam-dalam, mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi The Gatekeeper yang menghalangi jalan mereka.
Saat Vincent dan Lila menginjakkan kaki mereka di tanah keras setelah menyeberangi jembatan kristal, Mata safir kuning milik The GateKeeeper langsung terfokus pada Vincent dan Lila, memancarkan tatapan dingin dan tanpa ekspresi, seolah-olah mereka baru saja menjadi targetnya. Suara gemuruh batu semakin keras, pertanda bahwa ada sesuatu yang akan bangkit.
"PERJUANGANMU BARU DIMULAI," suara yang sama, namun kini jauh lebih dalam dan lebih berat, keluar dari patung itu, seperti transmisi suara yang menggema ke dinding jurang dan seluruh arah mata angin.
"JEMBATAN GEMA HANYA MEMBAWAMU PADA GERBANG PENGADILAN. UNTUK MELEWATI GERBANG INI, KAMU HARUS MEMBUKTIKAN BAHWA KEYAKINAN ITU BUKAN HANYA UNTUK DIRI SENDIRI, MELAINKAN UNTUK SESUATU YANG LEBIH PENTING, ADAPUN HAL YANG PENTING ITU KALIAN HARUS MENCARI TAHU SENDIRI TENTANG APA ITU."
Tepat setelah kata-kata terakhir itu, tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat.
KRRAAAAAAAKKK!
Dengan suara yang memekakkan telinga, seluruh Jembatan Kristal yang telah dilewati tadi runtuh seketika. Kristal-kristal tipis itu tidak hanya pecah, melainkan hancur menjadi jutaan pecahan es yang berkilauan, jatuh ke dalam Jurang Gema di bawah dengan gemuruh yang mengerikan. Kabut hitam di jurang itu menelan puing-puingnya, meninggalkan hanya kehampaan yang mematikan. Jalan kembali mereka telah lenyap sepenuhnya.
Vincent dan Lila tersentak, berbalik melihat kehancuran itu. Nafas mereka tertahan. Kini, mereka benar-benar terisolasi dan Tidak ada jalan untuk mundur.
Sesaat situasi menjadi sunyi, mereka mengira bahaya telah berlalu. Namun, kedamaian itu pecah. Patung raksasa yang menjaga gerbang, yang tadinya hanya tumpukan batu dingin, tiba-tiba mengeluarkan suara lagi. Kali ini suaranya sungguh sangat menyeramkan. Bukan suara gemuruh, melainkan bunyi menggelegar, seperti gunung yang akan meletus dan retak bagiannya dari dalam.
Terlihat Patung Penjaga Gerbang itu mulai bergerak. Gerakannya sungguh berat dan lambat, seperti raksasa yang baru saja bangun dari tidur panjang Selama ribuan tahun nya. Setiap sendi batunya mengeluarkan bunyi yang menusuk, seolah pasir dan debu purba yang mengganjal di dalamnya dipaksa keluar.
KRAK! GRRRRKK!
Tangan kanannya yang memegang pedang obsidian besar terangkat perlahan, gerakan yang sangat kaku, namun di dalamnya terkandung kekuatan yang mengerikan. Debu tebal yang menempel di bahunya perlahan berjatuhan, memperlihatkan ukiran otot-otot batu yang tampak sekeras baja. Seolah-olah memperlihatkan bahwa hal ini merupakan kekuatan yang mutlak.
Kemudian, The GateKeeper kini berdiri tegak. Posturnya kokoh dan mengintimidasi, setiap otot baja terlihat menegang. Kehadirannya begitu dominan, sebuah manifestasi murni dari kekuatan yang menjaga gerbang kuno. Tanah di sekitarnya penuh retakan, akar-akar pohon kuno menyembul keluar dikarenakan kebangkitan nya, semuanya menjadi saksi bisu dari kebangkitan kembali entitas legendaris ini.
Ia telah bangkit, dan aura tak terbantahkan yang dipancarkannya kini mengumumkan kepada dunia bahwa gerbang tersebut berada di bawah penjagaan-nya.
Di bawah ancaman itu, Lila tersentak, rasa dingin merayap di kulitnya. Ia tidak lagi melihat teka-teki, tetapi kematian yang nyata. Ia memegang erat lengan Vincent, bibirnya bergetar.
"Ini bukan... ini bukan Ujian mental lagi," bisik Lila, suaranya nyaris tak terdengar. "Patung itu akan membunuh kita."
Disisi lain Vincent, meski ketakutan merayapi lehernya dan hal ini membuat dirinya sulit untuk bernapas. Matanya memindai sekeliling dan mencoba untuk mencari celah.
"Lila, lari!" bisiknya mendesak, sementara Vincent mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tiba-tiba, Penjaga Gerbang mencoba menggerakkan satu kaki dengan gerakan yang lambat. Akan tetapi dengan gerakan itu memicu suara dentuman yang memekakkan telinga (BAM!), ia mengentakkan kaki batunya ke tanah. Gemuruh getaran itu membuat mereka terhuyung.
