Cerita ini adalah fiksi dewasa yang diperuntukkan bagi pencari bacaan berbeda.
*****
Sekuel sekaligus akhir dari cerita 'Stranger From Nowhere'.
Makhluk yang sama, tempat yang sama, dengan tokoh dan roman yang berbeda.
***
Saddam kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan pesawat di hutan Afrika.
Pria itu menyesali pertengkarannya dengan Sang Ibu karena ia menolak perjodohan yang sudah kesekian kali diatur untuknya.
Penasaran dengan apa yang terjadi dengan Sang Ibu, Saddam memutuskan pergi ke Afrika.
Bersama tiga orang asing yang baru diperkenalkan padanya, Saddam pergi ke hutan Afrika itu seperti layaknya mengantar nyawa.
Tugas Saddam semakin berat dengan ikutnya seorang mahasiswi kedoktoran bernama Veronica.
Seperti apa jalinan takdir mereka?
***
Contact : uwicuwi@gmail.com
IG : @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Johannesburg
Eko tergopoh-gopoh berjalan di belakang Saddam sambil menggendong ransel Vero. Wanita itu tampak setengah berlari menjajari Eko dengan langkahnya demi meyakinkan pria itu bahwa dia kuat mengangkat ranselnya sendiri.
Saddam berjalan cepat di depan sedang berusaha keras untuk tidak menoleh ke samping melihat Vero yang dengan wajah sungkan menjajari langkah Eko yang sedang menggendong ranselnya.
"Mobil yang jemput kita udah nyampe di depan Pak" Eko berbicara cukup keras kepada Saddam hingga semua orang yang berjalan di dekat situ bisa mendengar.
Saddam diam tak menjawab, hanya mempercepat langkahnya.
Dia harus memburu waktu untuk bertemu dengan salah satu pedagang senjata api ilegal di kota itu.
Setelah urusannya dengan senjata api beres, Saddam berniat akan langsung mengejar penerbangan ke Cape Town. Dia akan mengunjungi kakak perempuannya.
Sebuah mobil SUV berwarna hitam sudah menunggu mereka di dekat antrian taksi yang mengular.
Saddam langsung membuka pintu mobil bagian depan dan masuk. Dari kaca spion dirinya mengawasi Vero yang menggerakkan bahunya tak nyaman saat Rizky mengaitkan lengannya di bahu wanita itu.
Saddam merapatkan rahangnya dan memalingkan wajah.
SUV hitam itu berjalan menyusuri kota Johannesburg menuju daerah pinggiran di mana Saddam telah memiliki janji dengan seorang pria Afrika berbadan besar dengan penuh tato yang memiliki sebuah bar di gang sempit.
...--oOo--...
Saddam mengajak Rully turun dari mobil saat mereka tiba di depan sebuah gang yang tidak bisa dilalui oleh mobil.
Kedua pria itu berjalan menyusuri gang menuju sebuah bangunan yang terletak paling pojok di sebelah kiri.
Lampu masih menyala di luar bangunan meski saat itu hari telah terang.
Saddam memencet tombol di sebelah pintu besi yang bagian atasnya ada kotak persegi.
Beberapa menit setelah Saddam memencet bel, wajah seorang pria muncul dari kotak persegi yang ternyata plat besi yang bisa digeser untuk melihat ke luar.
"Saddam from Indonesia" Saddam berbicara kepada pria yang menatapnya dari dalam.
Tak berapa lama pintu dibuka, dan mereka masuk.
Saddam mengikuti Pria Afrika yang membukakan mereka pintu menuju bar yang terlihat sangat berantakan.
Rully mengedarkan pandangannya berkeliling ke penjuru bar yang remang-remang. Cahaya di ruangan itu hanya berasal dari sebuah lampu kecil di tengah ruangan. Tak ada jendela sama sekali.
Pria Afrika itu berjalan ke balik bar dan merogoh sesuatu dari bawah meja. Sebuah benda yang terbungkus kertas berwarna coklat disodorkannya kepada Saddam.
