“Menikahlah denganku, Kang!”
“Apa untungnya untukku?”
“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Naura
Hujan sore tadi belum sepenuhnya pergi, hawa dingin masih menempel di udara, merambat lewat celah-celah jendela. Naura meringkuk di balik selimut tipis, hidungnya memerah, sesekali bersin kecil. Suara gerimis samar-samar terdengar di luar.
Baru kali ini dia merasa kurang enak badan. Apa efek sakit hati ya? Mangkanya begini?
Ia baru saja akan memejamkan mata ketika terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
“Teh Naura, ” panggil Nanda. “Ibu tadi nyuruh aku kasih tahu, udah buatin sop ayam buat Teh. Masih anget di dapur. Teteh makan dulu, yu.”
“Hah!” Naura mendesah panjang, tidak berniat menjawab. Kepalanya berat, tubuhnya pegal. Lagipula, ia belum siap bicara dengan siapa pun, terutama dengan adik seayahnya yang tiba-tiba muncul di rumahnya membawa luka yang ingin dia jahit tanpa anastesi.
Untuk beberapa saat Nanda tidak mengetuk, lalu detik berikutnya terdengar ketukan lagi.
Tok! Tok! Tok!
“Teh. Sop-nya udah mau dingin,” kata Nanda kembali, lebih pelan kali ini, tapi terdengar seperti jarum di telinga Naura yang sedang kesal.
“Euuuuhhhh.” Naura menggertakkan giginya, menatap pintu dengan mata panas. Ketukan ketiga terdengar, sedikit lebih keras dan di sanalah puncak kemarahan perempuan itu.
Tok! Tok!
“Apa sih, Nanda?!” bentaknya dengan napas memburu. “Nggak bisa besok aja ngomongnya?! Aku lagi nggak mau diganggu! Kalau mau makan, makan aja sendiri!”
“Te-eh.” Nanda terkejut membuat langkahnya mundur sedikit. “Aku cuma… mau ngasih tahu sop-nya udah siap. Ibu tadi masak sendiri, padahal beliau lagi kurang enak badan. Abis masak, langsung istirahat. Aku pikir ....”
“Cukup!” potong Naura ketus. “Aku tahu Ibu lagi sakit. Kamu nggak perlu pura-pura peduli. Lagian ibu juga sakit gara-gara kamu! Sadar dikit kenapa sih.”
“Aku nggak pura-pura, Teh. Aku cuma nurut aja. Oh, iya, A Satya dari tadi nunggu di ruang tamu. Katanya mau ketemu Teh Naura bentar aja.”
Mendengar nama itu, Naura memutar bola matanya malas. “Satya?” ulangnya sinis. “Dia ngapain masih di sini? Dari tadi kamu yang nemenin?”
“Iya, Teh. Soalnya kasian, Ibu juga udah kasih izin kok. Aku cuma khawatir A Satya marah sama Teh Naura.”
Naura mendesah dalam, lalu merapikan kerudungnya dengan gerakan cepat. “Oke. Tapi lain kali, jangan ketuk pintu orang terus kayak gitu, bisa-bisa aku demam bukan cuma karena hujan, tapi karena marah! Kamu boleh tinggal di sini karena izin dari Ibu, tapi ingat, Nanda ... Aku enggak akan percaya sama kamu gitu aja. Orang-orang kayak kamu ini sangat mencurigakan.”
Sambil berkata begitu, ia berjalan melewati Nanda, dengan sengaja menyenggol bahunya cukup keras. Nanda hanya diam, menunduk, menahan napas berat.
Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung menemukan sosok Satya yang duduk di kursi dekat jendela. Pria itu tampak gagah malam itu, aneh, perasaan tadi bukan ini baju yang dipake si Borokokok Satya. Kemeja putihnya disetrika rapi, rambutnya klimis, wajahnya teduh seperti biasa. Tapi di mata Naura, semua itu terasa palsu. Ya iyalah, orang dia suka nyelup. Eh, ya begitulah.
“A Satya?” sapanya datar. “Kenapa masih di sini atuh?”
Pria itu menoleh dan tersenyum, senyum khasnya yang dulu sering membuat Naura lemah. Kini senyum itu malah menimbulkan rasa jijik di hatinya.
“Assalamu’alaikum, Neng Naura,” ucapnya ramah. “Gimana kabarnya? Tadi kehujanan, kan? Kamu enggak demam?”
“Wa'alaikumssalam, Alhamdulillah Kabar baik, meskipun agak pusing dengar orang sok perhatian.”
“Aku cuma khawatir, itu aja. Kita kan… insya Allah mau nikah, jadi wajar kalau aku ....”
“Jangan bawa-bawa kata menikah kalau cuma buat dalih perhatian, Kang.” Naura langsung memotong. “Saya nggak butuh perhatian palsu.”
“Palsu gimana, Neng? Aku serius.”