Kemudian, tanpa peringatan, pedang obsidian raksasa itu diayunkan ke bawah dengan kecepatan yang lambat, Meskipun lambat dampaknya sangat mengerikan.
WHOOSHH!
Suara desingan angin yang membelah udara terdengar seperti raungan predator yang haus akan darah. Pedang itu ditujukan langsung ke tempat mereka berdiri.
Vincent bereaksi secepat kilat. Ia menarik Lila yang masih bingung dan takut dengan situasi itu ke samping dan melompat jatuh ke arah kanan, menjauhi jalur serangan. Mereka jatuh tersungkur di tanah keras, hal ini membuat debu beterbangan.
KRAAAKK-BOOM!
Pedang obsidian itu menghantam tanah tempat mereka berdiri hanya dalam waktu sepersekian detik yang lalu. hal ini menyebabkan Batu keras di bawahnya hancur berkeping-keping, meninggalkan lubang menganga dan retakan yang menjalar di sekitar area yang terkena dampaknya. Kekuatan serangannya terasa hingga ke tubuh mereka yang terbaring.
Asap tipis mengepul dari tempat hantaman. Mereka nyaris mati kalau tidak menghindari serangan itu. Lila terengah-engah, matanya membelalak melihat bilah pedang hitam legam itu hanya beberapa jengkal dari kepalanya. Penjaga Gerbang itu kini berdiri kokoh di atas mereka, bayangannya yang besar seolah menelan mereka dalam kegelapan.
"PILIHANMU!" raung Penjaga Gerbang, suaranya bergema di antara dinding batu. Matanya yang safir gelap berkilat saat ia sedikit mengangkat pedang obsidiannya dari tanah, menciptakan bunyi gesekan batu yang memilukan.
"BUKTIKAN! JIKA KEYAKINAN DAN PILIHANMU ITU NYATA, BERJUANGLAH DEMI KEYAKINAN YANG PALSU ITU!" raungnya, memuntahkan tuduhan yang tajam.
Kata-kata itu, terutama di bagian kalimat "keyakinan yang palsu itu," menghantam mental Vincent lebih keras daripada pedang batu manapun. Ia tahu betul apa yang dimaksud Penjaga Gerbang. Ujian ini menuduh bahwa ikatan mereka, tentang keputusan mereka untuk maju bersama, adalah kebohongan yang dibuat karena keputusasaan.
Vincent mendesis marah. Ia mendorong dirinya untuk berdiri, segera menarik Lila ke belakangnya untuk menjauh dan berlindung, dengan debu yang beterbangan dan bebatuan yang hancur disekitar nya menambahkan kesan yang mendalam.
"Itu tidak palsu!" teriak Vincent, suaranya serak namun penuh kejujuran. Ia berteriak untuk mempertahankan mental dan keyakinan tentang kebenaran dalam hatinya.
"Kami memilih untuk tidak berpisah. Kami memilih untuk menolak solusi mudah yang di tawarkan selama perjalan kami! Itu semua adalah bentuk keyakinan kami!"
Lila menatap punggung Vincent, yang kini menjadi perisai rapuh di hadapan The GateKeeeper. Ia melihat bahu Vincent yang tegang, merasakan kemarahan murni yang keluar darinya.
Dia tidak hanya melindungiku secara fisik, pikir Lila, dia melindungi pilihan kami. Ucap Lila di dalam hatinya.
Penjaga Gerbang itu mengabaikan teriakan Vincent. Ia berhasil mencabut pedang obsidiannya sepenuhnya dari tanah, bilah gelapnya berkilauan. Raksasa batu itu berdiri tegak, bersiap untuk ayunan yang jauh lebih cepat dan lebih akurat kali ini.
"KATA-KATA HANYALAH DEBU!" raung Penjaga Gerbang. "AKSI ADALAH BUKTI! BERJUANGLAH ATAU HANCUR!"
Disisi lain, Lila merasakan energi yang tiba-tiba saja mengalir dalam dirinya, bukan energi sihir, melainkan kejengkelan yang dingin. Mereka telah mempertaruhkan segalanya untuk sampai di sini, dan ia tidak akan membiarkan ujian ini menghina ikatan mereka.
"Vincent!" panggil Lila. Ia melangkah ke samping, tidak lagi bersembunyi di belakang Vincent.
"Kita harus mencari cara untuk menghentikannya bergerak. Dia lambat, tapi terlalu kuat!"
Penjaga Gerbang mulai mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Cahaya gelap pada mata safirnya menyala-nyala. Ini adalah serangan penghabisan.
Vincent tahu mereka tidak punya waktu lagi untuk mencari kelemahan. Mereka harus menciptakan gangguan.
"Baiklah! Kalau dia mau bukti, kita beri dia bukti!" Vincent mengangguk pada Lila. Matanya kini fokus sepenuhnya, membaca setiap pergerakan lambat dari raksasa batu di depan mereka.
