NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11. NASI GORENG TENGAH MALAM DAN PENGUNGKAPAN TRAUMA

..."Di antara isak yang tak terdengar dan aroma bawang yang terbakar pelan, dua jiwa saling menemukan cara baru untuk tetap hidup tanpa perlu kata, hanya dengan rasa."...

...---...

Doni terbangun karena suara. Samar, seperti tangisan yang ditahan jauh di ujung koridor. Matanya terbuka dalam gelap, berusaha mengenali dari mana asalnya. Jam digital di meja samping menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Ia berbaring diam, mendengarkan. Rumah besar itu punya akustik aneh. Suara dari lantai atas kadang terdengar lewat ventilasi, terdistorsi tapi cukup jelas untuk dikenali. Dan suara ini, walau pelan, pecah-pecah seperti seseorang yang berusaha keras tidak terdengar.

Naira menangis.

Doni duduk di tepi tempat tidur, menimbang-nimbang. Ini bukan urusannya. Pasal 12 dengan jelas menyebut: jaga jarak profesional, jangan ikut campur urusan pribadi. Naira menangis di kamarnya adalah wilayah yang seharusnya tidak ia sentuh.

Tapi dia menangis sendirian di malam yang dingin. Bagian lain dalam dirinya, bagian yang membuatnya jadi koki bukan karena uang melainkan karena peduli, berbisik keras. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu.

Doni mengenakan kaus dan celana training, lalu keluar kamar dengan langkah pelan. Koridor gelap, hanya cahaya taman dari luar yang menembus jendela, memberi sedikit penerangan. Ia tidak naik ke lantai dua. Itu terlalu jauh, terlalu melanggar privasi.

Ia menuju dapur.

Kalau ada satu hal yang ia tahu bagaimana melakukannya ketika seseorang terluka, itu adalah memasak. Ia tidak bisa memeluk Naira, tidak bisa menepuk punggungnya sambil bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia bisa membuat sesuatu yang hangat, yang akrab, sesuatu yang berbicara tanpa kata-kata: kamu tidak sendirian.

Dapur menyambutnya dalam gelap. Doni menyalakan satu lampu di atas kompor, tidak ingin rumah terlalu terang. Cahaya lembut menerangi meja dapur dan area memasak, sisanya tetap tenggelam dalam bayangan. Udara masih dingin, membawa sisa malam yang belum tersentuh fajar.

Ia membuka kulkas, mengeluarkan nasi putih sisa kemarin. Bawang merah, bawang putih, cabai, terasi, kecap manis, telur. Bahan-bahan untuk nasi goreng kampung yang dua minggu lalu membuat Naira menangis, tapi saat itu tangis pembebasan. Kali ini, Doni berharap nasi goreng yang sama bisa menjadi jangkar, menarik Naira kembali dari jurang pikirannya.

Ia mulai mengiris bawang merah tipis-tipis. Pisau bergerak dalam ritme meditatif. Tok. Tok. Tok. Suara pelan mengisi keheningan dapur. Bawang masuk ke wajan berisi minyak panas, aroma harum langsung menguar, memenuhi ruangan, merembes lewat ventilasi, naik ke lantai atas.

Sementara bawang digoreng hingga keemasan, Doni membuat minyak bawang merah segar. Sama seperti dua minggu lalu. Detail yang sama. Kehangatan yang sama.

Wajan besar dipanaskan. Minyak bawang merah dituangkan. Bawang putih dan bawang merah iris kasar ditumis hingga harum. Cabai rawit masuk, sedikit terasi, lalu nasi. Ia mengaduknya dengan gerakan memutar, memastikan setiap butir terlapisi bumbu. Kecap manis dituangkan, nasi berubah warna jadi cokelat keemasan. Api besar menjaga nasi tetap kering, tidak lembek.

Di wajan terpisah, telur diceplok. Kuningnya setengah matang, mengilap seperti matahari sore. Kerupuk digoreng cepat sampai mengembang sempurna. Udara dapur kini hangat, kontras dengan dinginnya malam di luar.

Lima belas menit kemudian, nasi goreng sudah siap. Doni menatanya di piring sama seperti pertama kali: gunungan nasi di tengah, telur ceplok di atas, kerupuk berdiri tegak di samping, taburan bawang goreng, irisan timun dan tomat di tepi piring.

Ia menyeduh teh chamomile panas, menambahkan madu sedikit. Lalu semua ia taruh di atas nampan, dan duduk di kursi dapur menunggu.

Menit berlalu lambat. Jam dinding berdetak terlalu keras di keheningan itu. Doni menatap nampan di depannya, berharap ia tidak salah. Berharap dia akan turun.

Pukul seperempat empat, terdengar langkah kaki di tangga. Pelan, ragu-ragu, seperti seseorang yang belum yakin apakah ia bermimpi atau tidak.

