NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 - Musim yang Berbicara

Raka menyaksikan kehidupan warga suku Latahna yang begitu menyatu dengan alam.

Mereka hidup sederhana rumah-rumahnya hanya berupa tiang bambu tanpa dinding, beratap anyaman bambu yang dilapisi rumput kering, daun pisang, dan dedaunan lain yang menahan hujan.

Di malam hari, mereka tidur berdesakan di lantai bambu, saling berbagi hangat di tengah udara dingin pegunungan.

Bagi mereka, kebersamaan adalah selimut terbaik.

Hanya satu pondok yang tampak berbeda berdinding rapat dan beratap kuat.

Di sanalah para tetua bermukim; penjaga hukum bumi dan napas kehidupan, pewaris pengetahuan turun menurun yang asal-usulnya telah kabur dimakan waktu.

Ajaran mereka disebut-sebut berasal dari leluhur jauh, dari masa ketika bumi masih mengingat nama para moyangnya.

Walau Raka menguasai ilmu Waktu Nafas Bumi ajaran wahyu yang diwariskan dari guru ke guru hingga bersambung pada nama sang penerima wahyu Ranu Lahu dari sang pencipta namun ia menyadari satu hal: suku Latahna jauh lebih maju dalam memahami tanda-tanda bumi.

Mereka mengerti arah angin, membaca gerak awan, dan mengetahui kapan tanah bernapas atau beristirahat.

Namun di balik pengetahuan alam yang dalam itu, suku Latahna belum mengenal cara merawat, menanam, dan memanen.

Bagi mereka, bumi memberi tanpa perlu diminta, dan manusia hanya perlu menjaga keseimbangannya, bukan mengolahnya.

‎Raka berdiri di bawah pohon sukun tua yang menjulang di tepi ladang lembap.

‎Daun-daunnya bergetar perlahan ditiup angin lembap dari arah barat, meneteskan sisa hujan semalam yang masih menggantung di ujung serat daun.

‎Buah-buah muda sebesar kepalan tangan bergelayut di cabang-cabang rendah, hijau muda dengan serat halus keemasan.

‎Beberapa orang Latahna berdiri di sampingnya, diam, seolah menunggu apa yang akan ia katakan.

‎Raka menatap ke arah langit yang mulai memucat, lalu ke tanah di bawahnya retak halus di antara genangan air, tanda peralihan musim.

‎“Buah sukun telah tumbuh,” ujar Raka akhirnya, suaranya tenang.

‎“Itu tanda hujan akan segera berhenti. Akar mulai menyimpan air, dan udara akan berubah kering. Setelah itu, angin timur dan selatan datang membawa debu panas. Saat itulah kalian harus mulai mengeringkan hasil panen.”

‎Tetua Latahna mengangguk pelan, menatap Raka dengan mata yang dalam.

‎“Kau mengerti musim seperti kami,” katanya lirih.

‎“Padahal kau bukan anak lembah ini.”

‎Raka tersenyum samar.

‎“Musim tak mengenal asal,” jawabnya.

‎“Ia hanya berbicara pada siapa yang mau mendengar.”

‎Suasana hening sejenak.

‎Dari kejauhan terdengar suara belalang mulai nyaring di balik semak pertanda kehidupan mulai bersiap meninggalkan masa hujan.

‎Anak-anak berlarian membawa anyaman rotan, menepuk daun-daun tinggi untuk menangkap belalang yang menempel di situ.

‎Sementara perempuan memanaskan daun pisang dan daun talas agar agak layu dengan api kecil untuk dijadikan pembungkus makanan kering cadangan musim kering nanti.

‎Raka memandangi semua itu dalam diam.

‎Di tengah kehidupan sederhana Latahna, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia temui di negeri mana pun: keseimbangan antara manusia dan alam yang saling menjaga.

‎Tubuh mereka dibalut pakaian dari kulit tipis dan rumput kering yang dianyam, sebagian sudah mulai rapuh dimakan waktu.

‎Raka memandangi mereka sejenak, lalu menatap batang sukun yang berdiri tegap di depannya.

‎“Jika musim panen nanti selesai,” ujar Raka pelan, “ambil kulit luarnya yang telah tua.

‎Seratnya bisa dijemur, dipukul hingga lunak, lalu dijalin menjadi lembar pakaian.

‎Lebih ringan dari kulit hewan, tapi lebih kuat dari serat rumput.”

‎Para warga saling berpandangan, sebagian tampak bingung, sebagian lagi menatap penuh minat.

‎Tetua Latahna mengernyitkan dahi, menatap Raka dengan heran.

‎“Kau tahu itu dari mana, orang jauh?” tanya sang tetua perlahan.