Lila membalas anggukan itu, kepercayaan mutlak terpancar dari sorot matanya. Dalam hitungan detik yang mematikan, di tengah raungan Penjaga Gerbang, mereka tahu apa yang harus dilakukan—mereka harus menggunakan perbedaan kecepatan mereka sendiri.
Pedang obsidian Penjaga Gerbang kini telah mencapai puncak ayunan. Bayangan raksasa itu seakan menyapu area di bawahnya, menjadi pertanda bahwa bencana akan segera datang.
"HANCURLAH KALIAN!" raung Penjaga Gerbang.
Vincent tidak membuang waktu. Ia tahu, melawan kekuatan batu itu secara langsung adalah bunuh diri. Ia harus mengarahkan nya ke arah lain sehingga membuat serangannya salah sasaran.
"Sekarang!" teriak Vincent.
Ia menerjang ke depan dengan kecepatan penuh, bukan menuju patung itu, melainkan menuju ke samping, ke jalur di mana pedang itu hampir jatuh. Ia menjadi umpan, menarik perhatian Penjaga Gerbang.
Lila bergerak secara bersamaan. Ia meluncur rendah, berlawanan arah dengan Vincent, ia perlahan tapi pasti menuju kaki Penjaga Gerbang yang besar dan kokoh—target yang mustahil untuk digoyahkan, namun merupakan fondasi dari segala gerakan lambat raksasa itu.
Pedang obsidian itu mulai menghujam ke bawah dengan kecepatan yang menakutkan, membidik posisi Vincent. Raksasa itu, yang didesain hanya untuk satu tujuan dan satu target, mengunci bidikan pada Vincent.
Vincent tahu dia hanya punya satu tarikan napas untuk lolos. Ia melompat mundur dari jalur pedang pada detik terakhir, sementara Lila telah mencapai kaki patung.
DUARRRR!
Pedang itu menghantam tanah lagi dengan kekuatan gempa, hanya beberapa sentimeter dari tempat Vincent berdiri. Debu dan serpihan batu meledak ke segala arah, mengaburkan pandangan.
Dengan waktu singkat, rencana darurat yang belum pernah mereka bahas terlintas di benak mereka.
Namun, Penjaga Gerbang tidak berhenti. Ia segera menggeser kaki kirinya untuk menstabilkan diri, bersiap mencabut pedang untuk serangan balik instan.
Tepat pada saat itu, Lila, yang tersembunyi dalam kabut debu di dekat kaki patung, melakukan tindakan nekatnya. Ia tidak punya senjata, tetapi ia punya ide. kemudian, Lila mencengkeram sepotong batu yang sangat tajam dari reruntuhan di dekatnya, dan dengan seluruh kekuatan yang ia miliki, ia menusukkannya ke celah kecil di antara lempengan batu di pergelangan kaki Penjaga Gerbang, titik yang selalu bergesek setiap kali patung itu melangkah.
GRIIIIKKK!
Terdengar bunyi seperti gesekan logam dan bunyi nya menusuk telinga, bukan gesekan biasa. Batu tajam itu tersangkut, mengunci gerakan di sendi kaki patung.
Penjaga Gerbang mengeluarkan suara gemuruh yang berbeda, bukan raungan perintah, melainkan raungan frustrasi—atau mungkin rasa sakit. Gerakan kaki kirinya yang hendak bergeser terhenti mendadak.
Vincent melihat kesempatan itu, ia berlari keluar dari kabut debu, pedang obsidian raksasa itu masih tertancap di tanah.
Raksasa batu itu berdiri, tidak seimbang, di satu sisi, pedang nya tertancap di tanah, dan di sisi lain, kaki kiri yang tiba-tiba beku dan tidak bisa bergerak.
Vincent dan Lila saling pandang, walaupun mereka berada di sisi yang berlawanan dari Penjaga Gerbang. Mereka telah menciptakan gangguan yang sempurna, namun rintangan berikutnya jauh lebih besar.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah The GateKeeeper semakin marah karena tingkah mereka? Apakah mereka akan menyerang bersama? Atau berpisah dan mencari celah dari sisi yang berbeda? Apakah bisa mereka menyelesaikan hal ini dan selamat bersama? Nantikan kelanjutan ceritanya di bab berikutnya.
Bersambung....
__________________________________________
Catatan penulis :
Informasi Ranah tingkatan Karakter-nya yang terbaru (update)
• Vincent kai DragonWise ditingkat
Sebelumnya : Ksatria tahap 1 (muda)
(ambang batas atas ke tingkat selanjutnya)(anak bungsu kepala suku naga)
Sekarang : Ksatria tahap 2 (Berpengalaman)
(ambang batas atas ke tingkat selanjutnya)(anak bungsu kepala suku naga)
__________________________________________
tetap semangat 👍
/Smile/