Naira muncul di pintu dapur. Rambutnya berantakan, mata merah dan bengkak, pipinya basah bekas air mata. Ia mengenakan cardigan tebal yang terlalu besar, membungkus tubuh kurusnya seperti selimut. Kakinya melangkah hati-hati, seperti takut lantai akan runtuh di bawahnya.

"Masak tengah malam?" Suaranya serak.

"Saya dengar seseorang tidak bisa tidur," jawab Doni lembut. "Pikir mungkin nasi goreng bisa bantu."

Naira berjalan pelan menuju meja dapur, duduk di kursi seberang Doni. Matanya menatap piring nasi goreng, tapi tidak menyentuh sendok.

"Seharusnya Anda tidak repot-repot."

"Ini bukan repot. Ini pekerjaan saya."

"Pekerjaan Anda masak jam tujuh pagi, jam setengah satu siang, dan jam enam sore. Bukan jam tiga pagi untuk seseorang yang sedang menangis sendirian."

Doni mendorong piring lebih dekat kepadanya. "Pekerjaan saya bikin Anda makan. Waktu tidak penting."

Naira akhirnya mengambil sendok. Sendok terasa berat di tangannya, seperti mengangkat beban lebih dari sekadar logam. Tangannya gemetar. Ia memecahkan kuning telur, kuningnya meleleh seperti matahari tenggelam di atas nasi cokelat. Ia mengaduk pelan, lalu menyuap sedikit.

Rasa manis kecap dan gurih terasi berpadu di lidahnya. Familiar. Menghibur. Seperti pelukan yang tak terucap.

Ia berhenti mengunyah. Matanya tertutup. Air mata jatuh lagi, deras tapi diam.

"Kenapa," bisiknya, "kenapa setiap kali saya makan ini, saya menangis?"

"Karena makanan ini terhubung dengan sesuatu yang tidak bisa kita lupakan," jawab Doni. "Dengan cinta yang tulus. Dengan masa ketika dunia masih terasa aman."

Naira membuka mata, menatap Doni. "Anda tahu kenapa saya bangun menangis malam ini?"

Doni menggeleng. Ia membiarkan Naira bicara kalau mau.

"Mimpi buruk. Tentang Rendra." Nama itu keluar getir dari mulutnya. "Tentang malam-malam dia pulang marah, tentang kata-kata yang dilempar seperti pisau, tentang tangan yang... yang..."

Suaranya pecah. Ia tidak melanjutkan. Tidak perlu, Doni sudah mengerti.

"Tiga tahun." Naira menatap cangkir tehnya. Jari-jarinya meremas tepi cardigan. "Orang-orang pikir kami hidup dalam dongeng."

Doni menunggu.

"Rumah mewah. Mobil mahal. Liburan ke Paris, Tokyo, Maladewa." Suaranya turun menjadi bisikan. "Tapi begitu pintu tertutup..."

Ia tidak perlu melanjutkan.

Naira makan beberapa suap lagi, seolah butuh tenaga untuk terus bercerita.

"Ia mulai mengatur segalanya. Apa yang saya pakai, siapa yang saya temui, film apa yang boleh saya ambil. Katanya karena ia sayang, karena protektif." Matanya kosong. "Tapi itu bukan cinta. Itu kepemilikan. Saya bukan istri. Saya trofi."

Doni mengepalkan tangan di bawah meja, rahangnya mengeras sekilas lalu rileks. Menahan amarah.

"Lalu ia mulai marah. Hal kecil bisa memicu. Makanan kurang asin, saya pulang lima menit terlambat dari syuting, atau tersenyum ke aktor pria di lokasi." Naira menarik napas panjang. "Marahnya bukan sekadar teriak. Ia lempar barang, banting pintu, dan kadang..." Jeda panjang. "Kadang tangannya bukan cuma lempar barang."

"Saya tidak bisa cerita ke siapa pun. Rendra selalu bilang, kalau saya buka mulut, dia akan hancurkan karier saya. Ia punya koneksi di media, di produser, di sutradara." Naira menatap piring kosongnya. "Satu kata dari dia, karier saya habis."

Ia terus makan. Tiap suap seperti perlawanan terhadap kenangan yang menghantam.

"Perceraian itu bukan keputusan mudah. Saya butuh enam bulan kumpulkan keberanian. Enam bulan hidup dalam ketakutan, menunggu waktu tepat, mengumpulkan bukti diam-diam." Tangannya berhenti di sendok. "Dan saat akhirnya saya gugat cerai, dia melakukan persis seperti ancamannya. Ia sebarkan ke media kalau saya yang selingkuh, saya yang egois, saya yang menghancurkan rumah tangga."

Piringnya kini kosong. Naira menatapnya sejenak, lalu mendorongnya menjauh. "Media menelan mentah-mentah ceritanya. Siapa yang percaya aktris cantik bisa jadi korban? Pasti saya yang salah. Pasti saya yang cari sensasi. Tidak ada yang tanya sisi saya."