Saddam membuka kertas pembungkus benda itu, mata Rully terpaku pada benda yang sedang digenggam Saddam.
Sebuah senjata api.
"Gua rasa satu aja cukup buat kita jaga-jaga" Saddam berbicara pada Rully sambil memandang sebuah pistol Colt 1911 yang tampak kusam karena usia dan mungkin saja sudah berganti pemilik puluhan kali sejak diproduksi.
"Lu bisa makenya?" Tanya Rully.
"Gua anggota PERBAKIN by the way. Pistol yang gua pegang ini termasuk yang paling gampang makenya. Pelurunya cuma tujuh. Pistol ini keliatan jadul, tapi ini jenis pistol yang cukup mematikan dan populer di kalangan militer Amerika." Saddam mengokang pistol di tangannya.
"Oke, I See. Semoga kita ga harus make pistol itu." Rully yang memiliki wajah sangar terlihat bergidik memandang senjata di tangan Saddam.
"Gua juga mikirnya gitu" Saddam kembali memasukkan pistol ke dalam pembungkus dan merogoh kantongnya.
Sebuah amplop coklat yang tampak berisi uang diangsurkan Saddam kepada Pria Afrika di depannya.
"Okay. I take this." Tegas Saddam sambil mengangguk.
"Okay" Jawab Pria Afrika sambil mengangguk.
Kemudian tak lama setelah itu Saddam dan Rully sudah beriring-iringan keluar dari bar menuju gang sempit.
Beberapa meter sebelum tiba di mulut gang, kedua pria itu menyaksikan Rizky yang sedang memojokkan Vero ke dinding gang.
"Sok banget sih Ver, Gua selama ini kayak ga ada artinya. Gua cuma pengen nyium lu sekali aja" Rizky memegang lengan kiri Vero.
Saddam mempercepat langkahnya hendak menuju Rizky. Emosinya terasa sudah memuncak hingga ke ubun-ubun.
Tapi terasa sebuah tangan menahannya. Saddam menoleh ke arah Rully di sebelahnya.
"Liat aja" Rully berujar dan mengisyaratkan mulutnya menunjuk ke arah Rizky dan Vero.
Terlihat Vero mendorong tubuh Rizky menjauh.
"Semoga laki-laki yang lu bawa itu bener-bener berguna nanti" Ketus Saddam pada Rully.
Saddam mengatupkan rahangnya dan melanjutkan berjalan ke mulut gang. Rizky dan Vero menoleh ke arah mereka.
"Gua tau pasti ini tempat apa. Lu beli senjata kan Dam?" Rizky menjajari langkah Saddam.
Saddam diam tak bergeming.
"Mana? Mana? Gua boleh liat sekarang?" Rizky berbicara sambil meraba bungkusan yang berada di tangan Saddam.
"Liat dong, pelit amat" Rizky setengah menarik bungkusan.
Brakk!!
Tiba-tiba kerah baju Rizky dicengkeram Saddam dan pria itu terdorong ke belakang menabrak sebuah papan bekas yang tersandar di dinding gang.
"Lu harusnya tau kapan harus ngomong kapan harus diem. Apalagi kita jauh dari rumah" Saddam menekankan kepalan tangannya di bawah leher Rizky.
Menyadari Rully dan Vero yang terpaku melihat adegan yang baru saja terjadi di hadapan mereka, Saddam sedikit menoleh ke kiri dan ke kanan dan akhirnya melepaskan cengkeramannya dari Rizky.
Saddam masuk ke dalam mobil dan ketiga orang lainnya menyusul masuk ke mobil dalam diam.
Sesaat suasana hening. Eko yang baru terbangun dari tidurnya menyadari suasana canggung di antara mereka bertanya pada Vero di sebelahnya,
"Enek opo toh Mba?"
Sedikit meringis Vero menoleh kepada Eko sambil menggeleng.
