"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 11
...Aku tidak pernah mencarimu, tapi semesta menuntunku padamu....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
POV Tiara
"Arkan sudah cerita semuanya, Tia. Mama juga minta maaf atas perlakuan Arkan kepadamu selama ini," ucap wanita paruh baya yang merupakan ibu mertuaku, sambil menundukkan wajahnya dengan penuh penyesalan. Aku menghela napas, menyadari bahwa Mas Arkan telah merencanakan semuanya dengan matang, sehingga membawa-bawa Mama untuk menanganiku jika dia tidak berhasil.
Mama menggenggam tanganku yang tergeletak di atas meja, dan aku bisa merasakan kehangatan tangannya. Saat ini, kami bertiga duduk bersama di meja makan, dengan Mas Arkan duduk berhadapan denganku dan Mama di samping kiriku. Mas Arkan tetap diam, tidak mengatakan sepatah kata pun, dan aku bisa merasakan ketegangan di antara kami.
"Mama minta maaaaf sekali. Ini semua kesalahan Mama yang tidak berhasil mendidik anak," kata Mama lagi, sambil terisak. Aku yang tidak tega melihatnya segera menenangkan. Beliau ini sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, karena memang selama aku menjadi menantunya, dia memperlakukanku dengan sangat baik seperti putrinya sendiri.
"Aku mengerti, Ma," kataku dengan suara lembut, mencoba menutupi kekesalan yang sebenarnya aku rasakan. Aku tidak bisa menolak permintaan mertuaku, terutama ketika dia sudah menundukkan wajahnya dengan penuh penyesalan dan menangis seperti itu.
Mama menggenggam tanganku lebih erat, seolah-olah dia bisa merasakan keraguan yang ada di dalam hatiku. "Tia, Mama tahu bahwa ternyata Arkan tidak baik padamu selama ini, tapi dia benar-benar ingin berubah. Dia ingin memulai segalanya dari awal lagi, memiliki keluarga yang bahagia bersamamu, dan Mama harap... kalian bisa segera memberi cucu yang lain selain Ardhan," katanya dengan suara lembut dan penuh harap.
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaan dan ketidakikhlasan yang aku rasakan. Rasanya semakin emosi ketika ibu-anak ini kembali membahas mengenai melahirkan anak untuk keturunan mereka. Sebelum menjawab, aku menghela napas panjang terlebih dahulu.
"Baiklah, aku akan mencoba memberi Mas Arkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami, tapi mengenai adik untuk Ardhan, aku harap Mama jangan terlalu berharap," kataku dengan suara lembut tapi mengandung ketegasan. Aku memang sangat menghargai Mama sebagai ibu mertuaku, tapi tak akan kubiarkan dia atau siapa pun melewati batasan dan mengatur-ngatur hidupku.
Mas Arkan akhirnya mengangkat wajahnya, saling menatap sekilas dengan Mama, lalu dia tersenyum padaku. "Terima kasih banyak, Sayang. Mas akan coba jadi suami yang baik untuk kamu mulai sekarang," ucapnya dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh. Seandainya tidak ada Mama bersama kami, pasti aku sudah memutar bola mata malas dan memiringkan bibir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semalam, tidurku tidak nyenyak karena memikirkan masalah itu. Aku bangun terlambat dari biasanya, dan pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan tentang mengapa Mas Arkan dan Mama kompak menginginkan adik untuk Ardhan. Aku merasa perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mendasarinya.
Setelah mandi dan berpakaian, aku keluar dari kamar dan menuju ke ruang dapur. Keningku berkerut ketika melihat Mas Arkan sedang menata piring dan menu sarapan di atas meja. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang sedang dia lakukan, kulihat sudah tersaji beberapa jenis masakan serta buah-buahan.
"Siapa yang menyiapkan semua ini?" tanyaku, penasaran. Rasanya tidak mungkin jika Mas Arkan yang memasak. Sebab, 9 tahun kami berumah tangga, tidak pernah sekali pun aku melihatnya menyentuh alat masak-memasak di dapur. Atau, mungkin saja dia memang jago memasak, tapi tidak pernah menunjukkannya padaku karena selama ini di matanya aku bukanlah wanita yang spesial.
"Tadi Mama yang memasak semuanya sebelum pulang. Aku hanya membantunya sedikit, hitung-hitung belajar memasak." Mas Arkan tersenyum bangga, tapi aku menanggapinya dengan ekspresi biasa saja sambil berkata, "Oh." saja.
Lalu aku beranjak menuju kamar Ardhan untuk membangunkan anak itu. Namun, Mas Arkan menghentikanku.
"Tiara, mau ke mana?" tanyanya.
"Membangunkan Ardhan," jawabku singkat.
"Tidak perlu, aku sudah membantu Ardhan mandi. Sekarang dia sudah lengkap dengan seragam sekolahnya," katanya dengan senyum.