‎“Kami hanya mengenal kulit dan serat alang yang mudah kami temukan.

‎Sukun… kami hanya tahu buahnya.”

‎Raka tersenyum samar.

‎Ia menatap ke arah matahari pucat yang bersembunyi di balik awan kanopi, lalu kembali memandang tetua itu.

‎“Guru kami dulu mengajarkan, setiap pohon menyimpan lebih dari satu kehidupan.

‎Ada yang memberi makan, ada yang memberi perlindungan, dan ada yang memberi pakaian bagi yang mau belajar darinya.”

‎Sang tetua memandang lebih lama ke arah Raka, lalu menurunkan pandangan ke pakaian yang dikenakan lelaki muda itu.

‎Dari kejauhan, terlihat seperti kulit binatang yang lentur, tapi dekatnya tampak berbeda halus, nyaris menyerupai serat pohon.

‎“Pakaianmu… bukan dari kulit?”

‎“Bukan,” jawab Raka tenang.

‎“Dari serat kulit pohon juga.

‎Dipukul, direndam, lalu dibiarkan kering tiga kali pergantian hawa dari embun berat ke cahaya lembap.

‎Setelah itu dilembutkan dengan minyak kemiri.

‎Guru kami menyebutnya kulit hidup, karena berasal dari pohon yang tak mati.”

‎Tetua Latahna terdiam, memandangi pohon sukun di depan mereka seolah baru melihatnya pertama kali.

‎Tangannya menyentuh batang kasar itu, matanya perlahan melembut.

‎“Jadi… selama ini kami hanya memakan buahnya, tapi tak pernah mengenal kulitnya.”

‎“Itu yang sering terjadi,” ujar Raka lirih.

‎“Manusia memakan buah, tapi lupa pada pohonnya.”

‎Angin lembap bertiup pelan, menggoyang daun sukun besar seperti telapak raksasa.

‎Dalam keheningan itu, tetua menatap Raka seolah melihat secercah masa depan dari masa lalu.

‎“Kalau begitu,” katanya, “setelah musim panen selesai, kami akan belajar darimu, Raka.”

‎Suara riuh anak-anak mereda perlahan.

‎Tumpukan belalang yang mereka tangkap ditaruh di atas daun talas di tengah pemukiman.

‎Perempuan Latahna mulai menyiapkan perapian di tanah datar, menata batu-batu pipih besar membentuk lingkaran.

‎Di bawahnya, mereka menyalakan api kecil dengan serat kering dan bambu muda yang digesek.

‎Asap tipis mengepul ke udara, bercampur dengan aroma tanah basah dan dedaunan lembap.

‎Belalang-belalang dibersihkan dengan air sungai, lalu dijemur sebentar di atas batu hangat agar kering dari sisa embun.

‎Setelah itu, mereka diletakkan di antara dua batu pipih panas, dipanggang perlahan hingga berubah warna menjadi coklat keemasan.

‎Belalang-belalang yang sudah matang diletakkan di atas daun pisang layu, lalu ditaburi abu halus dari kayu ranting sisa pembakaran.

‎Setiap lapis dipisahkan dengan daun kering agar tidak saling menempel.

‎Setelah itu, perempuan Latahna menggulungnya rapat, menyelipkannya ke dalam anyaman bambu tabung, dan menutup ujungnya dengan tanah liat lembap.

‎"Tanah liat yang menutup bambu akan mengeras seiring hawa kering, menjaga isi di dalamnya dari udara lembap.”

‎“Begini cara kami menyimpan bekal hawa kering,” kata salah satu perempuan tua sambil menepuk gulungan bambu itu.

‎“Jika sungai mulai mengecil dan akar tak lagi basah, kita masih punya yang bisa dikunyah.”

‎Raka memperhatikan dengan kagum.

‎Ia tahu di banyak tempat manusia hanya makan untuk bertahan, tapi di sini mereka makan dengan cara yang menjaga keseimbangan antara lapar hari ini dan lapar yang akan datang.

‎Empat pria dewasa pulang membawa hasil tangkapan dari sungai lembah ikan-ikan besar sebesar lengan orang dewasa, mengilap basah di bawah cahaya lembap.

Sorak kecil terdengar dari anak-anak yang berlari menyambut, sementara perempuan Latahna segera menyiapkan tempat di tepi sungai.

‎Pisau batu tajam memantulkan cahaya pucat saat mereka membersihkan sisik dan isi perut ikan.

Air sungai yang dingin membawa hanyut darah dan lendir, sementara tangan-tangan cekatan merendam daging ikan ke dalam wadah berisi air dan abu lembut dari pembakaran ranting cara lama untuk menghilangkan bau dan lendir.