"Sekarang mereka tahu?" tanya Doni pelan.

"Beberapa orang. Pengacara, Ratna, keluarga dekat. Tapi publik?" Naira menatap cangkir teh. "Mereka masih lihat saya sebagai penjahat dalam cerita itu. Dan sejujurnya... saya terlalu lelah untuk klarifikasi. Terlalu lelah untuk bertarung. Saya cuma ingin hilang, tidak dilihat, tidak dihakimi."

"Tapi hilang tidak sama dengan sembuh."

Naira menyesap teh perlahan. "Anda bicara seperti orang yang sudah pernah hilang dan kembali."

"Saya pernah," ucap Doni pelan. "Setelah Sari meninggal, saya hilang setahun. Tidak benar-benar hilang secara fisik, tapi secara jiwa. Saya makan, kerja, tapi kosong. Hidup otomatis, seperti robot."

"Apa yang membuat Anda kembali?"

Doni berpikir sejenak. "Pelanggan di restoran. Ibu tua yang datang tiap minggu, pesan sup ayam. Suatu hari dia bilang, 'Mas, sup ini ngingetin saya sama anak saya yang sudah tiada. Setiap kali makan ini, rasanya dia masih di sini.'" Ia menatap Naira. "Saat itu saya sadar, masakan saya bisa nyembuhkan luka yang tidak kelihatan. Dan saya tahu, Sari tidak ingin saya mati bersamanya. Ia ingin saya hidup."

Naira menatapnya dengan mata lebih jernih. "Anda pikir saya bisa begitu juga? Hidup lagi setelah semua ini?"

"Saya tidak pikir. Saya tahu." Doni menatap matanya. "Karena Anda masih di sini. Karena Anda turun ke dapur jam tiga pagi, cari sesuatu yang bikin Anda merasa hidup. Karena Anda masih menangis, dan menangis artinya Anda masih bisa merasa. Orang yang benar-benar mati tidak menangis."

Keheningan menyelimuti mereka. Bukan canggung, tapi tenang. Hangat meski malam masih dingin di luar.

"Terima kasih," ucap Naira akhirnya. "Untuk nasi goreng ini. Untuk mendengar. Untuk tidak menghakimi."

"Tidak ada yang perlu dihakimi. Anda korban, bukan pelaku. Anda kuat, hanya dengan masih bertahan."

Naira berdiri, mengambil piring dan cangkir. "Biar saya cuci."

"Tidak usah, saya..."

"Tolong." Suaranya lembut tapi tegas. "Biarkan saya lakukan sesuatu yang normal. Sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan jadi artis atau korban. Cuma cuci piring seperti orang biasa."

Doni mengangguk, membiarkannya. Ia memperhatikan Naira di depan wastafel, menyalakan air, menuang sabun, menggosok piring pelan. Suara air mengalir memecah sunyi. Gerakan tangannya pelan, hati-hati, seperti meditasi kecil di tengah malam.

Selesai, Naira mengeringkan tangan dengan handuk, lalu bersandar di meja, menatap Doni.

"Anda tahu apa yang paling aneh?" katanya pelan. "Saya sudah cerai tiga bulan. Sudah bebas dari Rendra. Tapi saya masih merasa terjebak. Seperti bayangannya masih di setiap sudut rumah, berbisik di telinga: 'Kamu tidak cukup baik. Tidak ada yang akan mau kamu. Kamu rusak.'"

Matanya kosong menatap jendela dapur yang gelap.

"Dan kadang, di malam-malam seperti ini," bisiknya, "saya percaya pada bisikan itu."

Tangannya bergerak ke lengan kiri, menyentuh sesuatu di balik cardigan tebal. Sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang tampaknya ingin ia tunjukkan, tapi takut.

Doni melihat keraguan di matanya. Pergulatan antara ingin dipahami dan takut dihakimi. Ia berdiri perlahan, siap menghadapi apa pun yang akan Naira lakukan selanjutnya.

Tapi bukan kata-kata yang keluar. Dengan gerakan gemetar, Naira mulai menggulung lengan cardigannya, memperlihatkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.

...---...

...Bersambung...

1
Ikhlas M
Loh Naira, jangan banyak makan-makan yang pedes ya nanti sakit perut. Kasian perutnya
Ikhlas M
Bisa jadi rujukan nih buat si Doni ketika dia ingin makanan sesuatu yang dingin
Ikhlas M
Pinter banget sih kamu Don. Aku jadi terkesan banget sama chef terbaik kayak kamu
Ikhlas M
Akhirnya dia mau makan juga. Terbaik banget sih kamu Don. Chef paling the best se jagat raya
Ikhlas M
betul banget. Memang makanan lokal juga gak kalah hebatnya di bandingan makanan luar
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!