"Ko, lu ga usah ikut ke rumah Mba Citra. Stay di hotel aja sampe gua dateng. Bantu Rully urus pemandu kita ke hutan nanti. Gua ga lama. Ini kita langsung ke hotel, karna gua mau langsung berangkat ke Cape Town lewat darat" Saddam berbicara dari kursi depan tanpa menoleh kepad Eko yang duduk di sisi kanan belakangnya.
"Kenapa Pak?" Eko bertanya karena sedikit kebingungan dengan perubahan rencana.
"Gak apa-apa." Tegas Saddam. Selain Eko yang tidak melihat adegan dirinya yang mencengkeram kerah baju Rizky, ketiga orang lainnya mungkin mengerti maksudnya meninggalkan Eko di Hotel Johannesburg.
Saddam sudah cukup muak melihat tingkah laku Rizky yang murahan dan sering lancang.
Tak sampai satu jam kemudian mobil yang mereka tumpangi memasuki pelataran sebuah hotel yang cukup besar.
Setelah mobil benar-benar berhenti sempurna di depan lobby, Rully turun dengan sigap sambil menggendong ranselnya. Kemudian disusul oleh Vero dan Eko yang masih memegang ransel Vero.
Pria Afrika supir SUV yang mereka tumpangi turun untuk membantu menurunkan barang-barang mereka.
Saddam menatap Vero dari kaca spion kanan.
"Ransel Pak Saddam ikut diturunin di sini juga kan? Di rumah Mba Citra kan cuma sebentar aja" Eko menghampiri bosnya yang diam mematung sambil menatap kaca spion di sebelah kaca jendela mobil yang terbuka separuh.
"Jadi Pak Saddam ga perlu repot-repot nenteng tas berat jauh-jauh" Eko kembali berbicara untuk menegaskan kepada bosnya yang masih diam.
"Pak," Eko memanggil bosnya. Merasa bosnya sedang mengamati sesuatu, Eko menoleh ke arah belakangnya dan melihat objek tatapan Saddam.
"PAK!!" Eko memanggil lebih keras.
Saddam tersentak, "Ya? Lu ngomong?"
"Ndak Pak, saya ngamen." Eko memberengut.
Saddam sedikit tersipu, "Lu ngomong apa Ekooo?"
"Ransel Pak Saddam tinggal di sini aja. Biar ga berat dibawa-bawa ke rumah Mba Citra."
"Oke," Saddam mengangguk.
"Saya bakal jagain Mba Vero," Eko berkata sambil nyengir.
"Yang nyuruh lu jagain dia siapa?" Saddam mendelik.
"Ga perlu disuruh, pokoknya bakal saya jagain sampe Pak Saddam balik ke sini." Eko mengedipkan sebelah matanya.
"Apaan sih lu!" Saddam terkekeh melihat wajah Eko yang terlihat polos sok tahu.
Semua barang-barang mereka telah diturunkan, supir SUV juga sudah kembali ke belakang setirnya. Saddam harus segera berangkat lagi menuju ke Cape Town.
Sesaat sebelum kaca jendela di sebelah kanannya naik, Saddam kembali melihat Vero.
Ternyata Vero juga sedang menatapnya. Pandangan mereka bertemu beberapa detik melalui perantara kaca spion.
Itu kali pertama Vero berani membalas tatapannya.
Saddam tak mengerti arti tatapan mata wanita itu. Sorot matanya seperti memelas, menderita, menyesal, atau bisa juga seperti sorot mata yang mengasihani Saddam.
Bahkan sekilas Saddam ingin mempercayai bahwa sorot mata Vero berarti dirinya tak ingin ditinggal oleh Saddam
Sedikit menggeleng tak percaya Saddam menaikkan kaca jendela di sebelahnya secepat mungkin sebelum dirinya berubah pikiran untuk tidak pergi.
...***...
...Minta komentar dan likenya ya... ...
...Btw, aku suka tokoh Eko. Kalau kalian?...