‎Setelah itu, ikan-ikan dibawa ke pondok kecil beratap daun, berdinding anyaman bambu yang selalu diselimuti asap tipis.

Di sana, rak-rak bambu tersusun bertingkat. Ikan diletakkan di atasnya, satu per satu, lalu api kecil dinyalakan di bawahnya dengan kayu lembap dan serabut kering.

‎Asap putih naik perlahan, menyelimuti daging ikan, menembus serat dan kulitnya dengan aroma tajam yang khas.

Tidak ada yang terburu-buru; ikan-ikan itu akan dibiarkan berhari-hari di dalam pondok asap, sampai warnanya berubah kecokelatan dan kering sempurna.

‎Itulah cara suku Latahna menjaga hasil sungai mereka bukan untuk hari ini saja, tapi untuk hari-hari ketika air surut dan perut mulai lapar.

Raka memperhatikan dengan kagum.

Ia belum pernah melihat cara seperti itu daging yang bisa bertahan lama tanpa busuk, hanya dengan api kecil dan asap lembap yang mengalir perlahan di ruang bambu itu.

Bagi Raka, ini bukan sekadar cara mengolah makanan, tapi pengetahuan yang lahir dari kesabaran dan kebersatuan manusia dengan alamnya.

‎Di banyak tempat, ia pernah melihat orang berburu hanya untuk hari itu saja, tapi di sini, suku Latahna mengajarkan sesuatu yang lebih dalam:

mereka tidak melawan musim, mereka hidup bersamanya.

Raka masih menatap ke arah pondok asap itu.

Asap putih melayang pelan dari celah atap, menari di udara lembap sebelum hilang di antara kanopi daun besar.

‎Di sampingnya, tetua Latahna berdiri dengan tongkat kayu di tangan, matanya mengikuti arah pandangan Raka.

‎“Asap itu,” katanya pelan, “tidak hanya menjaga daging dari busuk, tapi juga mengingatkan kami bahwa sesuatu yang dijaga dengan sabar akan bertahan lebih lama dari panas api.”

‎Raka menoleh perlahan.

‎“Api cepat membakar, asap perlahan menjaga,” ujarnya lirih.

‎“Seperti pengetahuan. Yang dibakar oleh kesombongan akan hilang, tapi yang dijaga dengan kesabaran akan menembus waktu.”

‎Tetua tersenyum kecil, keriput di wajahnya bergerak lembut.

‎“Kau bicara seperti orang yang pernah kehilangan musim,” katanya.

‎Raka hanya terdiam, menatap ke arah asap yang terus naik tanpa henti.

‎Dalam hatinya, ia tahu musim memang datang dan pergi, tapi ajaran yang dipegang dengan tenang, seperti asap yang sabar, tak pernah benar-benar hilang.

Raka menatap api yang hampir padam, hanya tersisa bara merah kecil di bawah batu pipih.

Tetua yang duduk di sampingnya memecah keheningan.

‎“Kami jarang menyebut nama pada orang yang belum dikenal,” katanya pelan.

‎“Karena kami percaya, nama adalah bayangan roh. Ia baru muncul ketika cahaya kepercayaan telah datang.”

‎Ia menatap Raka sebentar, lalu tersenyum samar.

‎“Sekarang, kau sudah memberi kami cahaya itu.”

‎Raka menunduk sedikit.

‎“Lalu… siapa namamu, Tetua?”

‎Orang tua itu tertawa kecil, suara serak seperti ranting kering.

‎“Di lembah ini, mereka memanggilku Aru artinya, asap yang menjaga.”

‎Raka mengangguk pelan.

‎“Nama yang hidup seperti napas.”

Raka terdiam beberapa saat, menatap bara api yang perlahan padam di antara batu pipih.

‎Asap tipis masih naik pelan, melingkar ke udara lembap di bawah kanopi.

‎“Aru…” gumam Raka lirih, mencoba menyebutnya dengan pelafalan lembah itu.

‎“Nama yang mengalir seperti asap.”

‎Tetua Aru tersenyum samar.

‎“Dan kau, orang jauh, bagaimana mereka memanggilmu di negerimu?”

‎Raka menatapnya sejenak, lalu ke arah langit pucat di balik dedaunan.

‎“Di tempatku dulu,” katanya perlahan, “mereka memanggilku Raka artinya api.”

‎Aru mengangkat wajahnya, sorot matanya lembut tapi tajam, seperti baru saja memahami sesuatu.

‎“Asap dan api…” ujarnya pelan.

‎“Mungkin bukan kebetulan kita dipertemukan di musim ini.”

‎Raka tersenyum samar, tapi tak menjawab.

‎Di antara mereka, bara kecil kembali menyala, seolah mendengar panggilan nama yang baru saja diucapkan.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!