Naura hendak membalas, tapi dari sudut kaca buffet, ia menangkap bayangan Nanda berdiri tak jauh dari ruang tamu, mengintip, memperhatikan mereka berdua. Ada sorot penasaran di mata perempuan itu, seolah sedang menilai hubungan mereka.
Seketika, Naura tersenyum miring.
Senyum yang bukan kebahagiaan, tapi strategi.
Ia perlahan mendekat ke arah Satya, suaranya berubah lembut nan manja.
“A Satya,” panggilnya dengan nada berbeda. “Aku tuh, sebenernya bersyukur banget loh, punya calon suami sebaik kamu.”
Satya tampak kaget, tapi senyumnya melebar. “Eh… iya? Hehe, aku cuma berusaha jadi yang terbaik aja, Neng.”
Respon Satya membuat Naura senang, ia menatapnya dengan tatapan lembut yang dibuat-buat. “Kamu tuh bukan cuma baik. Kamu soleh, sabar, pengertian banget. Calon penguasa desa yang rendah hati. Nggak heran sih, semua orang suka kamu. Eumm, aku jadi enggak sabar buat jadi istri kamu, A.”
“Hueeeekkk!” Inilah isi hati Naura saat ini.
Satya yang tidak menyadari apapun menggaruk tengkuknya, wajahnya memerah. “Ah, Neng bisa aja.”
“Aku serius, loh.” Naura terkekeh pelan. Aku tuh beruntung banget. Dikasih jodoh yang… wah, lengkap banget. Nggak cuma ganteng, tapi juga pinter. Setia lagi.”
Ia menekankan kata setia dengan senyum sinis samar, cukup untuk membuat dirinya sendiri puas.
Dari kaca, Naura bisa melihat wajah Nanda berubah agak tersenyum. Gadis itu menatap mereka lama, lalu berbalik pelan menuju kamar Ibu.
Sementara Satya masih tersenyum-senyum, pipinya memerah karena pujian yang tak pernah ia sangka datang dari mulut Naura.
“Jadi, kita jadi nikah kan, Neng?”
“Jadi dong, A. Besok ke sini, ya. Sama keluarga A Satya.”
.. .. ..
Di dalam kamar Bu Windi, perempuan itu tampak duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap ke luar, melihat hamparan perkebunan yang jauuuuh di sana.
Wajahnya yang ayu tampak semakin bersinar diterpa cahaya lampu dan Bu Windi, dia yang masih belum tidur melihat semuanya.
“Kenapa kamu belum tidur, Nan?” tanyanya.
Nanda mengusap air mata kemudian menoleh dan tersenyum, ia menghampiri Bu Windi lantas menggenggam tangannya.
“Aku ganggu Ibu, ya. Aku minta maaf, Bu.”
“Enggak papa, Ibu belum tidur kok. Kamu kenapa sedih?”
Nanda menggelengkan kepalanya kemudian menunduk.
“Ibu, Ibu tahu gak cowok yang pake mobil item gagah, mobilnya gede, kayak mobil off-road? Yang tinggi, yang mukanya galak?”
Bu Windi tampak menimbang-nimbang. Ia kemudian mengangguk. “Mungkin Kang Sagara.”
“Kang Sagara?” tanyanya.
Bu Windi menganggukkan kepala lagi. “Ibunya asli orang sini, tapi Bapaknya enggak tahu. Baru dua tahun dia di sini. Kamu enggak usah deket-deket sama dia. Kata orang, dia itu semacam rentenir yang suka ambil anak gadis kalau orangtuanya enggak bisa bayar utang.”
“Masa sih, Bu?”
“Gosipnya kayak gitu, mangkanya orang-orang sini pada takut. Udah beberapa gadis di desa ini yang enggak balik lho, katanya sih mereka dijadiin TKW ilegal. Ngeri pokoknya. Terus, dia juga suka bikin anak-anak nangis, bukan cowok layak jadi Sumi, mangkanya dia jomblo sampe sekarang. Kemaren ada desas-desus mau nikah, tapi katanya lagi enggak jadi. Pasti karena ceweknya tahu boroknya.”
“Ah, begitu ya, Bu. Terus kalau A Satya siapa? Katanya mau nikah sama Teh Naura?”
“Kalau dia baik, Neng.” Bu Windi langsung tersenyum. “Kakeknya sering bantu Ibu. Bahkan beberapa kali saya minjem uang enggak boleh dibalikin. Dia cucu anak orang kaya di desa ini, tanahnya banyak. Dia juga enggak sombong. Naura beruntung karena mau jadi istrinya.”
“Alhamdulillah kalah gitu, Bu. Aku ikut seneng,” ucap Nanda sambil tersenyum. “Mudah-mudahan aku juga dapet jodoh yang baik kayak A Satya, ya.”
lanjut lah kak othor,,💪🥰
resiko anak cantik ya Nau JD gerak dikit JD tontonan...
😄😄😄🤭
Nanda kah... entah lah hanya emk yg tau ..
teman apa lawan 🤔