Aku terkejut, melihat jam dinding yang baru menunjuk pukul setengah 6 pagi. "Sepagi ini Ardhan sudah siap?" tanyaku, ingin memastikan, dia mengangguk sambil masih tersenyum.
"Mulai sekarang, selama aku ada di rumah, aku akan membantumu mengurus Ardhan dan segala kebutuhannya. Juga membatumu memasak di dapur," katanya dengan tekad.
Sejak hari itu, Mas Arkan menjadi lebih sering berada di rumah, menggantikan aku mengurus segala kebutuhan Ardhan dan mengantarnya ke sekolah. Di dapur pun dia sering membantuku memasak dan tidak membiarkanku mencuci piring. Dia benar-benar memperlakukanku dengan sangat baik, layaknya seorang ratu, versinya. Namun, sebaik apa pun dia memperlakukanku, aku tetap saja merasa hambar, tidak ada perasaan apa-apa selain stres dan kebingungan dengan kelakuannya yang mendadak lain dari biasanya. Sampai-sampai aku tidak bisa berpikir jernih untuk menulis kelanjutan ceritaku karena masalah ini, hingga bab cadanganku habis semua. Beberapa pembaca sudah mulai protes karena tak sabar menunggu kelanjutan cerita yang sudah 3 hari tidak update.
Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus keluar mencari suasana baru demi menyegarkan pikiran, tekadku. Saat aku meraih kunci mobil, Reyhan tiba-tiba muncul di belakangku.
"Yah... Kak Tia mau pergi juga, ya?" katanya dengan nada yang sedikit kecewa.
"Mau pinjam mobil?" tanyaku.
Reyhan menggaruk kepalanya yang kuyakini tidak gatal sambil tersenyum malu-malu. "Aku sudah terlanjur janji sama Reyna buat antar jemput dia hari ini," jawabnya.
"Reyna siapa?" Aku menatapnya penuh selidik, membuatnya jadi salah tingkah.
"Itu loh, Kak, Reyna teman SMA aku dulu," katanya.
Aku mengangguk, aku ingat anak itu. Seingatku dulu Reyhan pernah naksir tapi tidak berani untuk menyatakan perasaannya hingga akhirnya mereka sama-sama lulus dan kuliah di kampus yang berbeda.
"Kalian pacaran?" tanyaku.
Reyhan mengangguk, senyum bahagia terpancar jelas dari wajahnya. "Baru mau jalan sebulan," jawabnya malu-malu. "Kan Kak Tia sendiri yang larang aku buat main sama temen-temenku, jadi yaudah, aku pacaran aja," tambahnya lalu cengengesan.
"Elah, alasan aja kamu," kataku sambil tertawa. "Gak apa-apa kamu pacaran, Rey, aku juga gak bisa melarang karena kamu sudah dewasa. Asal, kamu ingat satu hal, kamu harus jaga dia baik-baik, jangan dirusak segelnya sebelum resmi dibeli. Okey?"
Reyhan tersenyum. "Enggaklah, Kak. Aku tahu batasan. Meski selama ini aku bandel dan suka bikin masalah, tapi gak mungkin juga aku tega mempermalukan keluarga."
Aku tersenyum mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu. Semoga saja ucapan kamu bisa dipegang ya, Rey," kataku. "Ya sudah, nih kunci mobilnya, jangan lupa jaga keselamatan yah, jangan ngebut-ngebut."
Reyhan tersenyum sumringah setelah menerima kunci mobil. "OK, Kak, siap. Terima kasih banyak ya Kakakku sayang."
"Elah." Reyhan merangkulku sekilas sambil terkekeh.
Demi adikku, tidak apa-apa aku mengalah. Aku memutuskan keluar menggunakan Grab saja. "Mau diantar ke mana, Kak?" tanya sopir Grab yang usianya terlihat tidak jauh dengan Reyhan.
"Belum tahu," jawabku. "Apa kamu punya tempat rekomendasi yang bagus untuk refreshing? Aku lagi mumet dan butuh tempat yang tenang untuk menulis."
Sopir itu mengangguk. "Mau yang dekat aja atau yang agak jauh sedikit juga gak apa-apa, Kak?"
"Terserah," jawabku.
"Ya sudah, kalau begitu saya akan bawa Kakak ke tempat yang paling bagus," katanya tersenyum lalu melajukan mobilnya.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak melamun. Pikiranku terbang kemana-mana, hingga akhirnya aku tidak sadar mobil berhenti.
"Kita sudah sampai, Kak," katanya dengan nada ceria.
Aku melihat ke arah luar dan membaca plakat nama di bagian depan bangunan 2 tingkat tempat kami berhenti. "Kafe Fiksi & Kopi Noir". Seketika aku teringat pada seseorang.